Monday, September 29, 2025

Perayaan Ulang Tahun Klenteng Eng An Kiong Malang & Festival "World Tua Pek Kong" ke-14

Harmoni Budaya yang Menyatu di Kota Sejuta Cerita


Langit Kota Malang sore itu tampak berbeda. Jalanan di sekitar Jalan Laksamana Martadinata mulai dipadati warga, pedagang kaki lima, hingga wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Suara musik tradisional, tabuhan tambur, dentuman barongsai, dan harum dupa dari kejauhan menandai satu hal: Klenteng Eng An Kiong tengah merayakan ulang tahunnya sekaligus Festival "World Tua Pek Kong ke-14".

Sebagai warga Malang, saya selalu menantikan momen ini. Bukan sekadar perayaan keagamaan, tapi sebuah pesta budaya yang menyatukan keragaman masyarakat kota apel.


Pawai Budaya yang Memukau

Keesokan harinya, sejak pagi buta, jalanan sudah ramai. Orang-orang mulai memadati rute pawai, dari depan Klenteng Eng An Kiong hingga ke jalan-jalan utama kota. Anak-anak kecil duduk di pundak ayah mereka, para ibu menenteng kamera, sementara para turis asing terlihat sibuk merekam setiap momen.

1. Barongsai dan Liong

Dentuman tambur pertama menggetarkan udara, disusul kemunculan barongsai berwarna merah dan emas. Gerakannya lincah, melompat di atas tiang-tiang besi, membuat penonton bersorak kagum. Di belakangnya, naga liong panjang meliuk-liuk, seolah menari mengikuti irama musik.

Saya merinding menyaksikan itu. Barongsai bukan hanya tontonan, tapi simbol doa untuk mengusir roh jahat sekaligus mendatangkan keberuntungan.

2. Tua Pek Kong Parade

Bagian paling ditunggu adalah saat arak-arakan patung Tua Pek Kong, sosok dewa yang dihormati sebagai pelindung dan pembawa rezeki. Patungnya diusung di atas tandu, dikelilingi dupa yang mengepul dan alunan doa. Ribuan orang berebut untuk menyentuh atau sekadar menundukkan kepala, berharap mendapat berkah.

Seorang ibu di sebelah saya berbisik, “Kalau bisa menyentuh tandu Tua Pek Kong, katanya rejeki kita lancar sepanjang tahun.”

Entah benar atau tidak, tapi saya bisa merasakan aura kekhusyukan yang menyelimuti momen itu.

3. Kolaborasi Budaya

Menariknya, pawai ini tidak hanya diisi oleh tradisi Tionghoa. Ada juga penampilan reog Ponorogo, tarian Bali, musik gamelan Jawa, hingga marching band modern. Semua tampil bergantian, menciptakan mozaik budaya yang indah.

Di sinilah Malang menunjukkan jati dirinya: sebuah kota yang mampu merayakan perbedaan dengan damai.


World Tua Pek Kong Festival ke-14, Malang di Mata Dunia

Seiring berjalannya waktu, festival ini tidak hanya menjadi agenda lokal, tetapi juga berskala internasional. World Tua Pek Kong Festival telah digelar di berbagai negara Asia, dan tahun ini Malang kembali dipercaya sebagai tuan rumah untuk yang ke-14 kalinya.

Delegasi dari Malaysia, Taiwan, hingga Hong Kong turut hadir, membawa seni pertunjukan khas negeri mereka. Bayangkan, di satu panggung yang sama kita bisa menyaksikan barongsai Singapura, tari naga, sekaligus kesenian tradisional Indonesia.

Suasana malam itu semakin meriah ketika lampion-lampion dilepaskan ke langit. Ribuan cahaya beterbangan, seakan mengirim doa dan harapan ke angkasa. Saya terdiam, menikmati pemandangan yang hanya bisa digambarkan sebagai "magis".


Klenteng Eng An Kiong, Sejarah yang Hidup

Bagi sebagian orang, mungkin belum banyak yang tahu bahwa Klenteng Eng An Kiong merupakan salah satu klenteng tertua di Jawa Timur. Dibangun sekitar tahun 1825, klenteng ini didirikan oleh komunitas Tionghoa yang sudah menetap di Malang sejak era kolonial Belanda.

Nama Eng An Kiong memiliki arti "Istana Kebajikan dan Keselamatan". Fungsinya tidak hanya sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma (Konghucu, Buddha, dan Tao), tetapi juga pusat kebudayaan.

Uniknya, arsitektur klenteng ini masih terjaga otentiknya. Ukiran naga di atap melambangkan kekuatan, burung phoenix sebagai simbol keberuntungan, dan warna merah serta emas mendominasi setiap sudut, yang dipercaya sebagai warna pembawa berkah.

Klenteng ini juga pernah menjadi tempat berkumpulnya pejuang pada masa penjajahan, sehingga punya nilai historis selain spiritual.


Kehangatan di Tengah Keramaian

Di sela-sela keramaian, saya sempat duduk di pinggir jalan menikmati es kacang merah yang dijual seorang pedagang. Di sekeliling saya, orang-orang saling tertawa, berfoto bersama, bahkan berbagi makanan dengan orang asing yang baru mereka kenal.

Ada rasa hangat yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin inilah inti dari perayaan ini: kebersamaan. Tidak peduli latar belakang agama, etnis, atau status sosial, semua larut dalam kegembiraan yang sama.


Refleksi, Merawat Toleransi Lewat Budaya

Sebagai warga Malang, saya bangga bisa menjadi bagian dari perayaan ini. Ulang tahun Klenteng Eng An Kiong dan Festival World Tua Pek Kong bukan hanya sekadar pesta rakyat, tapi juga pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan.

Di saat banyak tempat di dunia masih bergulat dengan konflik perbedaan, Malang justru menunjukkan bahwa harmoni bisa dirayakan.

Saya pulang malam itu dengan hati penuh syukur. Lampion-lampion di langit sudah redup, jalanan mulai lengang, tapi gema tabuhan tambur dan sorak sorai masih terngiang di telinga.

Dan saya tahu, tahun depan saya akan kembali lagi, menyaksikan bagaimana kota ini terus merayakan kebersamaan.


Penutup

Perayaan Ulang Tahun Klenteng Eng An Kiong Malang dan World Tua Pek Kong Festival ke-14 adalah bukti nyata bahwa budaya mampu menyatukan manusia. Ia bukan hanya ritual, bukan sekadar hiburan, tapi warisan yang harus terus dijaga.

Bagi siapa saja yang belum pernah hadir, saya hanya bisa berkata: datanglah tahun depan. Rasakan sendiri magisnya. Karena ada hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya dituliskan—hanya bisa dialami.

No comments:

Post a Comment