Showing posts with label My Village. Show all posts
Showing posts with label My Village. Show all posts

Sunday, December 30, 2012

Beri ruang dan waktu untuk anak - anak kita



Jangan rampas keceriaan anak - anak kita dengan berbagai hal sebetulnya kurang mereka butuhkan....


Saya sering mengernyitkan dahi jika ada seorang berkata dengan bangganya anakku setiap hari les ini itu, tiap minggu latihan ini itu dan bla bla bla... Mereka berpendapat semakin anak menguasai banyak hal, maka semakin 'istimewa' dimata mereka. Kita kadang tidak sadar, demi "ego" orang tua anak di korbankan. Dengan alasan agar anak menjadi bisa dalam beberapa hal, kita telah mengorbankan waktu bermain mereka. 

Secara alami, masa anak - anak adalah masa bermain. Tinggal kita sebagai orang tua sebisa mungkin mengarahkan saat bermain mereka itu menjadi sesuatu yang bersifat edukatif yang menyenangkan. Sehingga anak - anak kita tidak kehilangan masa kecil mereka. Maka jangan salah jika ada sebutan "masa kecil kurang puas" yang di tujukan kepada orang - orang dewasa yang masih suka berpola fikir seperti anak - anak :D

Yang terakhir, sekali lagi beri ruang dan waktu bagi anak - anak kita untuk menikmati masa kecilnya, dan tentunya dampingi mereka untuk selalu belajar meskipun sambil bermain. Sebagai orang tua tentunya kita berharap yang terbaik untuk mereka. Jadi ingat sebuah status yang di tulis oleh Gus Mus (KH Mustofa Bisri) kurang lebih seperti ini "Aku tidak menuntuk kepada anak - anakku untuk sekolah dan menjadi orang pinter, bahkan ketika salah satunya tidak mau sekolah TK pun aku biarkan. Aku hanya mengajak dan membinbing mereka untuk selalu belajar"

Saturday, April 28, 2012

KIRAB SESAJI 1 SURO


Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi Malang, Sebuah Kisah dari Dalam Prosesi

Sebagai warga asli Desa Wonosari di lereng Gunung Kawi, Malang, setiap pergantian tahun Jawa menjadi momen yang selalu saya tunggu. Tepatnya di tanggal 1 Suro dalam kalender jawa, kami melaksanakan Kirab Sesaji, sebuah tradisi sakral yang diwariskan leluhur. Bukan sekadar upacara adat, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatukan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tahun ini, saya kembali berkesempatan terlibat langsung dalam prosesi itu, dari awal hingga akhir.


Malam Menjelang 1 Suro: Selamatan dan Doa Bersama

Sejak sore, suasana desa sudah berbeda. Angin Gunung Kawi bertiup sejuk, seolah ikut menyambut pergantian tahun Jawa. Warga mulai berdatangan ke Padepokan Eyang Joego membawa tumpeng, jenang, dan aneka jajanan tradisional. Saya ikut membantu menata makanan di tikar panjang yang sudah disiapkan.

Ketika malam tiba, prosesi selamatan malam 1 Suro pun dimulai. Para sesepuh duduk di depan, memimpin doa dengan suara tenang, memohon berkah dan keselamatan. Kami semua larut dalam khidmat. Dalam hati saya berdoa, semoga tahun baru ini membawa kedamaian bagi seluruh warga Desa Wonosari, juga bagi siapa saja yang hadir malam itu.

Selamatan bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga simbol kebersamaan. Setelah doa selesai, makanan dibagi merata. Kami duduk melingkar, saling bercengkerama sambil menikmati hidangan. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan: rasa menjadi bagian dari keluarga besar desa ini.


Pagi Hari: Persiapan Kirab

Keesokan harinya, desa kembali sibuk. Sejak pagi, para pemuda sibuk menyiapkan gunungan sesaji serta jolen, berisi hasil bumi: padi, jagung, sayuran, buah-buahan, hingga jajanan pasar. Gunungan dan jolen itu nantinya akan diarak dari terminal desa menuju Pesarean Gunung Kawi sebagai wujud syukur atas rezeki alam.

