Thursday, October 2, 2025

Manunggaling Kawulo Gusti

 Belajar Menyatu dengan Tuhan ala Jawa

Malam itu, saya duduk di sebuah saung kecil di halaman rumah Mbah Suryo. Angin berhembus pelan

membawa aroma tanah basah selepas hujan. Suara jangkrik saling bersahut, memberi latar suasana yang tenang. Mbah Suryo, seorang sesepuh kampung yang terkenal bijak, mengajak saya ngobrol sambil menyeruput wedang jahe hangat.

Le,” katanya sambil tersenyum, “pernah dengar istilah manunggaling kawulo gusti?”

Saya mengangguk. “Pernah, Mbah. Katanya itu ajaran Jawa tentang manusia yang bisa menyatu dengan Tuhan. Tapi jujur saja, saya belum benar-benar paham.”

Mbah Suryo tertawa kecil, “Lha, memang tidak mudah dipahami kalau hanya pakai logika. Perlu rasa, perlu laku.”

Dan malam itu, saya merasa sedang berada di kelas kehidupan yang sesungguhnya.


Apa Itu Manunggaling Kawulo Gusti?

Secara sederhana, manunggaling kawulo gusti berarti “bersatunya hamba dengan Tuhan.” Dalam pandangan Jawa, manusia tidak pernah benar-benar terpisah dari Gusti Allah. Kita adalah bagian dari-Nya, sekaligus pancaran dari sifat-sifat-Nya.

Namun, bersatu bukan berarti manusia menjadi Tuhan. Bersatu lebih dimaknai sebagai keselarasan: bagaimana manusia hidup dengan sadar, bahwa setiap tindakan, ucapan, dan pikiran selalu berada dalam pengawasan dan naungan-Nya.

“Bayangkan, Le, Tuhan itu samudera. Kita ini hanya tetesan air. Saat tetesan kembali ke laut, ia menyatu, tapi bukan berarti hilang. Ia tetap ada, hanya tidak lagi merasa terpisah.”


Sifat-Sifat Ketuhanan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Orang Jawa sering menyebut bahwa hidup ini adalah panggung wayang. Kita semua dalang sekaligus wayang. Ada naskah yang sudah digariskan, tetapi bagaimana cara kita memainkannya, itulah yang menentukan.

Di sinilah sifat-sifat ketuhanan bisa menjadi tuntunan. Kalau dalam Islam dikenal Asmaul Husna, maka dalam Jawa pun kita mengenal sifat-sifat Gusti yang bisa kita teladani. Misalnya:

  1. Welas asih (kasih sayang)
    Menjalani hidup dengan penuh cinta pada sesama. Tidak mudah menghakimi, apalagi menyakiti.

  2. Adil
    Mampu menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sekitar.

  3. Sabar
    Menghadapi masalah tanpa mudah putus asa. Orang Jawa percaya, sabar itu bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi menjaga hati tetap teduh.

  4. Nrimo ing pandum
    Menerima apa yang menjadi bagian hidup kita, tanpa iri pada orang lain.

Mbah Suryo pernah bilang, “Kalau manusia bisa meneladani sifat Gusti, hidupnya akan ringan. Ora gampang nesu, ora gampang gelo. Karena dia tahu, semua ini titipan.”


Hubungan Segitiga, Tuhan – Manusia – Alam

Dalam falsafah Jawa, hidup itu tidak berdiri sendiri. Ada yang namanya Tri Hita Karana, meski istilah itu lebih sering dipakai di Bali, tapi maknanya sama: menjaga keseimbangan hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.

  1. Hubungan dengan Tuhan
    Dilakukan lewat doa, sembahyang, meditasi,dan di sertai sekadar mengingat-Nya dalam hati. Tidak harus ribet, yang penting tulus.

  2. Hubungan dengan Sesama Manusia
    Wujudnya bisa sederhana: gotong royong, tidak merugikan orang lain, saling menolong.

  3. Hubungan dengan Alam
    Orang Jawa zaman dulu selalu menghormati alam. Makanya ada tradisi bersih desa, sedekah bumi, atau larangan menebang pohon sembarangan. Semua itu bentuk kesadaran bahwa kita hidup bersama dengan alam.

Seorang kawan pernah berkata, “Kalau salah satu hubungan ini rusak, hidup jadi tidak seimbang. Seperti meja berkaki tiga yang salah satunya patah, pasti roboh.”


Pelajaran dari Pasar

Suatu hari, saya ikut Mbah Suryo ke pasar tradisional. Di sana saya melihat pedagang sayur yang wajahnya selalu ceria, meskipun dagangannya tidak selalu habis.

Saya bertanya, “Mbah, kok Bu itu bisa tetap senyum meski kadang rugi?”

Mbah hanya menjawab, “Karena dia ngerti dan paham. Dia percaya rejeki itu datang dari Gusti. Tugasnya hanya berusaha, sisanya pasrah.

Di situ saya sadar, manunggaling kawulo gusti bukan teori tinggi yang hanya bisa dipahami lewat kitab. Ia nyata, hidup di tengah keseharian orang-orang kecil yang tulus.


Menghidupi Falsafah dalam Zaman Modern

Kita hidup di era serba cepat, serba sibuk, serba digital. Kadang kita lupa menarik napas panjang dan merenungkan siapa diri kita sebenarnya.

Manunggaling kawulo gusti mengajarkan agar kita kembali sadar. Bahwa sehebat apapun teknologi, setinggi apapun jabatan, kita hanyalah “tetesan air” dalam samudera besar.

Cara sederhana untuk menghidupinya di zaman modern:

  • Mulai hari dengan rasa syukur, bukan keluhan.

  • Bersikap adil di kantor, di rumah, bahkan di dunia maya.

  • Tidak menyebar kebencian, karena itu merusak hubungan sesama manusia.

  • Menjaga alam: hemat energi, tidak buang sampah sembarangan, menanam pohon.

  • Mengingat Tuhan, bukan hanya saat susah, tapi juga ketika bahagia.


