Tuesday, January 31, 2012

Jalan - jalan SALJU

Liburan yang mengesankan....

Kebersamaan yang akan selalu menjadi kenangan sepanjang HAYAT.....
TAROKO National Park - Hua Lien, Taiwan.

Melihat sifat KERIS

Di petik dari buku " DAYA GAIB KERIS PUSAKA" oleh S. LUMINTU th. 1996 - Yogyakarta.

Melihat sifat Keris bisa kita ketahui ari rancang bangun bilahnya. Dalam buku 'SERAT PANITI KADGA' terbitan tahun 1929 terdapat 4 cara untuk melihat sifat Keris berdasarkan panjang & lebar bilah, menurut ajaran Sunan Bonang sebagaimana di tuturkan kepada Mpu Suro.

A. CARA PERTAMA
Tentukan lebar wilah pada titik 2/3 panjang keris (tidak termasuk pesi). Dari lebar inilah kita hitung panjang wiilah mulai gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan kita bagi 8, sisa berapa.
Jika tersisa :
1. NAGA RETNA SAMPURNA, berwatak baik untuk pembesar, jika digunakan untuk berperang selamat.
2. SURO CONDRO RETNO, berwatak baik. Cocok untuk petani dan pedagang.
3. JATI KUMBA MAHA LABA, berwatak baik. Cocok untuk orang yang mengabdi.
4. RANGGA JANUR, berwatak jelek. Jika digunakan untuk mengabdi akan mendapat gangguan, jika di simpan di dalam rumah PANAS dan menghalau kebaikan.
5. ARJUNA SURAPATI, berwatak baik. membawa kewibawaan, banyak mendapat keluhuran dan rizky.
6 . BIMA SAWER, berwatak sangat jelek. ringan tangan dan tidak dapat di andalkan. Sering menemui halangan dan boros rejekinya.
7. DHESTIRA MADIYEM artinya RATU PINANDHITA (Rajanya para Pendeta) berwatak sangat baik, banyak keberuntungannya.
8. SADEWA BINENDON, berwatak jelek. melarat sering sakit. Keluarga sering kena perkara, untuk berdagang mandatangkan kerugian.


B. CARA KEDUA
Tentukan lebar wilah pada titik pertengahan pajang keris(tidak termasuk pesi). Dari lebar tersebut kita hitung panjang wilah dari gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan di bagi 8, sisa berapa. jika tersisa :
1. SRI RETNAKUMALA, wataknya mempermudah jalanya harta benda.
2. JATI TAKIR, wataknya memperkaya perhitungan.
3. BIMA RAJEK WESI, watakmya kokoh, kuat & Sentosa.
4. KUDA MICARA, wataknya senang berperkara.
5. SATRIYA LEDHANG, wataknya senang keluyuran & bermain - main.
6. REJUNA RANGSANG, wataknya brangasan & gampang marah.
7. SRI NATA JURIT, Wataknya suka bertengkar.
8. MAKAN TUAN, wataknya sering melukai pemiliknya.


C. CARA KETIGA
Disebutkan dalam serat Cehthini jilid I pupuh 25, bahwa pedoman untuk membuat keris dimulai dengan mengukur panjang GONJO, kemudian bilah keris di ukur berapa kali panjang gonjo.
Pengukuran dimulai dari pangkal bilah (tidak termasuk pesi) sampai ujung bilah, dengan hitungan : 
CAKRA - GUNDHALA - GUNUNG - GUNTUR - SEGARA - MADU

hitungan yang baik jika jatuh pada Gunung, Segara, Madu.
Jika pengukuranya di balik dari ujung ke pangkal bilah, yang terbaik jatuh pada Gunung.


D. CARA KE EMPAT.
mengukur bilah dengan JEMPOL IBU JARI, dengan hitungan :

UMBAK - AMBA KARANA - SAMBER NYAWA - SRI LUNGO.  atau
GEDHONG - BRAMA - KALA - PITENAH.

Yang baik jatuh pada hitungan Umbak / Gedhong.

Nuwun.
Sinchu - Taiwan
Minggu Legi, 21 Agustus 2011
21 Pasa 1944 Tahun BE Windu KUNTARA
21 Ramadhan 1432H.














Monday, January 30, 2012

Wong NDESO....

Ada suatu dialog antara anak dengan bapak seorang petani :
... ” le suk nek wes gedhe arep dadi opo ?
” dados Bupati pak !”
” trus sing arep ngarit sopo ? sing makani sapimu sopo, sawah kae arep dikapake suk nek bapak lan mbokmu mati ?”