Saya bersama beberapa warga lain membantu menata barisan peserta kirab. Para penari, hingga barisan anak-anak dengan pakaian adat Jawa sudah siap. Jalan utama desa dihias janur kuning dan umbul-umbul, menambah suasana meriah sekaligus sakral.


Siang Hari: Kirab Sesaji Dimulai

Tepat setelah azan zuhur berkumandang, Kirab Sesaji 1 Suro resmi dimulai. Iring-iringan panjang bergerak dari Pelataran Terminal Desa berjalan pelan meuju Komplek Pesarean Eyang Djoego. Saya ikut berjalan sambil sesekali bergantian memikul jolen, mengikuti irama gamelan yang mengiringi langkah peserta.

Sepanjang jalan, warga dan tamu dari berbagai daerah berjejer menyaksikan. Mereka ikut larut dalam suasana. Ada yang berfoto, ada pula yang khusyuk berdoa dalam hati. Yang paling menarik perhatian selain gunungan sesaji yang Warnanya yang cerah, penuh hasil bumi, seperti melambangkan kesuburan dan keberkahan Gunung Kawi. Ada juga pada barisan terakhir para pemuda yang mengusung OGOH - OGOH atau Patung raksasa yang kami sebut sebagai SANGKALA.

Kirab berputar mengelilingi desa, berhenti sejenak di beberapa titik untuk doa. Di sinilah saya merasakan makna terdalam tradisi ini: bukan sekadar pawai budaya, melainkan penghormatan kepada alam dan leluhur yang menjaga desa kami selama ini.


Sore Hari: Prosesi Pembakaran Sangkala

Menjelang senja, tibalah puncak acara yang paling dinanti: pembakaran Sangkala. Sebuah patung raksasa besar yang melambangkan segala keburukan, marabahaya, dan energi negatif dikumpulkan di lapangan desa.

Sesepuh desa memimpin doa terakhir, lalu api dinyalakan. Perlahan, Sangkala terbakar habis. Api menjilat tinggi, asap membumbung ke langit, dan semua warga terdiam menyaksikan. Ada rasa haru yang menyelimuti hati saya.

Pembakaran Sangkala menjadi simbol bahwa segala hal buruk di tahun lalu telah sirna, terbakar bersama api, memberi ruang bagi kebaikan dan harapan baru. Bagi kami warga Wonosari, momen ini seperti pelepasan beban, sekaligus awal baru untuk hidup lebih baik.


Kenduri Bersama dan Harapan Baru

Setelah api padam, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama. Semua orang, baik warga maupun tamu, duduk berjejer menikmati hidangan. Tidak ada perbedaan, semua sama. Inilah esensi dari Kirab Sesaji 1 Suro: kebersamaan, kebersyukuran, dan doa untuk kesejahteraan bersama.

Di sela-sela kenduri, saya mendengar sesepuh desa berkata: “Kabeh iki kanggo slamet, kanggo tentreming urip, ora mung kanggo awake dhewe, nanging kanggo kabeh makhluk sing urip ana ing kene.” (Semua ini untuk keselamatan, untuk ketentraman hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua makhluk hidup di sini).

Kata-kata itu membekas di hati saya. Tradisi ini bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh elemen alam yang menopang kehidupan: gunung, hutan, sungai, bahkan angin yang berhembus di lereng Gunung Kawi.


Penutup

Mengikuti Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi – Malang bukan hanya pengalaman budaya, tetapi juga perjalanan spiritual. Dari selamatan malam, kirab siang hari, hingga pembakaran Sangkala dan kenduri bersama, semuanya memiliki makna mendalam.

Sebagai warga lokal, saya bangga menjadi bagian dari tradisi yang masih lestari hingga kini. Kirab Sesaji bukan hanya warisan leluhur, tapi juga jembatan yang menghubungkan kami dengan alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta.

Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan, datanglah ke Desa Wonosari, Gunung Kawi, setiap malam 1 Suro. Rasakan sendiri suasana sakral yang penuh makna, sekaligus hangat dalam kebersamaan.

Karena di sinilah, di kaki Gunung Kawi, kami belajar bahwa hidup adalah tentang menghargai warisan, menjaga alam, dan berjalan bersama menuju masa depan yang penuh berkah.


kirab sesaji 1 Suro Gunung Kawi Malang - JAWA TIMUR....

Monday, January 30, 2012

Wong NDESO....

Ada suatu dialog antara anak dengan bapak seorang petani :
... ” le suk nek wes gedhe arep dadi opo ?
” dados Bupati pak !”
” trus sing arep ngarit sopo ? sing makani sapimu sopo, sawah kae arep dikapake suk nek bapak lan mbokmu mati ?”


Sang anak tercenung …. menjadi sebuah pilihan sulit. Di satu sisi ingin menunjukan ekstensinya bahwa dirinya tidak hanya dianggap bisa sekedar ngarit thok, angon wedhus, opo mung nyekeli pacul, di sisi lain juga berpikir nasib tanah yang kelak mau diapakan, apakah akan dijual pada cukong dan juragan dan tak lama lagi tanah akan berdiri megah sebuah istana, sawah hanya tinggal kenangan. Dhuh biyung ! Namun petani juga tak risau jika kelak anaknya jadi tentara, pegawe negeri, pejabat, pilot, yang penting jadi orang berguna bagi bangsa dan negara, migunani kanggo wong akeh, asal jangan jadi koruptor. Namun tak sedikit pula anak-anaknya yang masih setia meneruskan tradisi bapaknya, beberapa yang saya kenal seperti Mbah Gimun yang setia menjadi tukang ngarit, bahkan dengan penuh guyonan orang orang menyebutnya urip matine mung cuman ngarit. “Lha piye nek ora ngarit ora iso mangan je”

Ya memang kehidupan pedesaan hanya ada nyangkul dan nyangkul, ngarit dan ngarit. Irama kehidupan ini turun temurun sejak jaman dahulu kala. Mereka hidup dalam kesederhanaan, nrimo ing pandum, menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak ditambah, tidak dikurangi. Penerimaan yang cukup sederhana ini menjadi sebuah perenungan mendalam dalam jiwa saya yang sudah terkontaminasi budaya kota, yang serba cepat, grusa-grusu. Stress adalah merupakan penyakit orang kota, bukannya orang tidak desa tidak bisa stress. Semua orang bisa stress, termasuk anda anda juga, namun stressnya orang kota berbeda dengan orang desa.

Hidup di desa memang sangat berbeda dengan di kota, hidup di kota kalo tidak bisa menyesuaikan diri akan tersingkir dari persaingan, siapa cepat dia dapat, siapa kalah dia celaka. Jangan harap pertolongan tonggo teparo. Saya pernah hidup di beberapa kota besar macam surabaya, jakarta dan batam (Dan sekarang Taiwan, heee….) depan rumah saja tidak kenal, saya kerja dari pagi hingga malam, minggu pun pasti ada acara lain. Demikian pula dengan tetangga ketemu dengan mereka palingan di jalan itupun juga cuwek. Berbeda dengan di desa, begitu anda dapat celaka, tetangga akan cepat membantu tanpa pamrih. Ini ciri khas bangsa kita yang masih dipelihara oleh warga desa.

