Wednesday, September 24, 2025

Sangkan Paraning Dumadi

 Jalan Pulang Manusia Menuju Keabadian

Malam itu, langit tampak begitu tenang. Bintang-bintang berkerlip seakan sedang berbisik. Di sebuah pendopo tua yang diterangi lampu teplok, seorang kakek berambut putih duduk bersila, dikelilingi cucu-cucunya. Angin semilir membawa aroma tanah basah dan kembang kantil yang jatuh di halaman.

“Simak baik-baik, Nak,” kata sang kakek, Mbah Sajugo, dengan suara berat tapi lembut, “malam ini Mbah ingin bercerita tentang Sangkan Paraning Dumadi. Sebuah pitutur kuno yang mengajarkan dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali.”

Anak-anak kecil itu, meski biasanya gelisah, malam ini duduk diam. Mereka tahu, jika Mbah Sajugo mulai bercerita tentang ajaran leluhur, akan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dongeng pengantar tidur.


Asal Mula, Dari Cahaya ke Ragawi

Mbah Sajugo mengawali kisahnya, “Anak-anak, setiap manusia lahir bukan hanya karena pertemuan bapak dan ibu. Lebih dalam dari itu, kita lahir dari sangkaning dumadi — asal mula keberadaan. Dalam pitutur Jawa, manusia berasal dari Sang Hyang Tunggal, cahaya sejati, sumber dari segala kehidupan.”

Ia menutup mata, seakan sedang melihat ke masa lalu yang jauh.
“Bayangkan, Nak. Sebelum menjadi janin, sebelum darah dan daging terbentuk, roh kita adalah cahaya murni. Cahaya itu dikirim ke dunia untuk belajar, untuk ngalami, supaya kelak bisa pulang dengan membawa kesadaran yang lebih dalam.”

Anak bungsu mengangkat tangan, polos bertanya, “Mbah, berarti kita ini tamu di dunia?”

Mbah Sajugo tersenyum, mengangguk pelan. “Ya, Nak. Kita hanyalah tamu. Dunia ini hanyalah persinggahan. Rumah sejati kita ada di alam langgeng, tempat asal mula kita. Maka hidup ini hanyalah perjalanan pulang.”


Tujuan Hidup, Urip Iku Urup

“Kalau begitu,” sahut cucu sulung, “untuk apa kita hidup di sini, Mbah?”

Pertanyaan itu membuat Mbah Sajugo menarik napas panjang. “Urip iku urup,” jawabnya mantap. “Hidup itu harus menyala, memberi cahaya dan manfaat. Kita diberi raga supaya bisa bekerja, kita diberi rasa supaya bisa welas asih, dan kita diberi akal supaya bisa menimbang mana yang benar dan mana yang salah.”

Mbah Sajugo lalu menggenggam tanah di depannya.
“Tanah ini, Nak, kalau kamu taburi benih, ia akan menumbuhkan. Kalau kamu biarkan kosong, ia akan tetap memberi kehidupan bagi rumput dan serangga. Itulah hukum tabur-tuai. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Kalau kita menabur kebaikan, kita akan menuai kebaikan. Kalau kita menabur kebencian, maka keburukan akan kembali menghampiri.”

Anak-anak itu terdiam, seperti baru memahami mengapa Mbah Sajugo sering mengajak mereka berbagi makanan dengan tetangga, atau membantu orang lain tanpa pamrih.


Jalan Hidup, Menyatu dengan Alam

Mbah Sajugo melanjutkan kisahnya. “Dalam ajaran kejawen, manusia disebut jagad cilik atau mikrokosmos. Alam semesta ini adalah jagad gede atau makrokosmos. Keduanya terhubung. Apa yang kita lakukan dalam diri, akan bergetar sampai ke jagad raya. Dan apa yang terjadi di alam semesta, juga akan memengaruhi kita.”

Ia menunjuk ke langit penuh bintang.
“Kalau manusia merusak alam, menebang pohon sembarangan, membuang racun ke sungai, maka jagad gede akan merespons dengan banjir, longsor, atau paceklik. Begitu pula dalam diri, kalau kita memelihara iri, benci, dan tamak, maka tubuh kita sakit, hati kita gersang.”