Menjadi Air yang Menyatu

Saat malam semakin larut, suara gamelan dari rumah tetangga terdengar samar. Mbah Suryo menatap langit, lalu berkata pelan,

“Le, hidup itu perjalanan pulang. Dari Gusti kita berasal, kepada Gusti kita kembali. Yang penting, jalannya harus benar: rukun dengan sesama, nyawiji dengan alam, dan eling marang Gusti.”

Saya mengangguk. Kata-kata itu sederhana, tapi menancap dalam hati.

Manunggaling kawulo gusti bukan lagi sekadar istilah berat yang hanya bisa dibahas di ruang akademis. Ia bisa kita hidupi dalam keseharian: lewat senyum, sabar, adil, welas asih, dan nrimo.

Seperti tetesan air yang akhirnya menyatu kembali dengan samudera, begitu pula manusia akan menemukan kedamaian sejati saat ia sadar bahwa dirinya tidak pernah terpisah dari Tuhan.


~Kaki Gunung Pitrang - Kawi~
Edi "Bholor" Santoso.

Tuesday, September 30, 2025

Pembacaan Cupu Kyai Panjala Tahun 2025. Tradisi Sakral yang Menyimpan Pesan Leluhur

Warisan Leluhur yang Masih Terjaga

prosesi adat Pembukaan Kyai Cupu Panjala
~ Sumber : Merdeka.com ~
Di tanah Jawa, ada sebuah tradisi sakral yang terus hidup dari generasi ke generasi, yakni pembacaan Cupu Kyai Panjala. Ritual ini bukan sekadar upacara adat, melainkan sebuah peristiwa budaya yang sarat makna, doa, dan harapan bagi perjalanan hidup manusia serta arah zaman.

Tahun 2025. Tepatnya hari Selasa Kliwon Dini hari tanggal 30 September, menjadi momen yang dinanti, ketika cupu-cupu pusaka kembali dibuka. Setiap guratan, gambar, dan simbol yang muncul dipercaya sebagai pesan dari leluhur, yang memberikan gambaran tentang apa yang akan dihadapi dalam setahun ke depan.


Proses Pembacaan Cupu Kyai Panjala 2025

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pembacaan dimulai dengan doa bersama. Tiga cupu utama—Cupu Semar Kinandhu, Cupu Palang Kinantang, dan Cupu Kenthi Wiri—diletakkan di tengah ruangan. Saat kain penutup dibuka, terlihat berbagai gambar yang kemudian dibacakan satu per satu sesuai arah mata angin.

Berikut hasil pembacaan Cupu Kyai Panjala tahun 2025:

    ilustrasi hasil pembacaan
    ~dok. Gunung Kidul TV~
  • Sebelah barat: gambar ayam jantan menghadap ke barat.

  • Tenggara: gambar dua kepala. yang menghadap timur mangap, salah satunya menghadap kebarat sedang merokok.

  • Barat daya: gambar wayang Narodo.

  • Barat laut: gambar kambing menghadap timur.

  • Timur: gambar pulau Sumatra.

  • Timur laut: orang duduk menghadap ke timur.

  • Barat: gambar bintang.

  • Timur: orang duduk menghadap ke timur.

  • Selatan: gambar serangga kecil (gurem).

  • Timur: layang-layang berekor.

  • Timur: gambar tikus.

  • Timur: kepala berjenggot.

  • Barat laut: kepala wayang.

  • Barat: angka 3.

  • Barat: wayang Petruk menghadap barat.

  • Timur: kepala laki-laki dengan iket.

  • Barat: orang shalat rukuk menghadap kiblat.

  • Timur laut: huruf Arab “Alif”.

  • Timur: kepala singa.

  • Barat: babi menghadap timur.

  • Selatan: anak menaiki hewan.

  • Barat: tokoh Semar menghadap utara.

  • Timur: telapak tangan.

  • Timur: pulau Jawa.

  • Barat daya: kepala orang bermata belo.

  • Utara: gunungan wayang (Kayon) tegak.

  • Barat: ikan.

  • Barat daya: anak kecil memakai rok.

  • Timur: angka 3.

  • Barat daya: perempuan dengan anaknya.

  • Kain penutup: ada 4 lembar yang basah, sisanya kering.


Posisi Arah Cupu

Cupu Kyai Panjala
~dok. Kumparan.com~

 

Cupu Semar Tinandu condong ke timur.

  • Cupu Palang Kinantang condong ke selatan.

  • Cupu Kenthi Wiri condong ke timur laut.

Semua tanda ini dipercaya menyimpan pesan dan makna mendalam, yang kelak ditafsirkan sesuai tradisi Jawa.



Makna Budaya dan Spiritualitas

Meski simbol-simbol tersebut terlihat sederhana—ayam, bintang, tikus, singa, hingga wayang—bagi masyarakat Jawa, semuanya mengandung petuah hidup, pengingat, dan nasihat leluhur. Setiap pembacaan cupu bukan hanya ritual, melainkan juga sarana untuk merenung, memohon keselamatan, dan mencari arah kehidupan di masa mendatang.

Tradisi Cupu Kyai Panjala tahun 2025 sekali lagi membuktikan bahwa budaya Jawa masih teguh menjaga nilai-nilai spiritual, kebersamaan, dan rasa hormat terhadap leluhur.


Akhir kata..

~foto dok. HarianJogja.com~
Pembacaan Cupu Kyai Panjala 2025 bukan sekadar ritual, tetapi cermin perjalanan manusia dalam menghadapi zaman. Setiap simbol yang muncul menjadi pengingat agar manusia selalu rendah hati, waspada, dan bersyukur dalam menapaki tahun yang baru.

Dengan menjaga tradisi ini, masyarakat Jawa tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga menyatukan doa dan harapan bersama demi kehidupan yang lebih baik.


* Di rangkum dari berbagai sumber.