Dewasa ini terutama daerah perkotaan, masalah belum tentu diselesaikan dengan kekeluargaan, jika ada masalah sedikit lapor polisi dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain. Kasus demi kasus bermuara pada permusuhan dan perkelahian, pergeseran sifat dari kekeluarga ke kecuekan merupakan hal yang susah dicari benang merahnya. Tuntutan ekonomi yang tinggi, beban pekerjaan terutama jam kantor yang panjang, tugas luar, macet di jalan merupakan masalah yang sampai kini justu semakin memburuk. Mereka sibuk mencari suatu yang instan, yang bisa memuaskan diri tanpa bersusah payah, yang penting : BAYAR ! uang menjadi senjata paling ampuh di dunia perkotaan, mau makan gratis kalo tidak ditraktir teman susah mendapatkan.

Orang kota semakin hari semakin pelit alias medit, sekarang bertamu saja hanya dikasih aqua atau air bening ( bukan air putih ). Air bening memang menyehatkan tetapi belum tentu menyehatkan sikap kekeluargaan. Orang menjadi malas berkunjung karena takut hanya disuguh air bening saja. Jika berkunjung ke desa, malah tak pernah mendapatkan air bening, semua airnya berwarna, anda akan mendapatkan air bening jika meminta dan itupun belum tentu ada kecuali yang mentah. Anda malah akan disuguh dengan hasil panen seperti ketela, pisang, salak, rambutan dan lain lain. Padahal itu saya lakukan sekedar numpang lewat, belum tentu kenal. Itulah sikap wong ndeso yang masih dipelihara, mereka akan menerima tamu siapa saja. Itulah sifat yang menjadi terbalik, jika anda bertamu di kota anda akan susah mendapatkan teh atau kopi jika tidak meminta, itupun jika ada, kalaupun ada yang punya rumah masih berkelit dengan alasan ekonomi, sebaliknya di desa anda akan kesulitan jika meminta air bening, adanya teh atau kopi. Bagi wong desa, tamu adalah orang yang kudu dihormati tidak perduli dia statusnya apa, tidak cukup dihargai dengan segelas air bening atau aqua gelasan, dalam budaya jawa itu sama saja dengan melecehkan tamu. Ora sopan menehi tamu banyu bening ! Sebaliknya orang kota menyuguhkan teh atau kopi pada tamu tak diundang merupakan pemborosan. Cukup air saja cing ! irit, instan, air mentah sekalian dan semoga tamu segera kabur.... :D

Menjadi wong ndeso bukan merupakan suatu kemunduran, kesederhanaan mereka akan menular pada kita, saya pun mengalami perubahan pribadi yang lumayan berubah setelah mengalami interaksi dengan penduduk desa seperti Pak katiman, Pak gimun, Mas tukijan, dan lain lain. Hidup itu sebuah penerimaan, bahwa anugerah dari Tuhan tidak akan pernah berhenti jika setiap orang mensyukuri, kita ini manusia serakah, diberi pasti merasa kurang, bahasa saya sih biasa menyebut : gratis njaluk apik atau murah njaluk sak karepmu. Hanya tingkat keserakahan masing-masing individu yang membedakan tingkat kesyukuran. Kalo yang bisa bersyukur secara positif alias tingkat keserakahannya rendah palingan doanya seperti ini ” Terima kasih Tuhan, walau Kau beri sedikit, aku akan berusaha lebih baik lagi”, namun kalo yang tingkat serakahnya besar palingan doanya juga pake ngancam segala “Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam memberi aku hanya segini tidak sebanding dengan apa yang telah kukorbankan “.lha iya khan...?? "Malah wani marang gusti ALLAH…!!".

Wong ndeso memang damai dan ceria, mangan ora mangan kumpul. Alur kehidupannya tidak grusa-grusu layaknya orang kota yang selalu dikejar waktu, diajak rapat RT saja susahnya minta ampun dengan seribu sejuta alasan yang dibuat-buat, tapi kalo diajak DUGEM... Langsung iyoooo... opo maneh korupsi akan cepat bertindak menyembu-nyikan bukti, I t’s okay !

Boro-boro diajak rapat RT, lha wong ronda malam saja nggak mau, dah bayar aja satpam, kita-kita ini nyari duit. Gitu kira kiranya. iyo po ra ?

