Thursday, December 20, 2012

Upacara pasang SOKO GURU

Pasang Cuncit dan Soko Guru

Jejak Simbol dan Doa dalam Mendirikan Rumah Jawa


Di sebuah pagi yang hangat di pedesaan Jawa, suara gamelan kecil bercampur dengan tawa para tetangga yang berkumpul di halaman tanah kosong. Hari itu bukan hari biasa. Sebuah keluarga akan memulai babak baru dalam hidup mereka: mendirikan rumah. Namun, di balik derap palu dan tegaknya kayu soko guru, ada sebuah ritual sakral yang penuh doa dan simbol: upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru.

Bagi masyarakat Jawa, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah jiwa, ruang kehidupan, tempat benih-benih manusia tumbuh, dan pusat keluarga menemukan arah. Itulah sebabnya, sebelum rumah berdiri, doa-doa dipanjatkan dan simbol-simbol dipersembahkan. Semua demi harapan: semoga rumah membawa keselamatan, ketentraman, rezeki, serta kebahagiaan bagi para penghuninya.


Rumah dan Simbol, Bahasa yang Dipahami Leluhur

Budaya Jawa kaya akan simbol. Doa tidak hanya terucap lewat kata, tetapi juga melalui benda-benda sederhana yang menyimpan makna dalam. Begitu pula dalam upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru. Setiap daun, bunga, makanan, bahkan seutas kain, adalah bahasa simbolik untuk berkomunikasi dengan Tuhan, bumi, langit, dan leluhur.

Ada kendi berisi air—lambang sumber kehidupan. Ada padi dan jagung—harapan kemakmuran. Ada kain merah dan putih—simbol Ibu Pertiwi dan Bapa Angkasa. Bahkan ada paku emas yang ditancapkan di bubungan rumah, sebagai doa agar rumah berdiri gagah, berwibawa, dan membawa rasa nyaman bagi siapa pun yang bernaung di bawahnya.


Sajen dan Cok Bakal, Menghormati Asal dan Tujuan

~sajen~
Di salah satu sudut, seorang sesepuh menyiapkan sajen: pisang raja, kelapa, beras, gula kelapa, bunga telon, hingga kinangan. Semua ini melambangkan penghormatan kepada leluhur. Karena, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “urip iku ana amarga ana sing nglairaké”—hidup kita ada karena ada yang melahirkan kita.

~cok bakal~
Lalu ada cok bakal: berisi telur ayam kampung, bunga, kendi, rempah-
rempah, jenang merah-putih, hingga tumpeng kecil. Semua ini adalah persembahan untuk bumi, tempat manusia berpijak sejak lahir hingga kembali ke tanah.

Bagi masyarakat Jawa, menghormati leluhur dan bumi bukanlah hal mistis, melainkan wujud syukur. Rumah berdiri bukan hanya untuk pemiliknya, tetapi juga sebagai bagian dari harmoni semesta.


Kembang Setaman dan Air Kehidupan

Prosesi berikutnya diwarnai oleh kembang setaman: mawar merah-putih, kenanga, kantil, gadhing, daun pandan, puring serta andhong, hingga janur kuning dan bibit (dongkel) pisang raja juga telur ayam. Semua dicampur dalam air yang harum bercampur dengan beras kuning. 

Air bunga ini nanti akan dipercikkan ke kayu utama, sebagai lambang doa agar rumah membawa keselamatan, keberkahan, dan rejeki bagi seluruh penghuninya.

Di sisi lain, sebuah kendi berisi air penuh siap ditanam di bawah pondasi soko guru. Air adalah inti kehidupan. Doa pun dipanjatkan agar keluarga yang menempati rumah selalu tercukupi kebutuhan hidupnya—baik lahir maupun batin.


Rahasia di Balik Pondasi

Cangklong, Pendheman, dan Pepes Katul

Bagi mata awam, pondasi rumah hanyalah batu dan semen. Namun, bagi orang Jawa, di sanalah doa-doa paling kuat ditanamkan.

Ada cangklong, sepasang bambu berisi air putih dan air tape. Simbol agar rumah berdiri kokoh.


Ada pendheman, ikatan daun alang-alang, juwet, lo, dhadap srep, dan daun maja. Maknanya: rumah akan terasa sejuk, pemiliknya terbebas dari masalah ruwet, dan berdiri seteguh baja

.
Ada pula pepes katul—bekatul yang dipanggang dalam daun. Simbol agar rumah menjadi lentur, mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi.

Dan tentu saja, kayu dhadap srep yang ditanam terbalik. Filosofinya sederhana tapi dalam: agar hawa rumah selalu terasa segar dan adem, menentramkan siapa pun yang tinggal di dalamnya.