Monday, September 29, 2025

Perayaan Ulang Tahun Klenteng Eng An Kiong Malang & Festival "World Tua Pek Kong" ke-14

Harmoni Budaya yang Menyatu di Kota Sejuta Cerita


Langit Kota Malang sore itu tampak berbeda. Jalanan di sekitar Jalan Laksamana Martadinata mulai dipadati warga, pedagang kaki lima, hingga wisatawan yang datang dari berbagai daerah. Suara musik tradisional, tabuhan tambur, dentuman barongsai, dan harum dupa dari kejauhan menandai satu hal: Klenteng Eng An Kiong tengah merayakan ulang tahunnya sekaligus Festival "World Tua Pek Kong ke-14".

Sebagai warga Malang, saya selalu menantikan momen ini. Bukan sekadar perayaan keagamaan, tapi sebuah pesta budaya yang menyatukan keragaman masyarakat kota apel.


Pawai Budaya yang Memukau

Keesokan harinya, sejak pagi buta, jalanan sudah ramai. Orang-orang mulai memadati rute pawai, dari depan Klenteng Eng An Kiong hingga ke jalan-jalan utama kota. Anak-anak kecil duduk di pundak ayah mereka, para ibu menenteng kamera, sementara para turis asing terlihat sibuk merekam setiap momen.

1. Barongsai dan Liong

Dentuman tambur pertama menggetarkan udara, disusul kemunculan barongsai berwarna merah dan emas. Gerakannya lincah, melompat di atas tiang-tiang besi, membuat penonton bersorak kagum. Di belakangnya, naga liong panjang meliuk-liuk, seolah menari mengikuti irama musik.

Saya merinding menyaksikan itu. Barongsai bukan hanya tontonan, tapi simbol doa untuk mengusir roh jahat sekaligus mendatangkan keberuntungan.

2. Tua Pek Kong Parade

Bagian paling ditunggu adalah saat arak-arakan patung Tua Pek Kong, sosok dewa yang dihormati sebagai pelindung dan pembawa rezeki. Patungnya diusung di atas tandu, dikelilingi dupa yang mengepul dan alunan doa. Ribuan orang berebut untuk menyentuh atau sekadar menundukkan kepala, berharap mendapat berkah.

Seorang ibu di sebelah saya berbisik, “Kalau bisa menyentuh tandu Tua Pek Kong, katanya rejeki kita lancar sepanjang tahun.”

Entah benar atau tidak, tapi saya bisa merasakan aura kekhusyukan yang menyelimuti momen itu.

3. Kolaborasi Budaya

Menariknya, pawai ini tidak hanya diisi oleh tradisi Tionghoa. Ada juga penampilan reog Ponorogo, tarian Bali, musik gamelan Jawa, hingga marching band modern. Semua tampil bergantian, menciptakan mozaik budaya yang indah.

Di sinilah Malang menunjukkan jati dirinya: sebuah kota yang mampu merayakan perbedaan dengan damai.


World Tua Pek Kong Festival ke-14, Malang di Mata Dunia

Seiring berjalannya waktu, festival ini tidak hanya menjadi agenda lokal, tetapi juga berskala internasional. World Tua Pek Kong Festival telah digelar di berbagai negara Asia, dan tahun ini Malang kembali dipercaya sebagai tuan rumah untuk yang ke-14 kalinya.

Delegasi dari Malaysia, Taiwan, hingga Hong Kong turut hadir, membawa seni pertunjukan khas negeri mereka. Bayangkan, di satu panggung yang sama kita bisa menyaksikan barongsai Singapura, tari naga, sekaligus kesenian tradisional Indonesia.

Suasana malam itu semakin meriah ketika lampion-lampion dilepaskan ke langit. Ribuan cahaya beterbangan, seakan mengirim doa dan harapan ke angkasa. Saya terdiam, menikmati pemandangan yang hanya bisa digambarkan sebagai "magis".


Klenteng Eng An Kiong, Sejarah yang Hidup

Bagi sebagian orang, mungkin belum banyak yang tahu bahwa Klenteng Eng An Kiong merupakan salah satu klenteng tertua di Jawa Timur. Dibangun sekitar tahun 1825, klenteng ini didirikan oleh komunitas Tionghoa yang sudah menetap di Malang sejak era kolonial Belanda.

Nama Eng An Kiong memiliki arti "Istana Kebajikan dan Keselamatan". Fungsinya tidak hanya sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma (Konghucu, Buddha, dan Tao), tetapi juga pusat kebudayaan.

Uniknya, arsitektur klenteng ini masih terjaga otentiknya. Ukiran naga di atap melambangkan kekuatan, burung phoenix sebagai simbol keberuntungan, dan warna merah serta emas mendominasi setiap sudut, yang dipercaya sebagai warna pembawa berkah.

Klenteng ini juga pernah menjadi tempat berkumpulnya pejuang pada masa penjajahan, sehingga punya nilai historis selain spiritual.


Kehangatan di Tengah Keramaian

Di sela-sela keramaian, saya sempat duduk di pinggir jalan menikmati es kacang merah yang dijual seorang pedagang. Di sekeliling saya, orang-orang saling tertawa, berfoto bersama, bahkan berbagi makanan dengan orang asing yang baru mereka kenal.

Ada rasa hangat yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin inilah inti dari perayaan ini: kebersamaan. Tidak peduli latar belakang agama, etnis, atau status sosial, semua larut dalam kegembiraan yang sama.


Refleksi, Merawat Toleransi Lewat Budaya

Sebagai warga Malang, saya bangga bisa menjadi bagian dari perayaan ini. Ulang tahun Klenteng Eng An Kiong dan Festival World Tua Pek Kong bukan hanya sekadar pesta rakyat, tapi juga pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan.

Di saat banyak tempat di dunia masih bergulat dengan konflik perbedaan, Malang justru menunjukkan bahwa harmoni bisa dirayakan.

Saya pulang malam itu dengan hati penuh syukur. Lampion-lampion di langit sudah redup, jalanan mulai lengang, tapi gema tabuhan tambur dan sorak sorai masih terngiang di telinga.

Dan saya tahu, tahun depan saya akan kembali lagi, menyaksikan bagaimana kota ini terus merayakan kebersamaan.