Kembali ke desa adalah kembali ke khitah kita sebagai manusia, kembali ke desa adalah kembali ke alam, kembali kepada air yang merupakan sumber kehidupan.

Watak orang kota yang keras dan serba ingin cepat bertemu dengan wong ndeso yang sederhana, bahkan malah punya kesan, alon alon asal klakon. Sikap sederhana, nrimo ing pandum, ngajeni marang sing tuwo, mangan sak onone, semua itu ternyata ampuh untuk mengubah warga kota, terutama bagi mereka yang pernah mengikuti outbond. Perubahan sikap anak-anak sekolah yang ikut dalam outbond diakui para guru-guru pembimbing. Dari sikap sok sembarangan menjadi kalem dan tertib, yang suka buang sampah sembarangan sekarang membuang sampah pada tempatnya. Yang suka rewel sarapan sekarang mau sarapan tanpa protes, mereka belajar pada wong ndeso, belajar pada budaya desa, belajar hidup sederhana, belajar menghargai sesama lewat ekplorasi edukasi berbasis alam dan budaya ala wong ndeso.

Dadi kangen marang Ndesoku..
*** Sekedar renungan, kenapa harus malu menjadi WONG NDESO…..???

Sunday, January 22, 2012

Sejarah GUNUNG KAWI

Sejarah Gunung Kawi
Setelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri kearah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Diantaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi kearah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.

Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego.

Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, beliau Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).

Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, diantaranya :

1. Mbah Suro Wates
2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo)
3. Mbah Saiupan (Nyawangan)
4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang)
5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
6. Mbah Tugu Drono
7. Ki Kromorejo
8. Ki Kromosasi
9. Ki Haji Mustofa
10. Ki Haji Muntoha
11. Mbah Dawud
12. Mbah Belo
13. Mbah Wonosari
14. Den Suryo
15. Mbah Tasiman
16. Mbah Tundonegoro
17. Mbah Bantinegoro
18. Mbah Sainem
19. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina)
20. Mbah Cakar Buwono
21. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC)

Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari .

Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan kearah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo.


Setelah itu melenjutkan perjalanan kearah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko,

selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua).

Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan kearah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemuuuudian disepakati , nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari.

Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur.

Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :

1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
2. Ki Moeridun
3. Mbah Bantu Negoro
4. Mbah Tuhu Drono
5. Mbah Kromo Rejo
6. Mbah Kromo Sasi
7. Mbah Sainem
8. Kyi Haji Mustofa
9. Kyai Haji Muntoha
10. Mbah Belo
11. Mbah Sifat / TjanThian
12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa

Demikian diantaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya.

Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi.

Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.

Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan kearah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh :

1. Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan)
2. Mbah Kasan Mubarot (tetap bertempat di babatan Kapurono)
3. Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah kasan Sengut)
4. Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah kasan Sengut)

Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta teman-temannya.

Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari.

Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, datang seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri.

Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan.


Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya , dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut :

1. Kamituwo Mbah Karni
2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun
3. Kamituwo P. Nitirejo
4. Kamituwo P. Taselim
5. Kamituwo P . Setin
6. Kamituwo P. Kemat
7. Kamituwo P. Yahmin
8. Kamituwo P. Tasmu'i

Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut :

1. P. Tasmuin
2. P. Maduri
3. P. Kandar (carteker) orang plaosan
4. P. Tasma'in (kades pertama)
5. P. Sugiono Banjir
6. P. Paidi Sareh

Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari.


Tradisi Adat yang Ada di Desa Wonosari
1. Tradisi Barik'an
Tradisi ini pertama kali diawali oleh Kanjeng R.M. Iman Soedjono yaitu detelah wafatnya Kanjeng Eyang Djoego yang jatuh pada hari senen pahing detiap bulan yang jatuh pada hari malam senin pahing, beliau selalu mengadakan sesaji dan slamatan untuk memperingati wafatnya Kanjeng Eyang Djoego, dan apabila pada bulan selo acara ini akan di ikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari, biasanya acara barik'an ini dilaksanakan pada pagi hari dihari senen pahing.