Sejenak ia berhenti, menatap wajah cucu-cucunya yang tertegun.
“Maka jalan hidup kita adalah menjaga keseimbangan. Hamemayu hayuning bawana — memperindah keindahan dunia. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua makhluk. Itulah cara kita mendekat kepada asal mula, kepada Sang Pencipta.”


Kematian, Gerbang Pulang

Anak tengah, yang terkenal berani, tiba-tiba bertanya, “Mbah, kalau kita sudah mati, apa kita hilang?”

Mbah Sajugo menatapnya lama, lalu tersenyum.
“Tidak, Nak. Kematian bukan akhir. Kematian adalah gerbang pulang. Seperti matahari yang tenggelam di barat, lalu besok muncul lagi di timur. Seperti daun yang gugur, lalu memberi pupuk pada tanah agar tumbuh kehidupan baru.”

Ia menunjuk jantungnya sendiri.
“Raga ini hanya pinjaman. Kelak ia akan kembali menjadi tanah, air, angin, dan api. Tapi roh kita akan kembali menempuh perjalanan menuju asalnya. Jika hidup kita lurus, penuh dengan kebaikan, maka jalan pulang itu terang dan lapang. Jika hidup kita penuh dengan noda, maka jalan itu penuh liku dan gelap.”


Hukum Tabur Tuai, Seimbang di Jagad Mikro dan Makro

Mbah Sajugo menghela napas, lalu berkata lebih dalam, “Ingat, Nak, hukum tabur-tuai itu tak bisa dihindari. Ia menjaga keseimbangan jagad cilik dan jagad gede. Kalau kamu menyakiti orang, kamu sedang menanam duri di jalanmu sendiri. Kalau kamu menolong orang, kamu sedang menanam bunga di jalanmu.”

Ia mengisahkan pepatah Jawa: sapa nandur bakal ngundhuh — siapa yang menanam, dia yang akan memetik. “Kalau kita ingin pulang dengan tenang, taburlah welas asih. Taburlah kebajikan. Jangan biarkan benih kebencian tumbuh di hatimu, karena ia akan jadi belukar yang menyulitkanmu.”


Pulang dengan Kesadaran

Anak-anak semakin larut dalam cerita itu. Mbah Sajugo lalu menutup kisahnya dengan suara lirih, seakan berbicara bukan hanya pada cucu-cucunya, tapi juga pada dirinya sendiri.

“Pada akhirnya, Sangkan Paraning Dumadi mengajarkan bahwa kita semua akan pulang. Tapi pulang dengan cara bagaimana, itu tergantung pada pilihan kita di dunia. Apakah kita pulang membawa cahaya yang lebih terang, atau pulang dengan beban kegelapan.”

Ia menatap api lampu teplok yang bergoyang lembut.
“Hidup adalah perjalanan. Dunia hanyalah sekolah. Tubuh ini hanyalah pakaian. Jiwa kita adalah murid yang harus belajar. Dan Sang Hyang Tunggal adalah rumah tempat kita kembali. Maka, jalani hidupmu dengan bijaksana, selaras dengan alam, penuh kasih pada sesama, agar jalan pulangmu terang benderang.”


Refleksi

Malam semakin larut. Anak-anak itu akhirnya tertidur di pangkuan Mbah Sajugo, sementara suara jangkrik mengisi keheningan. Sang kakek memandang mereka dengan mata berkaca-kaca, seakan menitipkan harapan pada generasi berikutnya.

Bahwa ajaran luhur Sangkan Paraning Dumadi tak boleh hilang ditelan zaman.
Bahwa manusia harus selalu ingat asal-usulnya, memahami tujuan hidupnya, dan sadar akan jalan pulangnya.
Bahwa hukum tabur-tuai selalu berlaku, menjaga keseimbangan jagad mikro dalam diri dan jagad makro semesta raya.

Dan di balik semua itu, tersimpan pitutur abadi: hidup hanyalah perjalanan pulang menuju Sang Cahaya.


~Wonosari, Gunung Kawi. Malang 2025

Edi "Bholor" Santoso.

No comments:

Post a Comment