Wednesday, September 24, 2025

Sedulur Papat dan Kaki Among Nini Among

 

Jejak Gaib yang Menyertai Hidup Manusia

Sejak manusia pertama kali hadir ke dunia, ada rahasia kuno yang dijaga oleh budaya Jawa tentang siapa yang benar-benar menemani perjalanan hidup kita. Tidak hanya ayah, ibu, saudara, atau kawan; ada saudara gaib yang lahir bersamaan dengan kita, menyertai dari sejak rahim hingga kelak menuju keabadian. Mereka dikenal sebagai Sedulur Papat dan penjaga agung bernama Kaki Among Nini Among.

Awal Cerita, Dalam Kandungan

Bayangkan seorang bayi yang masih berbaring dalam gelapnya rahim ibu. Ia tidak sendirian. Sejak hari pertama, ketika benih kehidupan itu ditanam, ada empat saudara yang tercipta bersamaan:

  1. Air ketuban (Kakang Kawah)

  2. Plasenta (Adi Ari-ari)

  3. Darah (Getih)

  4. Tali plasenta (Puser)

Keempatnya bukan hanya sekadar organ biologis. Dalam pandangan Jawa, mereka adalah perwujudan Sedulur Papat, sahabat gaib yang menjaga dan menjadi saksi perjalanan hidup manusia.

Di atas mereka berdiri Pancer – sang bayi itu sendiri, inti kehidupan yang kelak tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Dalam rahim, Kakang Kawah melindungi, Adi Ari-ari memberi makan, Getih mengalirkan kehidupan, dan Puser menjadi penghubung ke ibu. Seolah-olah bayi itu sejak awal sudah ditemani satu keluarga kecil yang setia.


Lahir ke Dunia, Pertemuan dengan Alam

Ketika bayi lahir, satu persatu Sedulur Papat ikut keluar. Air ketuban mengalir lebih dulu, disusul darah, kemudian ari-ari, dan tali pusar yang dipotong. Dalam adat Jawa, semua itu tidak dianggap sampah. Ari-ari, misalnya, biasanya dimakamkan dengan doa, diberi penerangan lampu, bahkan diperlakukan seperti saudara.

Di sinilah wejangan leluhur berkata:
"Ojo lali karo sedulurmu sing papat, amarga dheweke sing setya ngancani uripmu."
(Jangan lupakan saudaramu yang empat, sebab merekalah yang setia menemani hidupmu.)

Seorang bayi yang masih merah, menangis keras di pelukan ibunya, sebenarnya baru saja meninggalkan dunia gaib tempat ia bersama Sedulur Papat. Namun, meski wujud fisik mereka telah berpisah, roh atau sukma Sedulur Papat tetap menyertai sang anak. Mereka menjadi penjaga tak kasat mata, mendampingi ke manapun ia pergi.


Tumbuh Dewasa, Sedulur Papat dalam Kehidupan Sehari-hari

Seiring waktu, sang bayi tumbuh menjadi anak-anak. Ia belajar berjalan, berbicara, berlari, hingga perlahan mengenal dunia. Leluhur Jawa percaya, saat seorang anak bermain, tertawa, atau bahkan menangis sendirian, seringkali ia sedang berinteraksi dengan Sedulur Papat.

  • Kakang Kawah menjadi penjaga dari depan.

  • Adi Ari-ari mengawal dari belakang.

  • Getih berdiri di kiri.

  • Puser berada di kanan.

Mereka membentuk perisai gaib, layaknya pasukan pelindung yang tak terlihat. Dalam bahasa spiritual Jawa, manusia tidak pernah benar-benar sendiri. Bahkan dalam sunyi terdalam, ada empat saudara yang selalu mendengar.

Di sinilah peran Kaki Among Nini Among muncul. Mereka adalah kakek-nenek penjaga, simbol kebijaksanaan dan kasih sayang leluhur yang mengasuh Sedulur Papat agar tetap menyertai manusia dengan seimbang. Tanpa peran Among Nini Among, Sedulur Papat bisa menjadi liar: menjerumuskan ke amarah, hawa nafsu, atau kelalaian. Namun dengan bimbingan mereka, Sedulur Papat menjadi sahabat yang menuntun menuju kebaikan.


Simbolisme dalam Alam dan Kehidupan

Orang Jawa menautkan Sedulur Papat dengan unsur alam, warna, bahkan hewan

  • Kakang Kawahmelambangkan air, berwarna putih, sering disimbolkan dengan gajah yang kuat menjaga dari depan.
  • Adi Ari-ari: melambangkan tanah, berwarna kuning, disimbolkan dengan banteng atau kerbau, setia dan kokoh.

  • Getih: melambangkan api, berwarna merah, disimbolkan dengan macan, berani dan bernafsu.

  • Puser: melambangkan angin, berwarna hitam, disimbolkan dengan burung, bebas dan menghubungkan dunia.

Empatnya mengitari Pancer, yaitu manusia itu sendiri. Mereka hadir layaknya empat arah mata angin yang selalu menjaga titik pusat.


Pertarungan Batin

Ketika manusia beranjak remaja hingga dewasa, Sedulur Papat bukan lagi sekadar penjaga. Mereka berubah menjadi cermin dari sifat batin:

  • Saat marah, itu bisikan Getih.

  • Saat rakus atau serakah, itu godaan Ari-ari.

  • Saat tenang dan sabar, itu bimbingan Kawah.

  • Saat merasa gelisah atau ingin bebas, itu sapaan Puser.

Manusia sejati adalah yang mampu mengharmoniskan keempatnya. Di sinilah ajaran Jawa mengajarkan pentingnya eling lan waspada – selalu ingat dan berhati-hati. Mengingat bahwa manusia tidak hidup sendirian, ada saudara gaib yang mencatat setiap langkah.

Kaki Among Nini Among pun terus mendampingi, bagai kakek-nenek yang selalu sabar menasihati cucunya: jangan lupa sembahyang, jangan lupa menjaga perilaku, jangan lupa berbagi.


Pulang, Kematian sebagai Pertemuan Kembali

Ketika ajal tiba, manusia kembali ke asal. Tubuh jasmani dikembalikan ke bumi, sementara roh kembali ke Sang Pencipta. Sedulur Papat yang setia sejak kandungan pun kembali ke tempatnya.

Namun sebelum itu, merekalah yang menuntun arwah agar tidak tersesat. Kaki Among Nini Among membuka jalan, seolah berkata:
"Wis wayahe bali, nak. Wis wayahe mulih."
(Sudah saatnya pulang, nak. Sudah saatnya kembali.)

Sehingga kematian dalam tradisi Jawa tidak pernah dianggap sebagai akhir, melainkan perjalanan pulang, bersama saudara-saudara gaib yang tidak pernah meninggalkan.


Hidup yang Tidak Pernah Sendiri

Kisah Sedulur Papat dan Kaki Among Nini Among mengajarkan bahwa manusia tidak pernah benar-benar sendirian. Sejak dalam rahim, lahir, bermain, dewasa, hingga meninggalkan dunia, selalu ada saudara gaib yang mendampingi.


Mereka adalah simbol bahwa manusia sejati harus menjaga keseimbangan: antara hawa nafsu dan kesabaran, antara keberanian dan kebijaksanaan, antara kebebasan dan tanggung jawab.

Pada akhirnya, mengingat Sedulur Papat adalah mengingat diri sendiri. Sebab mereka bukan lain adalah bagian dari kita, sahabat tak kasat mata yang mengajarkan arti hidup, mati, dan kembali.


~Wonosari, Gunung Kawi 2025

Edi "Bholor" Santoso




No comments:

Post a Comment