Acara slamatan barik'an ini diera Kamituwo P. Tamu'I, dengan melihat banyaknya penduduk yang mengikuti acara slamatan barik'an akhirny7a tempatnya dibagi menjadi dua tempat, untuk Wonosari bagian padepokan kebawah sampai di Selotumpeng warga mengikuti barik'an di padepokan, untuk daerah diatas padepokan kearah utara diikuti dusun Sumbersari ditambah kampung Sobrah dan sebagian masyarakat Pijiombo dan Kampung Baru dilaksanakan di Pesarehan.

Tradisi ini dimulai sejak wafatnya Kanjeng Eyang Djoegopada tahun 1871 oleh Knjeng R.M. Iman Soedjono, hinggga sekarang acara slamatan barik'an tetap berjalan dengan baik.

2. Tradisi Bersih Desa
Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan pada era Kamituwo Mbah Karni yanag dilaksanakan setiap bulan Selo, karena pada bulan itu kegiatan masyarakat sudah ada renggangnya misalnya pajak-pajak sudah terbayar, tidak ada orang yang mempunyai hajat, dan kegiatan-kegiatan lainnya tinggal menunggu hasilnya khususnya pada bidang pertanian.

Pada awalnya Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan melakukan slamatan seadanya yang di ikuti seluruh penduduk dusun Wonosari, kemudian setelah berjalan beberapa waktu, lalu diadakan juga pagelaran Wayang Kulit yang dimulai pagi hari sampai dengan siang hari dengan ruwatan, dan juga pada malam harinya diadakan pagelaran Wayang Kulit biasa.

Untuk menentukan pelaksanaan bersih desa, para Pinisepuh desa dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah memilihkan hari yang baik untuk bersih desa.


3. Slamatan Adat, Tolak Balak Bulan Sapar dan Slamatan Jembatan di Wonosari

Tradisi ini pada awalnya terjadi pada awal pendudukan Nipon atau jaman Jepang antara tahun 1944 – tahun 1945 di Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa, terjadi bencana dengan menyebarnya wabah penyakit yang pes yang disebabkan oleh tikus, dan penyakit kolera begitu dasyatnya bencana itu, konon menurut cerita banyak orang yang mati yang disebabkan oleh wabah itu, hingga ada yang mengatakan pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal hingga waktu itu disebut dengan jaman pagebluk.

Pada jaman pagebluk, penyebaran penyakit pes dan kolera (epiderni) begitu meluas, yang terparah adalah didesa-desa, karena jauh dari dinas kesehatan oleh karena itu korban yang terbanyak adalah orang desa. Pada waktu itu orang-orang Jawa didesa percaya bahwa bencana pagebluk itu terjadi karena Kanjeng Ratu Roro Kidul sebagai penguasa laut kidul (samudra hindia) sedang menyebarkan prajuritnya untuk memcari orang untuk dibawa kelaut kidulsebagai budak penguasa laut kidul, maka disebarkan penyakit pes dan kolera,sehingga denga mudah mengambil jiwa-jiwa orang yang diperlukan.

Pada jaman itu begitu hebatnya penyakit itu sehingga menyebabkan banyak orang desa yang mengungsi, tidak berani berada di rumah atau tidur didalam rumah hingga keadaan dusun menjadi sunyi sepi, dengan melihat keadaan yang memprihatinkan itu, para pamong beserta pinisepuh dan tokoh masyarakat dusun Wonosari, kemudian berkumpul untuk bermusyawarah mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Lalu disepakati oleh pamong, tokoh masyarakat dan pinisepuh untuk berprihatin dengan berpuasa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu juga menyuruh orang untuk pergi keorang-orang tua yang pintar dan mengerti. Akhirnya mandapatkan petunjuk untuk slamatan tolak balak yang harus dilaksanakan diperempatan dusun, dengan adanya petunjuk atau wangsit tersebut maka dilaksanakanlah slamatan tolak balak dengan di ikuti seluruh penduduk Wonosari beserta pamongnya pada bulan Sapar, dan dilaksanakan pada pagi hari.

