Monday, September 22, 2025

 

Upacara Adat Saparan Desa Wonosari - Gunung Kawi. Malang 


Selamatan Jembatan yang Sarat Makna

Udara pagi di Desa Wonosari, Malang, terasa berbeda saat bulan Sapar tiba. Langit tampak cerah, dan jalan desa yang biasanya lengang kini ramai oleh langkah warga yang berbondong-bondong menuju jembatan. Bukan sekadar jembatan biasa, melainkan sebuah penghubung penting yang sudah lama menjadi urat nadi kehidupan masyarakat desa—sarana lintas menuju ladang, pasar, dan sekolah. Hari itu, jembatan dihiasi dengan janur kuning dan kain putih sederhana, tanda dimulainya sebuah tradisi turun-temurun: Upacara Adat Sapar atau Selamatan Jembatan.


Ambengan di Atas Jembatan

Sejak pagi, para warga tampak membawa ambengan—nasi beserta lauk-pauk—dalam tampah beralas daun pisang. Ada yang membawa ingkung ayam, ada pula yang membawa aneka jajanan tradisional. Dengan rapi, ambengan itu ditata berjajar memanjang di atas jembatan, terus ke arah barat hingga batas perempatan jalan desa. Suasana khidmat bercampur hangat; anak-anak berlarian kecil sambil sesekali menengok sajian, sementara para ibu sibuk merapikan tampah agar terlihat indah.

Tradisi ini bukan hanya tentang makanan, melainkan tentang kebersamaan. Setiap keluarga menyumbangkan yang terbaik dari rumah masing-masing, seakan ingin menegaskan bahwa jembatan ini bukan milik satu orang, melainkan milik bersama, dan harus dijaga bersama pula.


Doa Sesepuh Adat

Ketika semua ambengan telah tertata, suasana perlahan hening. Seorang sesepuh adat berdiri di tengah jembatan, wajahnya teduh dan penuh wibawa. Dengan suara lirih namun mantap, ia memimpin doa. Kata-katanya meresap di hati, memohon keselamatan bagi seluruh warga, memohon agar jembatan selalu kuat, tidak diterjang banjir, serta menjadi jalan rezeki bagi masyarakat.

Di antara suara doa, hanya bunyi aliran sungai di bawah jembatan yang terdengar mengalun. Semua orang menundukkan kepala, larut dalam kekhusyukan. Saat doa selesai, warga pun mengamini dengan serempak.


Larung Sesaji ke Sungai

Setelah doa dipanjatkan, tibalah pada prosesi berikutnya. Di sisi jembatan, telah disiapkan sesaji berupa nasi tumpeng kecil, bunga setaman, dan beberapa perlengkapan adat lainnya. Sesaji itu kemudian diarak sebentar sebelum akhirnya dilarung ke sungai yang mengalir di bawah jembatan.

Air sungai beriak pelan saat sesaji itu perlahan hanyut terbawa arus. Prosesi ini melambangkan rasa syukur dan permohonan restu alam agar jembatan tetap kokoh, air sungai membawa berkah, bukan bencana. Ada rasa haru ketika melihat sesaji menghilang bersama aliran sungai, seolah membawa doa dan harapan seluruh warga.



Ambengan Dibawa Pulang

Uniknya, ambengan yang tadi ditata panjang di atas jembatan tidak langsung dimakan bersama di tempat. Sebaliknya, setelah doa selesai, warga membawa kembali ambengan itu ke rumah masing-masing. Makanan tersebut kemudian disantap bersama keluarga. 

Filosofinya jelas: doa dan syukur tidak hanya berhenti di jembatan, melainkan dibawa pulang untuk mewarnai kehidupan rumah tangga setiap warga.


Pertunjukan Tari Remo dan Langen Beksan

Jika prosesi selamatan berlangsung dengan khidmat, suasana setelahnya berubah semarak. 

Di atas jembatan, sebuah panggung sederhana digelar. Musik gamelan mulai berbunyi, menandai dimulainya pertunjukan Tari Remo. Penari dengan kostum khas dan gerakan gagah menari penuh semangat, seakan menggambarkan jiwa perjuangan dan keberanian.

Sorak sorai warga menyambut setiap hentakan kaki sang penari. Anak-anak duduk berjejer di pinggir jembatan, matanya berbinar melihat atraksi yang jarang mereka saksikan.

Tak berhenti di situ, malam harinya acara dilanjutkan dengan Langen Beksan atau Tayub. Seni tradisi ini menghadirkan interaksi antara penari dan penonton, menjadikan suasana semakin akrab. Musik, tari, dan tawa bercampur jadi satu, menghadirkan sukacita yang menutup rangkaian upacara adat.


Makna yang Tetap Hidup

Upacara Sapar di Desa Wonosari bukan sekadar selamatan jembatan. Ia adalah simbol rasa syukur, doa keselamatan, dan perekat kebersamaan warga desa. 

Tradisi ini mengajarkan bahwa menjaga warisan leluhur tidak hanya tentang melestarikan ritual, melainkan juga tentang menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap bertahan. Warga percaya, selama mereka menjaga kebersamaan dan menghormati alam, jembatan itu akan terus kokoh menjadi penghubung—bukan hanya antar desa, tetapi juga antar hati.

Suasana semakin siang, dan gema gamelan masih terdengar di kejauhan, seakan mengingatkan bahwa tradisi adalah jembatan: menghubungkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

~ Wonosari, Gunung Kawi, Malang. 2025

Cak_bholor.



No comments:

Post a Comment