Penutup

Perayaan Ulang Tahun Klenteng Eng An Kiong Malang dan World Tua Pek Kong Festival ke-14 adalah bukti nyata bahwa budaya mampu menyatukan manusia. Ia bukan hanya ritual, bukan sekadar hiburan, tapi warisan yang harus terus dijaga.

Bagi siapa saja yang belum pernah hadir, saya hanya bisa berkata: datanglah tahun depan. Rasakan sendiri magisnya. Karena ada hal-hal yang tidak bisa sepenuhnya dituliskan—hanya bisa dialami.

Wednesday, September 24, 2025

Sangkan Paraning Dumadi

 Jalan Pulang Manusia Menuju Keabadian

Malam itu, langit tampak begitu tenang. Bintang-bintang berkerlip seakan sedang berbisik. Di sebuah pendopo tua yang diterangi lampu teplok, seorang kakek berambut putih duduk bersila, dikelilingi cucu-cucunya. Angin semilir membawa aroma tanah basah dan kembang kantil yang jatuh di halaman.

“Simak baik-baik, Nak,” kata sang kakek, Mbah Sajugo, dengan suara berat tapi lembut, “malam ini Mbah ingin bercerita tentang Sangkan Paraning Dumadi. Sebuah pitutur kuno yang mengajarkan dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan ke mana kita akan kembali.”

Anak-anak kecil itu, meski biasanya gelisah, malam ini duduk diam. Mereka tahu, jika Mbah Sajugo mulai bercerita tentang ajaran leluhur, akan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar dongeng pengantar tidur.


Asal Mula, Dari Cahaya ke Ragawi

Mbah Sajugo mengawali kisahnya, “Anak-anak, setiap manusia lahir bukan hanya karena pertemuan bapak dan ibu. Lebih dalam dari itu, kita lahir dari sangkaning dumadi — asal mula keberadaan. Dalam pitutur Jawa, manusia berasal dari Sang Hyang Tunggal, cahaya sejati, sumber dari segala kehidupan.”

Ia menutup mata, seakan sedang melihat ke masa lalu yang jauh.
“Bayangkan, Nak. Sebelum menjadi janin, sebelum darah dan daging terbentuk, roh kita adalah cahaya murni. Cahaya itu dikirim ke dunia untuk belajar, untuk ngalami, supaya kelak bisa pulang dengan membawa kesadaran yang lebih dalam.”

Anak bungsu mengangkat tangan, polos bertanya, “Mbah, berarti kita ini tamu di dunia?”

Mbah Sajugo tersenyum, mengangguk pelan. “Ya, Nak. Kita hanyalah tamu. Dunia ini hanyalah persinggahan. Rumah sejati kita ada di alam langgeng, tempat asal mula kita. Maka hidup ini hanyalah perjalanan pulang.”


Tujuan Hidup, Urip Iku Urup

“Kalau begitu,” sahut cucu sulung, “untuk apa kita hidup di sini, Mbah?”

Pertanyaan itu membuat Mbah Sajugo menarik napas panjang. “Urip iku urup,” jawabnya mantap. “Hidup itu harus menyala, memberi cahaya dan manfaat. Kita diberi raga supaya bisa bekerja, kita diberi rasa supaya bisa welas asih, dan kita diberi akal supaya bisa menimbang mana yang benar dan mana yang salah.”

Mbah Sajugo lalu menggenggam tanah di depannya.
“Tanah ini, Nak, kalau kamu taburi benih, ia akan menumbuhkan. Kalau kamu biarkan kosong, ia akan tetap memberi kehidupan bagi rumput dan serangga. Itulah hukum tabur-tuai. Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Kalau kita menabur kebaikan, kita akan menuai kebaikan. Kalau kita menabur kebencian, maka keburukan akan kembali menghampiri.”

Anak-anak itu terdiam, seperti baru memahami mengapa Mbah Sajugo sering mengajak mereka berbagi makanan dengan tetangga, atau membantu orang lain tanpa pamrih.


Jalan Hidup, Menyatu dengan Alam

Mbah Sajugo melanjutkan kisahnya. “Dalam ajaran kejawen, manusia disebut jagad cilik atau mikrokosmos. Alam semesta ini adalah jagad gede atau makrokosmos. Keduanya terhubung. Apa yang kita lakukan dalam diri, akan bergetar sampai ke jagad raya. Dan apa yang terjadi di alam semesta, juga akan memengaruhi kita.”

Ia menunjuk ke langit penuh bintang.
“Kalau manusia merusak alam, menebang pohon sembarangan, membuang racun ke sungai, maka jagad gede akan merespons dengan banjir, longsor, atau paceklik. Begitu pula dalam diri, kalau kita memelihara iri, benci, dan tamak, maka tubuh kita sakit, hati kita gersang.”

Sejenak ia berhenti, menatap wajah cucu-cucunya yang tertegun.
“Maka jalan hidup kita adalah menjaga keseimbangan. Hamemayu hayuning bawana — memperindah keindahan dunia. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua makhluk. Itulah cara kita mendekat kepada asal mula, kepada Sang Pencipta.”


Kematian, Gerbang Pulang

Anak tengah, yang terkenal berani, tiba-tiba bertanya, “Mbah, kalau kita sudah mati, apa kita hilang?”

Mbah Sajugo menatapnya lama, lalu tersenyum.
“Tidak, Nak. Kematian bukan akhir. Kematian adalah gerbang pulang. Seperti matahari yang tenggelam di barat, lalu besok muncul lagi di timur. Seperti daun yang gugur, lalu memberi pupuk pada tanah agar tumbuh kehidupan baru.”

Ia menunjuk jantungnya sendiri.
“Raga ini hanya pinjaman. Kelak ia akan kembali menjadi tanah, air, angin, dan api. Tapi roh kita akan kembali menempuh perjalanan menuju asalnya. Jika hidup kita lurus, penuh dengan kebaikan, maka jalan pulang itu terang dan lapang. Jika hidup kita penuh dengan noda, maka jalan itu penuh liku dan gelap.”