Dari tahun ketahun tradisi slamatan tolak balak dibulan Sapar, terus dilakukan hingga pembangunan jembatan di dusun Wonosari sebelah selatan (stamplat) pada waktu terjadi sesuatu yang aneh, waktu jembatan terbuat dari kayu Glugu (pohon kelapa) setiap kali jembatan selasai dikerjakan, pada malam harinya runtuh hal tersebut terjadi berulang kali, hingga pada suatu hari lewat seorang yang bernama Aris daari desa Sumbertempur dan tiba-tiba Aris dan kudanya jatuh terplosok kebawah jembatan, dsetelah kejadian itu, selang dua atau tiga hari datang seorang dalang bernama mbah Wirindan, pada pagi-pagi hari sepulang dari mendalng di Sumber Manggis, tiba-tiba jatuh dan kesurupan, dimana beliau mengatakan harus slamati dan mengadakan kesenian tayub oleh among dan parapinisepuh, akhirnya dilaksankanlah slamatan dan kesenian andong (tayub keliling) dan itu terjadi tepat dibulan Sapar. Setelah itu jembatan tidak pernah runtuh lagi dan keadaanmenjadi tenang.

Bertahun-tahun kemudian dengan dibukanya jalan raya dari Wonosari melalui dusun Bumirejo sampai ke Ngebyongan desa Tumpang Rejo, kendaraan roda empat bisa langsung
masuk sampai dusun WonosariGunung Kawi ( sebelumnya melewati dusun Gendogo dengan menaiki kuda), dikarenakan itulah jembatan dari kayu glugu perlu diperbaiki dan siperkuat sehingga oleh bapak kamituwo yang pada saat itu didipin oleh P. Tasmui jembatan dibongkar dan diperbaiki diganti dengan beton. Dan terjadi keanehan lagi, setiap siangnya selesai dibangun, malanya roboh lagi, masalah itu terjadi berulang kali hingga membuat pusing para pamong dan pemborong jembatan karena tak kunjung selesai, akhirnya disepakati para pamong desa dan para pinisepuh untuk berprihatin memohon wangsit dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selang bebrapa waktu, kemudian para pinisepuh mendapat wangsit, bahwa diatas jembatan harus diadakan slamatan setelah itu harus diadakan kesenian tari remo dan tayuban didekat jembatan. Oleh para pamong acara itu diadakan tepat pada bulan Sapar bersama dengan acara slamatan tolak balak dusun Wonosari, setelah dilaksanakan slamatan dan kesenian tayub diatas jembatan akhirnya pembangunan jembatan bisa dibangun sesuai rencana.

Demikianlah dusun Wonosari dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.

Responden (nara sumber) :
1. kampung Selotumpeng :
- Mbah Darnoto (70 th.)

2. Dusun Wonosari :
- Bpk. Tanu Suparto (68 th.)
- Bpk. Sugiyar (72 th. )
- Bpk. Soekarno (60 th.)

3. Dusun Sumbersari :
- Bpk. Soedjono (72 th.)

4. Sumber Sobrah :
- Mbah Darmo (74 th. )
- Mbah Rontiyah (70 th.)

5. Dusu Pijiombo :
- Bp. Hartoyo (70 th.)

6. Dusun Kampung Baru :
- Mbah Sumono (89 th.)
- Mbah Kademun (74 th.)


Penyusun :
1. Bpk. Kuswanto S.H. Kepala Desa Wanosari
2. Bpk. Irwan Sumadi BPD Dasa Wonosari
3. Bpk.. Mansyur BPD Desa Wonosari
4. Bpk. Sunarto LPMD Desa Wonosari

~ Wonosari - Gunung Kawi 2012
Edi Santoso "Cak_bholor"