Sang anak tercenung …. menjadi sebuah pilihan sulit. Di satu sisi ingin menunjukan ekstensinya bahwa dirinya tidak hanya dianggap bisa sekedar ngarit thok, angon wedhus, opo mung nyekeli pacul, di sisi lain juga berpikir nasib tanah yang kelak mau diapakan, apakah akan dijual pada cukong dan juragan dan tak lama lagi tanah akan berdiri megah sebuah istana, sawah hanya tinggal kenangan. Dhuh biyung ! Namun petani juga tak risau jika kelak anaknya jadi tentara, pegawe negeri, pejabat, pilot, yang penting jadi orang berguna bagi bangsa dan negara, migunani kanggo wong akeh, asal jangan jadi koruptor. Namun tak sedikit pula anak-anaknya yang masih setia meneruskan tradisi bapaknya, beberapa yang saya kenal seperti Mbah Gimun yang setia menjadi tukang ngarit, bahkan dengan penuh guyonan orang orang menyebutnya urip matine mung cuman ngarit. “Lha piye nek ora ngarit ora iso mangan je”

Ya memang kehidupan pedesaan hanya ada nyangkul dan nyangkul, ngarit dan ngarit. Irama kehidupan ini turun temurun sejak jaman dahulu kala. Mereka hidup dalam kesederhanaan, nrimo ing pandum, menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak ditambah, tidak dikurangi. Penerimaan yang cukup sederhana ini menjadi sebuah perenungan mendalam dalam jiwa saya yang sudah terkontaminasi budaya kota, yang serba cepat, grusa-grusu. Stress adalah merupakan penyakit orang kota, bukannya orang tidak desa tidak bisa stress. Semua orang bisa stress, termasuk anda anda juga, namun stressnya orang kota berbeda dengan orang desa.

Hidup di desa memang sangat berbeda dengan di kota, hidup di kota kalo tidak bisa menyesuaikan diri akan tersingkir dari persaingan, siapa cepat dia dapat, siapa kalah dia celaka. Jangan harap pertolongan tonggo teparo. Saya pernah hidup di beberapa kota besar macam surabaya, jakarta dan batam (Dan sekarang Taiwan, heee….) depan rumah saja tidak kenal, saya kerja dari pagi hingga malam, minggu pun pasti ada acara lain. Demikian pula dengan tetangga ketemu dengan mereka palingan di jalan itupun juga cuwek. Berbeda dengan di desa, begitu anda dapat celaka, tetangga akan cepat membantu tanpa pamrih. Ini ciri khas bangsa kita yang masih dipelihara oleh warga desa.

Dewasa ini terutama daerah perkotaan, masalah belum tentu diselesaikan dengan kekeluargaan, jika ada masalah sedikit lapor polisi dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain. Kasus demi kasus bermuara pada permusuhan dan perkelahian, pergeseran sifat dari kekeluarga ke kecuekan merupakan hal yang susah dicari benang merahnya. Tuntutan ekonomi yang tinggi, beban pekerjaan terutama jam kantor yang panjang, tugas luar, macet di jalan merupakan masalah yang sampai kini justu semakin memburuk. Mereka sibuk mencari suatu yang instan, yang bisa memuaskan diri tanpa bersusah payah, yang penting : BAYAR ! uang menjadi senjata paling ampuh di dunia perkotaan, mau makan gratis kalo tidak ditraktir teman susah mendapatkan.

Orang kota semakin hari semakin pelit alias medit, sekarang bertamu saja hanya dikasih aqua atau air bening ( bukan air putih ). Air bening memang menyehatkan tetapi belum tentu menyehatkan sikap kekeluargaan. Orang menjadi malas berkunjung karena takut hanya disuguh air bening saja. Jika berkunjung ke desa, malah tak pernah mendapatkan air bening, semua airnya berwarna, anda akan mendapatkan air bening jika meminta dan itupun belum tentu ada kecuali yang mentah. Anda malah akan disuguh dengan hasil panen seperti ketela, pisang, salak, rambutan dan lain lain. Padahal itu saya lakukan sekedar numpang lewat, belum tentu kenal. Itulah sikap wong ndeso yang masih dipelihara, mereka akan menerima tamu siapa saja. Itulah sifat yang menjadi terbalik, jika anda bertamu di kota anda akan susah mendapatkan teh atau kopi jika tidak meminta, itupun jika ada, kalaupun ada yang punya rumah masih berkelit dengan alasan ekonomi, sebaliknya di desa anda akan kesulitan jika meminta air bening, adanya teh atau kopi. Bagi wong desa, tamu adalah orang yang kudu dihormati tidak perduli dia statusnya apa, tidak cukup dihargai dengan segelas air bening atau aqua gelasan, dalam budaya jawa itu sama saja dengan melecehkan tamu. Ora sopan menehi tamu banyu bening ! Sebaliknya orang kota menyuguhkan teh atau kopi pada tamu tak diundang merupakan pemborosan. Cukup air saja cing ! irit, instan, air mentah sekalian dan semoga tamu segera kabur.... :D