Padi, Jagung, dan Warna Merah-Putih

Empat penjuru soko guru kemudian dihiasi dengan gantungan padi dan jagung. Harapannya jelas: kemakmuran. Padi dan jagung adalah lambang pangan yang menjadi dasar kehidupan.

Sementara itu, kain merah ditanam bersama cok bakal, kendi, dan kayu dhadap srep sebagai lambang Ibu Pertiwi. 

Adapun kain putih membungkus pertengahan kayu bubungan (cuncit) yang di dalamnya di tanamkan paku emas, sebagai perlambang Bapa Angkasa. 

Kedua warna itu menyatukan bumi dan langit, ibu dan bapak, dalam harmoni rumah yang baru berdiri.


Ketupat, Lepet, dan Jadah adalah Tali Persaudaraan

Saat prosesi berlangsung, aroma ketupat dan lepet memenuhi udara. Keduanya melambangkan penghormatan kepada leluhur dan empat penjuru mata angin. Ketupat dengan simpulnya yang rumit adalah doa agar hati manusia tetap jernih dan terikat erat dalam persaudaraan.

Ada pula jadah, yang dibagikan kepada kerabat yang ikut bergotong royong mendirikan soko guru. Jadah yang lengket adalah simbol kebersamaan—mengikat erat hubungan antar tetangga. Sebuah pengingat bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal keluarga inti, melainkan juga bagian dari jaringan sosial yang lebih luas.


Prosesi Sakral Pecah Telur dan Langkah Sang Ibu


Momen paling ditunggu pun tiba. Sesepuh mengambil sebutir telur ayam kampung dan memecahkannya tepat di atas kayu cuncit—kayu utama bubungan rumah. Simbolik sederhana, tapi sarat makna: wes pecah ndog’e, kabul gegayuhane—telah pecah telurnya, terkabul segala cita-cita.

Lalu, sang istri pemilik rumah melangkahi kayu cuncit dengan hati-hati. Dalam filosofi Jawa, langkah itu adalah ikrar: “Anggaplah rumah ini suami keduamu. Rawat, cintai, dan jagalah ia. Jika suami pergi, tetaplah bernaung di dalam rumahmu.” Sebuah pesan tentang kesetiaan dan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga.

Setelah itu, bunga setaman dipercikkan ke kayu dan pondasi. Doa pun menggema: semoga rumah ini menjadi sumber keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan.


Paku Emas dan Dhamar sbagai Cahaya Harapan

Di titik paling tinggi rumah, sebuah paku emas ditancapkan di bubungan. Bukan sekadar penguat, melainkan simbol doa agar rumah tampak kokoh, berwibawa, dan memberi rasa nyaman.

Sementara itu, sebuah dhamar—lampu minyak kecil—dinyalakan. Cahayanya redup namun hangat, seakan berkata: “Semoga rumah ini selalu diterangi jalan terang, bebas dari kegelapan hati maupun hidup.”


Gotong Royong: Nafas Masyarakat Jawa

Semua prosesi tak akan berarti tanpa gotong royong. Di desa, mendirikan rumah bukan hanya urusan

satu keluarga, tapi urusan seluruh warga. Tetangga datang membawa tenaga, makanan, dan doa. Anak-anak berlarian, para ibu menyiapkan kenduri, sementara bapak-bapak bahu-membahu menegakkan soko guru.

Di akhir acara, seluruh warga duduk lesehan, menikmati hidangan kenduri. Ada doa bersama, lalu nasi tumpeng, ketupat, dan aneka lauk dibagikan. Tawa bercampur doa, syukur bercampur harapan.


Rumah Sebagai Doa yang Hidup

Pasang Cuncit dan Soko Guru bukan sekadar tradisi. Ia adalah wujud nyata bagaimana masyarakat Jawa memaknai rumah. Setiap kayu, setiap bunga, setiap sajian—semua adalah doa yang hidup, bersemayam di dalam pondasi, dinding, hingga atap rumah.

Di tengah modernitas yang serba cepat, upacara ini mengingatkan kita bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, melainkan pusat kehidupan, tempat doa-doa dikumpulkan, dan simbol keterhubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.

Dan tentunya setelah semua pekerjaan hari itu selesai, makan diakhiri sengan selamatan dan do'a.

Rumah boleh sederhana, tapi doa yang menyertainya akan membuatnya megah di mata semesta.


~Wonosari, Gunung Kawi 2012

Edi 'Bholor' Santoso.



No comments:

Post a Comment