Hukum Tabur Tuai, Seimbang di Jagad Mikro dan Makro

Mbah Sajugo menghela napas, lalu berkata lebih dalam, “Ingat, Nak, hukum tabur-tuai itu tak bisa dihindari. Ia menjaga keseimbangan jagad cilik dan jagad gede. Kalau kamu menyakiti orang, kamu sedang menanam duri di jalanmu sendiri. Kalau kamu menolong orang, kamu sedang menanam bunga di jalanmu.”

Ia mengisahkan pepatah Jawa: sapa nandur bakal ngundhuh — siapa yang menanam, dia yang akan memetik. “Kalau kita ingin pulang dengan tenang, taburlah welas asih. Taburlah kebajikan. Jangan biarkan benih kebencian tumbuh di hatimu, karena ia akan jadi belukar yang menyulitkanmu.”


Pulang dengan Kesadaran

Anak-anak semakin larut dalam cerita itu. Mbah Sajugo lalu menutup kisahnya dengan suara lirih, seakan berbicara bukan hanya pada cucu-cucunya, tapi juga pada dirinya sendiri.

“Pada akhirnya, Sangkan Paraning Dumadi mengajarkan bahwa kita semua akan pulang. Tapi pulang dengan cara bagaimana, itu tergantung pada pilihan kita di dunia. Apakah kita pulang membawa cahaya yang lebih terang, atau pulang dengan beban kegelapan.”

Ia menatap api lampu teplok yang bergoyang lembut.
“Hidup adalah perjalanan. Dunia hanyalah sekolah. Tubuh ini hanyalah pakaian. Jiwa kita adalah murid yang harus belajar. Dan Sang Hyang Tunggal adalah rumah tempat kita kembali. Maka, jalani hidupmu dengan bijaksana, selaras dengan alam, penuh kasih pada sesama, agar jalan pulangmu terang benderang.”


Refleksi

Malam semakin larut. Anak-anak itu akhirnya tertidur di pangkuan Mbah Sajugo, sementara suara jangkrik mengisi keheningan. Sang kakek memandang mereka dengan mata berkaca-kaca, seakan menitipkan harapan pada generasi berikutnya.

Bahwa ajaran luhur Sangkan Paraning Dumadi tak boleh hilang ditelan zaman.
Bahwa manusia harus selalu ingat asal-usulnya, memahami tujuan hidupnya, dan sadar akan jalan pulangnya.
Bahwa hukum tabur-tuai selalu berlaku, menjaga keseimbangan jagad mikro dalam diri dan jagad makro semesta raya.

Dan di balik semua itu, tersimpan pitutur abadi: hidup hanyalah perjalanan pulang menuju Sang Cahaya.


~Wonosari, Gunung Kawi. Malang 2025

Edi "Bholor" Santoso.

Sedulur Papat dan Kaki Among Nini Among

 Jejak Gaib yang Menyertai Hidup Manusia

Sejak manusia pertama kali hadir ke dunia, ada rahasia kuno yang dijaga oleh budaya Jawa tentang siapa yang benar-benar menemani perjalanan hidup kita. Tidak hanya ayah, ibu, saudara, atau kawan; ada saudara gaib yang lahir bersamaan dengan kita, menyertai dari sejak rahim hingga kelak menuju keabadian. Mereka dikenal sebagai Sedulur Papat dan penjaga agung bernama Kaki Among Nini Among.

Awal Cerita, Dalam Kandungan

Bayangkan seorang bayi yang masih berbaring dalam gelapnya rahim ibu. Ia tidak sendirian. Sejak hari pertama, ketika benih kehidupan itu ditanam, ada empat saudara yang tercipta bersamaan:

  1. Air ketuban (Kakang Kawah)

  2. Plasenta (Adi Ari-ari)

  3. Darah (Getih)

  4. Tali plasenta (Puser)

Keempatnya bukan hanya sekadar organ biologis. Dalam pandangan Jawa, mereka adalah perwujudan Sedulur Papat, sahabat gaib yang menjaga dan menjadi saksi perjalanan hidup manusia.

Di atas mereka berdiri Pancer – sang bayi itu sendiri, inti kehidupan yang kelak tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Dalam rahim, Kakang Kawah melindungi, Adi Ari-ari memberi makan, Getih mengalirkan kehidupan, dan Puser menjadi penghubung ke ibu. Seolah-olah bayi itu sejak awal sudah ditemani satu keluarga kecil yang setia.


Lahir ke Dunia, Pertemuan dengan Alam

Ketika bayi lahir, satu persatu Sedulur Papat ikut keluar. Air ketuban mengalir lebih dulu, disusul darah, kemudian ari-ari, dan tali pusar yang dipotong. Dalam adat Jawa, semua itu tidak dianggap sampah. Ari-ari, misalnya, biasanya dimakamkan dengan doa, diberi penerangan lampu, bahkan diperlakukan seperti saudara.

Di sinilah wejangan leluhur berkata:
"Ojo lali karo sedulurmu sing papat, amarga dheweke sing setya ngancani uripmu."
(Jangan lupakan saudaramu yang empat, sebab merekalah yang setia menemani hidupmu.)

Seorang bayi yang masih merah, menangis keras di pelukan ibunya, sebenarnya baru saja meninggalkan dunia gaib tempat ia bersama Sedulur Papat. Namun, meski wujud fisik mereka telah berpisah, roh atau sukma Sedulur Papat tetap menyertai sang anak. Mereka menjadi penjaga tak kasat mata, mendampingi ke manapun ia pergi.


Tumbuh Dewasa, Sedulur Papat dalam Kehidupan Sehari-hari

Seiring waktu, sang bayi tumbuh menjadi anak-anak. Ia belajar berjalan, berbicara, berlari, hingga perlahan mengenal dunia. Leluhur Jawa percaya, saat seorang anak bermain, tertawa, atau bahkan menangis sendirian, seringkali ia sedang berinteraksi dengan Sedulur Papat.

  • Kakang Kawah menjadi penjaga dari depan.

  • Adi Ari-ari mengawal dari belakang.