Menjadi wong ndeso bukan merupakan suatu kemunduran, kesederhanaan mereka akan menular pada kita, saya pun mengalami perubahan pribadi yang lumayan berubah setelah mengalami interaksi dengan penduduk desa seperti Pak katiman, Pak gimun, Mas tukijan, dan lain lain. Hidup itu sebuah penerimaan, bahwa anugerah dari Tuhan tidak akan pernah berhenti jika setiap orang mensyukuri, kita ini manusia serakah, diberi pasti merasa kurang, bahasa saya sih biasa menyebut : gratis njaluk apik atau murah njaluk sak karepmu. Hanya tingkat keserakahan masing-masing individu yang membedakan tingkat kesyukuran. Kalo yang bisa bersyukur secara positif alias tingkat keserakahannya rendah palingan doanya seperti ini ” Terima kasih Tuhan, walau Kau beri sedikit, aku akan berusaha lebih baik lagi”, namun kalo yang tingkat serakahnya besar palingan doanya juga pake ngancam segala “Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam memberi aku hanya segini tidak sebanding dengan apa yang telah kukorbankan “.lha iya khan...?? "Malah wani marang gusti ALLAH…!!".

Wong ndeso memang damai dan ceria, mangan ora mangan kumpul. Alur kehidupannya tidak grusa-grusu layaknya orang kota yang selalu dikejar waktu, diajak rapat RT saja susahnya minta ampun dengan seribu sejuta alasan yang dibuat-buat, tapi kalo diajak DUGEM... Langsung iyoooo... opo maneh korupsi akan cepat bertindak menyembu-nyikan bukti, I t’s okay !

Boro-boro diajak rapat RT, lha wong ronda malam saja nggak mau, dah bayar aja satpam, kita-kita ini nyari duit. Gitu kira kiranya. iyo po ra ?

Kembali ke desa adalah kembali ke khitah kita sebagai manusia, kembali ke desa adalah kembali ke alam, kembali kepada air yang merupakan sumber kehidupan.

Watak orang kota yang keras dan serba ingin cepat bertemu dengan wong ndeso yang sederhana, bahkan malah punya kesan, alon alon asal klakon. Sikap sederhana, nrimo ing pandum, ngajeni marang sing tuwo, mangan sak onone, semua itu ternyata ampuh untuk mengubah warga kota, terutama bagi mereka yang pernah mengikuti outbond. Perubahan sikap anak-anak sekolah yang ikut dalam outbond diakui para guru-guru pembimbing. Dari sikap sok sembarangan menjadi kalem dan tertib, yang suka buang sampah sembarangan sekarang membuang sampah pada tempatnya. Yang suka rewel sarapan sekarang mau sarapan tanpa protes, mereka belajar pada wong ndeso, belajar pada budaya desa, belajar hidup sederhana, belajar menghargai sesama lewat ekplorasi edukasi berbasis alam dan budaya ala wong ndeso.

Dadi kangen marang Ndesoku..
*** Sekedar renungan, kenapa harus malu menjadi WONG NDESO…..???

Sunday, January 29, 2012

LUDRUK masa kini

Asalamu'alaikum sedulur semua,.....

Setiap hari kita di suguhi tontonan 'ludruk modern' . . . .

kalo dahulu ludruk itu adanya di panggung tujuh belas-an, panggung keliling dan wong hajat-an.Tapi kini ludruk sudah bergeser dan dapat kita nikmati stiap hari di layar tipi. Dulu ludruk lakonya 'Sarip tambak oso', 'Jaran mayang seto' dan judul lain yang selalu menggugah semangat patiotisme. Tapi nek saiki judulnya 'REFORMASI DAN SIBUK BIKIN PARTAI' kemudian di susul judul - judul lainya sampe 'si BLBI', 'boyo mungsuh cecek', 'mbak senturi', sampek sekarang 'si gayeng gayus',...

aaaah,....
aku sebagai wong goblok cukup menonton saja, toh ludruk - ludruk itu pun nggak akan jelas ujung daripada ceritanya. satu belum habis cerita sudah bikin judul baru, begitu seterusnya. . . Jadi ya di nikmati aja sambil ngopi ato 'cangkruk nang gerdu' sembari main sekak, sekalian nunggu lakon apalagi yang akan keluar. Dan aku yakin pasti lakon iki durung ntek wes di tambal lakon anyar.

toh kalo kita berteriak sampe serakpun sang sutradara dan pemain ludruk tak akan menggubrisnya. mereka akan tetap asyik dengan lakon yang sedang di pentaskan. mereka tetap gayeng dan nggak peduli teriakan penonton di pinggir panggung yang meminta ganti pemain karna dandanan-nya sudah kelewat luntur serta acting yang tercompang camping.

wes bahno (sudah di biarkan saja), itu kata pakde saya . . .
karna hanya do'a yang dapat kita berikan, smoga sang ludruk segera mengakhiri lakon yang mereka buat. Sebelum "sang Sutradara" yang sebenarnya benar benar akan membukakan akhir dari cerita mereka.Amin

"Mohon maaf kalu kliru"
Wasalam

Ditulis sambil ngopi + makan pohung goreng
(huenak tuenan.....)
'Taiwan 030410'

Wednesday, January 25, 2012

Laron.....

Kerja hari ini diringi hujan yang tak berhenti. Pagi berangkat di iringi gerimis, siang saat kerja hujan deras, pulang pun masih hujan walau cuma rintik-rintik. Sambil berjalan pulang banyak kulihat 'laron' hewan terbang mirip capung tapi tak berekor panjang yang asalnya dari rayap.

Kulihat mereka begitu bersemangat sekali terbangnya sambil mengitari lampu-lampu sepanjang jalan, ada pula yang jatuh. Sebagian sayapnya patah, ada yang 'sepur-sepuran' bahkan tidak sedikit yang mati, dimakan binatang maupun terinjak.

ah,... laron....
kenapa kamu keluar dari sarangmu yang enak. Apa yang kau cari? Apa kamu tiak tahu kalau diluar itu sangat berbahaya sekali. bahkan sekali kamu keluar hampir di pastikan kamu takkan bisa kembali lagi...!

Tapi kalau melihat semangat terbangmu yang begitu besar saat kau mengerubuti lampu-lampu, ku yakin kamu sudah faham, bahwa sekali keluar kamu takkan bisa kembali. Kau hanya ingin melihat indahnya dunia lewat terangnya lampu-lampu. Tak peduli halangan, rintangan bahkan resiko matipun tetap kau jalani. Kau tahu tujuan hidupmu walau hanya sekejab saja, sesudah itu MATI.

Duh 'laron' kalau ku ingat-ingat diriku malu rasanya, aku yang sebegitu lamanya menikmati dunia kadang masih 'rapuh', suka mrngeluh bahkan menyalahkan sang nasib. Ah 'laron', andai aku punya semngat seperti dirimu.....

Duh, malunya diriku....
FORMOSA
070510

Tuesday, January 24, 2012

Sebuah Wacana Diri

Mpu Purwo termangu saat melihat sekelompok pemuda menendang dan meludahi patung di sebuah situs purbakala di candi penataran..

Dengan tenang ia menegur pemuda itu dengan mengucapkan salam lebih dulu. "Saudaraku.. Agama kita tidak menajarkan kebencian dan sikap sombong.. Tapi mengajarkan cinta kasih dan budi pekerti.. Patung ini adalah sebuah karya yang indah.. Kenapa mesti dihinakan?.."

Pemuda itu menjawab dengan sombong dan berkata.. "Itu sirik dan musrik!!.."

Mpu tersenyum dan menjawab.. "Banyak hal yang dapat membuat orang jadi sirik saudaraku.. Termasuk tasbih yang kamu buat kalung itu.. Ketahuilah yang sesungguhnya dapat membuat orang jadi musrik itu adalah kebodohan orang itu sendiri.. Tanpa di landasi ilmu pengetahuan yang cukup,. Tapi sudah merasa pintar itulah yang membuat orang cenderung berbuat atau memfonis perbuatan sirik.. Padahal menyembah dan menghargai karya nenek moyang jelas sangat berbeda.."..

Pemuda itu tertekun dan sang Mpu pun berlalu..

Sunday, January 22, 2012

Selamat Tahun Baru Imlek 2563

Selamat Tahun Baru Imlek 2563, semoga bahagia dan sukses. Semua hal yang bermakna dalam kesehatan, kedamaian keuarga, dan kesuksesan hidup senantiasa tercapai. Semoga dalam tahun ini selalu mendapatkan kelimpahan keberuntungan dan berkat.... _/\_

新年快乐,幸福,成功,快乐的新年。所有有意义的事情,在身体健康的身体,今年迄今取得的运气和感谢丰

Sejarah GUNUNG KAWI

Sejarah Gunung Kawi
Setelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri kearah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Diantaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi kearah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.

Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego.

Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, beliau Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).

Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, diantaranya :

1. Mbah Suro Wates
2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo)
3. Mbah Saiupan (Nyawangan)
4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang)
5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
6. Mbah Tugu Drono
7. Ki Kromorejo
8. Ki Kromosasi
9. Ki Haji Mustofa
10. Ki Haji Muntoha
11. Mbah Dawud
12. Mbah Belo
13. Mbah Wonosari
14. Den Suryo
15. Mbah Tasiman
16. Mbah Tundonegoro
17. Mbah Bantinegoro
18. Mbah Sainem
19. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina)
20. Mbah Cakar Buwono
21. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC)

Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari .

Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan kearah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo.


Setelah itu melenjutkan perjalanan kearah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko,

selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua).

Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan kearah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemuuuudian disepakati , nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari.

Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur.

Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :

1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
2. Ki Moeridun
3. Mbah Bantu Negoro
4. Mbah Tuhu Drono
5. Mbah Kromo Rejo
6. Mbah Kromo Sasi
7. Mbah Sainem
8. Kyi Haji Mustofa
9. Kyai Haji Muntoha
10. Mbah Belo
11. Mbah Sifat / TjanThian
12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa

Demikian diantaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya.

Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi.

Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.

Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan kearah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh :

1. Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan)
2. Mbah Kasan Mubarot (tetap bertempat di babatan Kapurono)
3. Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah kasan Sengut)
4. Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah kasan Sengut)

Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta teman-temannya.

Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari.

Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, datang seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri.

Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan.


Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya , dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut :

1. Kamituwo Mbah Karni
2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun
3. Kamituwo P. Nitirejo
4. Kamituwo P. Taselim
5. Kamituwo P . Setin
6. Kamituwo P. Kemat
7. Kamituwo P. Yahmin
8. Kamituwo P. Tasmu'i

Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut :

1. P. Tasmuin
2. P. Maduri
3. P. Kandar (carteker) orang plaosan
4. P. Tasma'in (kades pertama)
5. P. Sugiono Banjir
6. P. Paidi Sareh

Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari.


Tradisi Adat yang Ada di Desa Wonosari
1. Tradisi Barik'an
Tradisi ini pertama kali diawali oleh Kanjeng R.M. Iman Soedjono yaitu detelah wafatnya Kanjeng Eyang Djoego yang jatuh pada hari senen pahing detiap bulan yang jatuh pada hari malam senin pahing, beliau selalu mengadakan sesaji dan slamatan untuk memperingati wafatnya Kanjeng Eyang Djoego, dan apabila pada bulan selo acara ini akan di ikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari, biasanya acara barik'an ini dilaksanakan pada pagi hari dihari senen pahing.

Acara slamatan barik'an ini diera Kamituwo P. Tamu'I, dengan melihat banyaknya penduduk yang mengikuti acara slamatan barik'an akhirny7a tempatnya dibagi menjadi dua tempat, untuk Wonosari bagian padepokan kebawah sampai di Selotumpeng warga mengikuti barik'an di padepokan, untuk daerah diatas padepokan kearah utara diikuti dusun Sumbersari ditambah kampung Sobrah dan sebagian masyarakat Pijiombo dan Kampung Baru dilaksanakan di Pesarehan.

Tradisi ini dimulai sejak wafatnya Kanjeng Eyang Djoegopada tahun 1871 oleh Knjeng R.M. Iman Soedjono, hinggga sekarang acara slamatan barik'an tetap berjalan dengan baik.

2. Tradisi Bersih Desa
Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan pada era Kamituwo Mbah Karni yanag dilaksanakan setiap bulan Selo, karena pada bulan itu kegiatan masyarakat sudah ada renggangnya misalnya pajak-pajak sudah terbayar, tidak ada orang yang mempunyai hajat, dan kegiatan-kegiatan lainnya tinggal menunggu hasilnya khususnya pada bidang pertanian.

Pada awalnya Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan melakukan slamatan seadanya yang di ikuti seluruh penduduk dusun Wonosari, kemudian setelah berjalan beberapa waktu, lalu diadakan juga pagelaran Wayang Kulit yang dimulai pagi hari sampai dengan siang hari dengan ruwatan, dan juga pada malam harinya diadakan pagelaran Wayang Kulit biasa.

Untuk menentukan pelaksanaan bersih desa, para Pinisepuh desa dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah memilihkan hari yang baik untuk bersih desa.


3. Slamatan Adat, Tolak Balak Bulan Sapar dan Slamatan Jembatan di Wonosari

Tradisi ini pada awalnya terjadi pada awal pendudukan Nipon atau jaman Jepang antara tahun 1944 – tahun 1945 di Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa, terjadi bencana dengan menyebarnya wabah penyakit yang pes yang disebabkan oleh tikus, dan penyakit kolera begitu dasyatnya bencana itu, konon menurut cerita banyak orang yang mati yang disebabkan oleh wabah itu, hingga ada yang mengatakan pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal hingga waktu itu disebut dengan jaman pagebluk.

Pada jaman pagebluk, penyebaran penyakit pes dan kolera (epiderni) begitu meluas, yang terparah adalah didesa-desa, karena jauh dari dinas kesehatan oleh karena itu korban yang terbanyak adalah orang desa. Pada waktu itu orang-orang Jawa didesa percaya bahwa bencana pagebluk itu terjadi karena Kanjeng Ratu Roro Kidul sebagai penguasa laut kidul (samudra hindia) sedang menyebarkan prajuritnya untuk memcari orang untuk dibawa kelaut kidulsebagai budak penguasa laut kidul, maka disebarkan penyakit pes dan kolera,sehingga denga mudah mengambil jiwa-jiwa orang yang diperlukan.

Pada jaman itu begitu hebatnya penyakit itu sehingga menyebabkan banyak orang desa yang mengungsi, tidak berani berada di rumah atau tidur didalam rumah hingga keadaan dusun menjadi sunyi sepi, dengan melihat keadaan yang memprihatinkan itu, para pamong beserta pinisepuh dan tokoh masyarakat dusun Wonosari, kemudian berkumpul untuk bermusyawarah mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Lalu disepakati oleh pamong, tokoh masyarakat dan pinisepuh untuk berprihatin dengan berpuasa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu juga menyuruh orang untuk pergi keorang-orang tua yang pintar dan mengerti. Akhirnya mandapatkan petunjuk untuk slamatan tolak balak yang harus dilaksanakan diperempatan dusun, dengan adanya petunjuk atau wangsit tersebut maka dilaksanakanlah slamatan tolak balak dengan di ikuti seluruh penduduk Wonosari beserta pamongnya pada bulan Sapar, dan dilaksanakan pada pagi hari.