  • Getih berdiri di kiri.

  • Puser berada di kanan.

Mereka membentuk perisai gaib, layaknya pasukan pelindung yang tak terlihat. Dalam bahasa spiritual Jawa, manusia tidak pernah benar-benar sendiri. Bahkan dalam sunyi terdalam, ada empat saudara yang selalu mendengar.

Di sinilah peran Kaki Among Nini Among muncul. Mereka adalah kakek-nenek penjaga, simbol kebijaksanaan dan kasih sayang leluhur yang mengasuh Sedulur Papat agar tetap menyertai manusia dengan seimbang. Tanpa peran Among Nini Among, Sedulur Papat bisa menjadi liar: menjerumuskan ke amarah, hawa nafsu, atau kelalaian. Namun dengan bimbingan mereka, Sedulur Papat menjadi sahabat yang menuntun menuju kebaikan.


Simbolisme dalam Alam dan Kehidupan

Orang Jawa menautkan Sedulur Papat dengan unsur alam, warna, bahkan hewan

  • Kakang Kawahmelambangkan air, berwarna putih, sering disimbolkan dengan gajah yang kuat menjaga dari depan.
  • Adi Ari-ari: melambangkan tanah, berwarna kuning, disimbolkan dengan banteng atau kerbau, setia dan kokoh.

  • Getih: melambangkan api, berwarna merah, disimbolkan dengan macan, berani dan bernafsu.

  • Puser: melambangkan angin, berwarna hitam, disimbolkan dengan burung, bebas dan menghubungkan dunia.

Empatnya mengitari Pancer, yaitu manusia itu sendiri. Mereka hadir layaknya empat arah mata angin yang selalu menjaga titik pusat.


Pertarungan Batin

Ketika manusia beranjak remaja hingga dewasa, Sedulur Papat bukan lagi sekadar penjaga. Mereka berubah menjadi cermin dari sifat batin:

  • Saat marah, itu bisikan Getih.

  • Saat rakus atau serakah, itu godaan Ari-ari.

  • Saat tenang dan sabar, itu bimbingan Kawah.

  • Saat merasa gelisah atau ingin bebas, itu sapaan Puser.

Manusia sejati adalah yang mampu mengharmoniskan keempatnya. Di sinilah ajaran Jawa mengajarkan pentingnya eling lan waspada – selalu ingat dan berhati-hati. Mengingat bahwa manusia tidak hidup sendirian, ada saudara gaib yang mencatat setiap langkah.

Kaki Among Nini Among pun terus mendampingi, bagai kakek-nenek yang selalu sabar menasihati cucunya: jangan lupa sembahyang, jangan lupa menjaga perilaku, jangan lupa berbagi.


Pulang, Kematian sebagai Pertemuan Kembali

Ketika ajal tiba, manusia kembali ke asal. Tubuh jasmani dikembalikan ke bumi, sementara roh kembali ke Sang Pencipta. Sedulur Papat yang setia sejak kandungan pun kembali ke tempatnya.

Namun sebelum itu, merekalah yang menuntun arwah agar tidak tersesat. Kaki Among Nini Among membuka jalan, seolah berkata:
"Wis wayahe bali, nak. Wis wayahe mulih."
(Sudah saatnya pulang, nak. Sudah saatnya kembali.)

Sehingga kematian dalam tradisi Jawa tidak pernah dianggap sebagai akhir, melainkan perjalanan pulang, bersama saudara-saudara gaib yang tidak pernah meninggalkan.


Hidup yang Tidak Pernah Sendiri

Kisah Sedulur Papat dan Kaki Among Nini Among mengajarkan bahwa manusia tidak pernah benar-benar sendirian. Sejak dalam rahim, lahir, bermain, dewasa, hingga meninggalkan dunia, selalu ada saudara gaib yang mendampingi.


Mereka adalah simbol bahwa manusia sejati harus menjaga keseimbangan: antara hawa nafsu dan kesabaran, antara keberanian dan kebijaksanaan, antara kebebasan dan tanggung jawab.

Pada akhirnya, mengingat Sedulur Papat adalah mengingat diri sendiri. Sebab mereka bukan lain adalah bagian dari kita, sahabat tak kasat mata yang mengajarkan arti hidup, mati, dan kembali.


~Wonosari, Gunung Kawi 2025

Edi "Bholor" Santoso




Tuesday, September 23, 2025

Sebuah perjalanan diri

 

Perjalanan di Dalam Diri,

Sebuah Kisah Empat Nafsu dan Sepetak Taman Hati


Di setiap diri kita, tersembunyi sebuah taman yang tak terlihat oleh mata, sebuah lanskap batin yang terus berubah seiring dengan perjalanan hidup. Taman ini bukan sekadar hamparan tanah, melainkan panggung tempat empat karakter utama memainkan perannya: Amarah, Supiah,  Aluamah, dan  Mutmainah. Masing-masing memiliki sifat, kekuatan, dan godaannya sendiri, yang sering kali menentukan ke mana langkah kita akan berlabuh.

Inilah kisah tentang taman hati, perjalanan yang dimulai dari kekacauan hingga menemukan kedamaian yang sesungguhnya.


Taman yang Terbakar (Amarah)

Dahulu kala, taman hati ini adalah hutan yang gelap, penuh dengan semak belukar yang menjalar dan pepohonan kering yang mudah terbakar. Di tengah hutan itu, bersemayamlah seekor naga merah dengan mata menyala dan napas api:  Amarah. Dia adalah penjaga pertama, penguasa insting dan dorongan primal. Setiap kali ia meraung, api kemarahan akan menjilat pepohonan, menghanguskan apa pun yang menghalangi jalannya.

~amarah~
Suatu hari, seorang pengelana datang. Ia ingin menyeberangi hutan ini, tetapi setiap kali langkahnya terhalang, naga itu akan meraung. Ia marah saat jalannya tertutup, marah saat keinginannya tak terpenuhi. Pengelana itu merasa kuat, merasa tak terkalahkan. Ia pikir, dengan api naga ini, ia bisa membakar semua rintangan. Namun, ia tidak menyadari bahwa api itu bukan hanya membakar rintangan di luar, melainkan juga menghanguskan kedamaian di dalam dirinya.