Dari tahun ketahun tradisi slamatan tolak balak dibulan Sapar, terus dilakukan hingga pembangunan jembatan di dusun Wonosari sebelah selatan (stamplat) pada waktu terjadi sesuatu yang aneh, waktu jembatan terbuat dari kayu Glugu (pohon kelapa) setiap kali jembatan selasai dikerjakan, pada malam harinya runtuh hal tersebut terjadi berulang kali, hingga pada suatu hari lewat seorang yang bernama Aris daari desa Sumbertempur dan tiba-tiba Aris dan kudanya jatuh terplosok kebawah jembatan, dsetelah kejadian itu, selang dua atau tiga hari datang seorang dalang bernama mbah Wirindan, pada pagi-pagi hari sepulang dari mendalng di Sumber Manggis, tiba-tiba jatuh dan kesurupan, dimana beliau mengatakan harus slamati dan mengadakan kesenian tayub oleh among dan parapinisepuh, akhirnya dilaksankanlah slamatan dan kesenian andong (tayub keliling) dan itu terjadi tepat dibulan Sapar. Setelah itu jembatan tidak pernah runtuh lagi dan keadaanmenjadi tenang.

Bertahun-tahun kemudian dengan dibukanya jalan raya dari Wonosari melalui dusun Bumirejo sampai ke Ngebyongan desa Tumpang Rejo, kendaraan roda empat bisa langsung
masuk sampai dusun WonosariGunung Kawi ( sebelumnya melewati dusun Gendogo dengan menaiki kuda), dikarenakan itulah jembatan dari kayu glugu perlu diperbaiki dan siperkuat sehingga oleh bapak kamituwo yang pada saat itu didipin oleh P. Tasmui jembatan dibongkar dan diperbaiki diganti dengan beton. Dan terjadi keanehan lagi, setiap siangnya selesai dibangun, malanya roboh lagi, masalah itu terjadi berulang kali hingga membuat pusing para pamong dan pemborong jembatan karena tak kunjung selesai, akhirnya disepakati para pamong desa dan para pinisepuh untuk berprihatin memohon wangsit dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selang bebrapa waktu, kemudian para pinisepuh mendapat wangsit, bahwa diatas jembatan harus diadakan slamatan setelah itu harus diadakan kesenian tari remo dan tayuban didekat jembatan. Oleh para pamong acara itu diadakan tepat pada bulan Sapar bersama dengan acara slamatan tolak balak dusun Wonosari, setelah dilaksanakan slamatan dan kesenian tayub diatas jembatan akhirnya pembangunan jembatan bisa dibangun sesuai rencana.

Demikianlah dusun Wonosari dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.

Responden (nara sumber) :
1. kampung Selotumpeng :
- Mbah Darnoto (70 th.)

2. Dusun Wonosari :
- Bpk. Tanu Suparto (68 th.)
- Bpk. Sugiyar (72 th. )
- Bpk. Soekarno (60 th.)

3. Dusun Sumbersari :
- Bpk. Soedjono (72 th.)

4. Sumber Sobrah :
- Mbah Darmo (74 th. )
- Mbah Rontiyah (70 th.)

5. Dusu Pijiombo :
- Bp. Hartoyo (70 th.)

6. Dusun Kampung Baru :
- Mbah Sumono (89 th.)
- Mbah Kademun (74 th.)


Penyusun :
1. Bpk. Kuswanto S.H. Kepala Desa Wanosari
2. Bpk. Irwan Sumadi BPD Dasa Wonosari
3. Bpk.. Mansyur BPD Desa Wonosari
4. Bpk. Sunarto LPMD Desa Wonosari

di sadur dari
wisata ritual gunung kawi
http://wisata-ritual-gunung-kawi-malang.blogspot.com/2008/12/wisata-ritual-gunung-kawi.html

Sang GARENG...

Nge ngreeeng…… Nge ngreeeng…… Nge ngreeeng……
Itulah bunyi binatang yang bernama ‘gareng’. Sejenis serangga yang hanya dapat kita jumpai saat kemarau telah tiba. Siang tadi saat aku ngaso luar pabrik, kudengan suaranya begitu nyaring seolah-olah ingin mengatakan “cak, hawane puanaaaas tenan yooo…. Ntenono ketigo iki sampek aku ora muni maneh’ (cak, hawanya panas sekali ya, tunggu musim panas ini berlalu jika kami sudah tidak berbunyi lagi ). Begitulah gareng, mereka ada hanya pada saat musim kemarau saja, dan saya memang tidak pernah mendengan suara gareng di bulan – bulan Desember, Januari bahkan sampai Mei.