Setiap kali ia menyerah pada amarah, ia merasa lebih kuat sesaat. Namun, setelah api padam, yang tersisa hanyalah abu, kehampaan, dan penyesalan. Hutan hati menjadi kering, tandus, dan tidak ada lagi yang bisa tumbuh di sana. Inilah fase paling liar dari perjalanan kita, saat insting menguasai akal, saat kita membiarkan api membakar jembatan-jembatan, tanpa menyadari bahwa jembatan itu adalah koneksi kita dengan orang lain dan dengan kedamaian itu sendiri.


Sang Angin Pengembara (Supiah)

Setelah api amarah mereda dan menyisakan lahan kosong, datanglah Supiah, seekor merak yang indah dengan bulu-bulu berkilauan. Merak ini tak punya api, tetapi ia memiliki godaan yang lebih halus. Ia adalah penguasa angin, pembawa hasrat dan ambisi duniawi.

~supiah~
Merak itu berbisik kepada sang pengelana: "Lihatlah, lahan ini kosong. Kau bisa menanam apa saja. Jadilah yang terindah, yang termewah, yang paling dihormati." Pengelana itu terpikat. Ia mulai menanam bunga-bunga terindah, membangun istana-istana megah, dan mencari-cari pujian dari setiap angin yang berhembus. Ia mengejar kekayaan, kekuasaan, dan segala sesuatu yang membuat bulu merak itu semakin indah.

Namun, angin tidak pernah diam. Ia selalu bergerak, membawa kabar tentang taman lain yang lebih indah, tentang istana lain yang lebih megah. Merak itu selalu gelisah, tak pernah puas. Bunga-bunga yang ditanamnya layu, istana yang dibangunnya runtuh, karena fondasinya hanya diletakkan di atas pasir. Ia terus-menerus mencari, mengejar, tetapi tidak pernah benar-benar sampai.

Ini adalah fase di mana kita digerakkan oleh "ingin" dan "punya." Kita merasa bahagia saat mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, tetapi kebahagiaan itu seperti embun pagi—segera menguap saat matahari terbit. Kita menjadi hamba dari ambisi kita sendiri, terombang-ambing oleh angin nafsu, dan tak pernah menemukan tempat untuk beristirahat.


Untaian Air Mata Penyesalan (Aluamah)

Pada titik terendah, saat pengelana menyadari bahwa semua yang dikejarnya hanya kekosongan, datanglah hujan. Hujan itu membawa Aluamah, seekor ular yang berganti kulit, simbol dari introspeksi dan penyesalan. Air mata menetes, membasahi lahan yang kering.

~Aluamah~
Ular itu tidak meraung seperti naga, juga tidak memamerkan keindahan seperti merak. Ia berbisik: "Lihatlah apa yang telah kau lakukan. Tamanmu kering. Semua yang kau tanam layu. Kau telah menyakiti banyak hati. Kau telah menyia-nyiakan waktu."

Kata-kata itu bagai cermin yang jernih, memantulkan semua kesalahan yang telah dibuat. Pengelana itu mulai menangis, dan setiap tetes air mata menumbuhkan sebutir benih di lahan yang tandus. Air mata penyesalan adalah pupuk terbaik untuk jiwa. Ular itu mengajarkan bahwa untuk tumbuh, kita harus jujur pada diri sendiri, mengakui kesalahan, dan melepaskan kulit lama kita. Ini adalah fase di mana kita belajar untuk memaafkan diri sendiri, dan memulai proses penyucian. Air membersihkan debu api dan pasir angin, membuat taman hati kembali siap untuk ditanami.


Tanah yang Subur dan Tenang (Mutmainah)

Setelah hujan penyesalan berhenti, dan lahan menjadi subur, datanglah Mutmainah, seekor gajah putih yang tenang dan kokoh. Ia adalah representasi dari tanah itu sendiri: stabil, damai, dan penuh kesuburan. Ia tidak mengejar apa pun, karena ia telah menemukan segalanya di dalam dirinya.

~Mutmanah~
Gajah itu tidak berbisik, tidak meraung. Ia hanya diam, menancapkan kakinya dengan kokoh di tanah. Di bawah bimbingannya, sang pengelana mulai menanam pohon-pohon yang kuat, membangun rumah-rumah yang sederhana, dan mengalirkan sungai-sungai yang jernih. Semua yang dilakukannya sekarang tidak lagi untuk pujian atau ambisi, tetapi untuk memberi. Ia menanam pohon untuk orang lain, ia membangun jembatan untuk membantu sesama, ia membiarkan air mengalir untuk menyuburkan lahan di sekitarnya.

Ini adalah fase terakhir dari perjalanan, saat hati telah kembali ke fitrahnya yang paling murni. Jiwa telah mencapai ketenangan, tidak lagi terombang-ambing oleh amarah atau ambisi. Gajah itu mengajarkan bahwa kedamaian sejati bukanlah tentang memiliki segalanya, melainkan tentang tidak menginginkan apa pun. Kedamaian adalah keadaan di mana jiwa berserah diri, menerima takdir, dan menemukan kebahagiaan dalam memberi, bukan dalam mengambil. Taman hati telah berubah menjadi oase yang damai, tempat di mana bunga-bunga kebaikan mekar dan pohon-pohon ketenangan tumbuh menjulang.


Kembali ke Hati Nurani

Pada akhirnya, perjalanan dari naga api ke gajah putih bukanlah tentang menghancurkan nafsu, melainkan tentang mengendalikan dan menyalurkannya. Api amarah bisa menjadi semangat perjuangan, angin ambisi bisa menjadi dorongan untuk berbuat baik, dan air penyesalan bisa menjadi sumber dari kerendahan hati. Semuanya bermuara pada satu titik: hati nurani, cahaya yang selalu bersinar di tengah taman.