Begitu konsistennya mereka. Mereka hadir hanya saat tertentu saja. Bahkan sebagian masyarakat sekitar tempat tinggal saya selalu menggunakan gareng sebagai pertanda datangnya kemarau, yang berarti saatnya membangun rumah, membongkar lumbung padi ( ndudah gabah ), memperbaiki pematang sawah ( mopok galengan ), serta banyak kegiatan lainya.

Ada satu hal yang dapat saya petik hikmahnya dari sang gareng ini. Mereka konsisten…!!! Tahu kapan saatnya datang dan pergi, mereka sabar dan ikhlas menerima sunatulloh. Tidak ngeyel minta diundur keluar di bulan desember biar bisa ikut tahun baru-an, atau sekalian minta sepanjang tahun ada, agar menjadi saksi sebuah sejarah peradaban. Kalau bahasanya ‘nrimo ing pandum’.

Ah,… sabar itu memng indah jika dilihat, tapi begitu beraaat untuk di emban.
Kadang aku sering ngeyel, terutama kepada ‘sang pemilik hidup’. Kok aku begini sih..!! kok begitu seeeh…!!! Lha kapan, terus gimana? Dan sebagainya- dan sebagainya. Padahal semua memang ada waktunya dan ada saatnya. Kadang memang aku sendiri yang sering ngeyel gak sabaran, gampang kagetan, serta mudah kepleset dengan keputus asa-an.

Ah… gareng…. Semoga aku mampu menjadi sabar da konsisten dengan kehadiranku ( tujuan – tujuan selama ini ).

Si gareng ku photo, cklik…. Eh diam sajaa……katanya “silahkan cak, aku eksyen…!!!”
hwuasemm si gareng narsis….. setelah puas berfoto-foto akhirnya dia terbang sambil mengucap “terima kasih cak..!!! atas potonya. Jangan lupa yang sabar yaaa!!!”
“he eh….”jawabku. “doain yaaa….!!”
“beres…” balas si gareng sambil terbang semakin jauh. Akhirnya pelajaran hari ini berakhir sudah, dengan materi ‘sabar’ dari sang tutor ‘Gareng’.

Formosa, 09-07-2010
Bholor.
Di sebelah Pabrik

Saturday, January 21, 2012

KEJAWEN. Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai.

tulisan KGPH. Dimas Pakeodoro Tjakradiningrat

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya,
dst.

Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.

Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.

Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.

Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja, melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.

Kejawen : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.


Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.

Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.

Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan

NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.

Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.

Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya.

Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.

PAMRIH

Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting kulo kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
3. Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.

*) Terima kasih Romo Satria Madangkara (ak. KGPH Dimas Pakeodoro Tjakradiningrat)

Friday, January 20, 2012

Kebo Lajer

MARGO MUKTI.
Dhapur : KEBO LAJER / MAHESA LAJER.
Pamor : Ponco Warno / 5 Jenis Pamor. (Putri kinurung, Tunggak semi, aling – aling, mrutu sewu, wengkon ).
Tangguh : Kamardhikan.


- Filosofi Dhapur KEBO LAJER.
Dapur Kebo Lajer harapan bahwa si pemiliki keris diharapkan seperti kerbau laki-laki yang giat bekerja untuk menghidupi keluarga-nya.

Tuah atau do’a yang terkandung dalam sebilah keris dhapur kebo lajer dipercaya untuk menolak wabah penyakit, karena kepercayaan ini pada zaman dahulu keris ini sering di miliki oleh para pengreh praja (lurah, bupati, raja, dll) Karena mereka percaya keris Dhapur Kebo Lajer bertuah untuk daerah kekuasaanya dari serangan hama tanama serta wabah penyakit.

Sebagian pecinta keris lain mengatakan tuah Kebo Lajer adalah untuk membantu penghidupan petani, menyuburkan tanaman, sehingga panennya berhasil. Menolak wabah penyakit ternak sehingga ternak dapat berkembang dengan baik serta memberikan haasil yang berlipat.

- Filosofi Pamor Putri kinurung.
Bentuknya menyerupai gambaran danau dengan tiga atau lebih “pulau” ditengahnya. Letaknya ditengah sor-soran. Tuahnya untuk memudahkan mencari rejeki dan mencegah sifat boros. Bisa diterima dikalangan manapun. Tidak pemilih.

- Filosofi Pamor Tunggak semi.
Pamor ini terletak ditengah Sor-soran. Berkombinasi dengan pamor Wos Wutah. Tuahnya untuk mendapatkan rejeki walau bagaimanapun kecilnya. Tidak termasuk pamor pemilih.

- Filosofi Pamor Aling - aling.
Tuah atau do’a yang terkandung pada pamor aling – aling adalah perlindungan atas keselamatn dari pemiliknya, harta benda, serta keluarganya. Juga terhadap serangan wabah penyakit.


- Filosofi Pamor Mrutu Sewu.
Mirip Udan Mas dan Sisik Sewu. Pamornya berupa bulatan besar dan kecil, rapat satu sama lainnya dan disela pamor yang berbentuk pusaran-pusaran itu ada semacam titik-titik pamor kecil. Pamor ini memudahkan mencari rejaki juga dipercaya orang memudahkan anak gadis atau janda dalam mencari jodoh dan pamor ini tidak pemilih.

- Filosofi Pamor Wengkon.
Ada yang menamakan pamor Tepen. Bentuknya mirip bingkai (wengkon artinya bingkai). Tuahnya untuk perlindungan, ada yang untuk menghindari dari godaan, ada yang memperbesar rasa hemat dan ada yang untuk menghindari dari guna-guna.

Pengharapan dan do’a saya :

Saya namakan MARGO MUKTI (jalan kejayaan), karena tersimpan pengharapan tentang kejayaan keluarga sampai terus kepada anak keturunan saya kelak.

sebilah keris buatan Baru. Berdapur Kebo Lajer dengan bahan besi baru serta bahan pamor dari sendok dan uang koin seratusan tahun emisi 1977 ( atau tahun berapa saya lupa, hehehehe..)

Keris ini sama sekali tidak ber-tuah, memiliki Yoni apalagi ber-khodam. Keris ini hanya sebilah besi biasa, yang mewakilkan harapan serta do'a saya.

Dengan menyimpan pusaka ini, saya memotifasi diri saya sebagai seorang kepala keluarga, agar selalu giat bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan pengharapan mendapatkan hasil yang berlimpah (turah di sandang turah di pangan), selalu di kerubuti rejeki dan keberuntungan (seperti mrutu sewu). Serta Rejeki selalu muncul bak tunas yang bersemi (tungak semi).

Keluarga selalu aman tenteram terlindungi dari segala godaan baik wabah penyakit, fitnah, maupun godaan makhluk lain (pamor aling – aling).

Yang terakhir dengan mengharap perlindungan Tuhan YME (Pamor wengkon). Semoga Allah SWT, mengabulkan. Amiin…..
Bholor.
Taiwan, 14 Febuari 2011

Thursday, January 19, 2012

Tilam Upih

MARGO RUGMI.
Dhapur : TILAM UPIH.
Pamor : Wos wutah & Udan Emas.
Tangguh : Kamardhikan.


- Filosofi Dhapur Tilam Upih.
dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk tidur. Di istilahkan untuk menunjukkan ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu banyak sekali pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dapur tilam Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar anak-cucunya nanti bisa memperoleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.

- Filosofi Pamor Wos Wutah.
Secara harfiah nama Wos Wutah berarti 'beras tumpah'. Pamor ini oleh kebanyakan penggemar keris dianggap memiliki tuah yang dapat membuat pemiliknya mudah mencari rezeki dan hidupnya tenteram. Namun banyak ahli tanjeg keris yang mengatakan bahwa pamor Wos Wutah, kadang-kadang terdapat tuah lain yang 'tersembunyi'. Misalnya ada pamor Wos Wutah yang tuahnya dapat menghindarkan pemiliknya dari bahaya kebakaran.

Bagi lelaki Jawa yang telah menikah, pamor ini juga mengingatkan akan tanggung jawab lelaki sebagai kepala keluarga untuk bertanggungjawab menghidupi / menafkahi keluarganya, sebagaimana tercermin dari ritual “kacar-kucur” pengantin Jawa, dimana pihak lelaki “menumpahkan beras” ke tempat yang telah disediakan pihak perempuan. Arti simbolis ritual ini juga berarti bahwa rejeki yang didapat sang suami "tidak lari kemana-mana" selain ke istri sendiri - yang sekaligus menjadi pengelolanya.


- Filosofi Pamor Udan Emas.
Pamor Rekan dan Pamor Mlumah, tidak pemilih. Oleh sebagian orang dianggap sebagai pamor yang tuahnya membuat pemiliknya didekati rejeki atau setidaknya “berbakat kaya / Kuat Kebandan”.
Oleh banyak kalangan, keris dengan Pamor Udan Mas dianggap memiliki tuah untuk memudahkan pemiliknya mendapatkan rejeki. Dengan rejeki yang cukup,diharapkan seseorang bisa membina rumah tangga dan keluarga lebih baik dan sejahtera.

Pengharapan dan do’a saya :

Saya sebut MARGO RUGMI (jalan keindahan), karena tersimpan pengharapan tentang indahnya kehidupan keluarga yang tenteram dan sejahtera , sampai terus kepada anak keturunan kelak.

Dengan menyimpan pusaka ini, saya berharap kepada Tuhan YME atas kehidupan keluarga. Semoga keluarga saya selalu di anugerahi ketenteraman serta kesejahteraan.

Murah sandhang pangan, rejeki mengalir dengan lancar, sehat lahir batin, terhindar dari segala godaan, serta selalu mendapat perlindungan Dari Tuhan YME.

Bholor.
Taiwan, 21 Januari 2011
******_0_******

desaku....