Cahaya ini akan tetap redup jika tertutup oleh asap amarah atau debu ambisi. Namun, jika kita membiarkan air penyesalan membersihkan jalannya dan menanam akar kedamaian, cahaya itu akan kembali bersinar, membimbing kita pulang menuju diri yang paling otentik dan paling damai.

Jadi, tanyakan pada dirimu sendiri, di mana posisimu dalam perjalanan ini? Apakah kamu masih di dalam hutan yang terbakar, di padang angin yang berdebu, atau sudah mulai menanam di tanah yang subur?

Monday, September 22, 2025

Upacara Saparan (Selamatan Jembatan) Desa Wonosari

 

Upacara Adat Saparan Desa Wonosari - Gunung Kawi. Malang 


Selamatan Jembatan yang Sarat Makna

Udara pagi di Desa Wonosari, Malang, terasa berbeda saat bulan Sapar tiba. Langit tampak cerah, dan jalan desa yang biasanya lengang kini ramai oleh langkah warga yang berbondong-bondong menuju jembatan. Bukan sekadar jembatan biasa, melainkan sebuah penghubung penting yang sudah lama menjadi urat nadi kehidupan masyarakat desa—sarana lintas menuju ladang, pasar, dan sekolah. Hari itu, jembatan dihiasi dengan janur kuning dan kain putih sederhana, tanda dimulainya sebuah tradisi turun-temurun: Upacara Adat Sapar atau Selamatan Jembatan.


Ambengan di Atas Jembatan

Sejak pagi, para warga tampak membawa ambengan—nasi beserta lauk-pauk—dalam tampah beralas daun pisang. Ada yang membawa ingkung ayam, ada pula yang membawa aneka jajanan tradisional. Dengan rapi, ambengan itu ditata berjajar memanjang di atas jembatan, terus ke arah barat hingga batas perempatan jalan desa. Suasana khidmat bercampur hangat; anak-anak berlarian kecil sambil sesekali menengok sajian, sementara para ibu sibuk merapikan tampah agar terlihat indah.

Tradisi ini bukan hanya tentang makanan, melainkan tentang kebersamaan. Setiap keluarga menyumbangkan yang terbaik dari rumah masing-masing, seakan ingin menegaskan bahwa jembatan ini bukan milik satu orang, melainkan milik bersama, dan harus dijaga bersama pula.


Doa Sesepuh Adat

Ketika semua ambengan telah tertata, suasana perlahan hening. Seorang sesepuh adat berdiri di tengah jembatan, wajahnya teduh dan penuh wibawa. Dengan suara lirih namun mantap, ia memimpin doa. Kata-katanya meresap di hati, memohon keselamatan bagi seluruh warga, memohon agar jembatan selalu kuat, tidak diterjang banjir, serta menjadi jalan rezeki bagi masyarakat.

Di antara suara doa, hanya bunyi aliran sungai di bawah jembatan yang terdengar mengalun. Semua orang menundukkan kepala, larut dalam kekhusyukan. Saat doa selesai, warga pun mengamini dengan serempak.


Larung Sesaji ke Sungai

Setelah doa dipanjatkan, tibalah pada prosesi berikutnya. Di sisi jembatan, telah disiapkan sesaji berupa nasi tumpeng kecil, bunga setaman, dan beberapa perlengkapan adat lainnya. Sesaji itu kemudian diarak sebentar sebelum akhirnya dilarung ke sungai yang mengalir di bawah jembatan.

Air sungai beriak pelan saat sesaji itu perlahan hanyut terbawa arus. Prosesi ini melambangkan rasa syukur dan permohonan restu alam agar jembatan tetap kokoh, air sungai membawa berkah, bukan bencana. Ada rasa haru ketika melihat sesaji menghilang bersama aliran sungai, seolah membawa doa dan harapan seluruh warga.



Ambengan Dibawa Pulang

Uniknya, ambengan yang tadi ditata panjang di atas jembatan tidak langsung dimakan bersama di tempat. Sebaliknya, setelah doa selesai, warga membawa kembali ambengan itu ke rumah masing-masing. Makanan tersebut kemudian disantap bersama keluarga. 

Filosofinya jelas: doa dan syukur tidak hanya berhenti di jembatan, melainkan dibawa pulang untuk mewarnai kehidupan rumah tangga setiap warga.


Pertunjukan Tari Remo dan Langen Beksan

Jika prosesi selamatan berlangsung dengan khidmat, suasana setelahnya berubah semarak. 

Di atas jembatan, sebuah panggung sederhana digelar. Musik gamelan mulai berbunyi, menandai dimulainya pertunjukan Tari Remo. Penari dengan kostum khas dan gerakan gagah menari penuh semangat, seakan menggambarkan jiwa perjuangan dan keberanian.

Sorak sorai warga menyambut setiap hentakan kaki sang penari. Anak-anak duduk berjejer di pinggir jembatan, matanya berbinar melihat atraksi yang jarang mereka saksikan.

Tak berhenti di situ, malam harinya acara dilanjutkan dengan Langen Beksan atau Tayub. Seni tradisi ini menghadirkan interaksi antara penari dan penonton, menjadikan suasana semakin akrab. Musik, tari, dan tawa bercampur jadi satu, menghadirkan sukacita yang menutup rangkaian upacara adat.


Makna yang Tetap Hidup

Upacara Sapar di Desa Wonosari bukan sekadar selamatan jembatan. Ia adalah simbol rasa syukur, doa keselamatan, dan perekat kebersamaan warga desa. 

Tradisi ini mengajarkan bahwa menjaga warisan leluhur tidak hanya tentang melestarikan ritual, melainkan juga tentang menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap bertahan. Warga percaya, selama mereka menjaga kebersamaan dan menghormati alam, jembatan itu akan terus kokoh menjadi penghubung—bukan hanya antar desa, tetapi juga antar hati.

Suasana semakin siang, dan gema gamelan masih terdengar di kejauhan, seakan mengingatkan bahwa tradisi adalah jembatan: menghubungkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

~ Wonosari, Gunung Kawi, Malang. 2025

Cak_bholor.