Belajar Menyatu dengan Tuhan ala Jawa
Malam itu, saya duduk di sebuah saung kecil di halaman rumah Mbah Suryo. Angin berhembus pelan
membawa aroma tanah basah selepas hujan. Suara jangkrik saling bersahut, memberi latar suasana yang tenang. Mbah Suryo, seorang sesepuh kampung yang terkenal bijak, mengajak saya ngobrol sambil menyeruput wedang jahe hangat.“Le,” katanya sambil tersenyum, “pernah dengar istilah manunggaling kawulo gusti?”
Saya mengangguk. “Pernah, Mbah. Katanya itu ajaran Jawa tentang manusia yang bisa menyatu dengan Tuhan. Tapi jujur saja, saya belum benar-benar paham.”
Mbah Suryo tertawa kecil, “Lha, memang tidak mudah dipahami kalau hanya pakai logika. Perlu rasa, perlu laku.”
Dan malam itu, saya merasa sedang berada di kelas kehidupan yang sesungguhnya.
Apa Itu Manunggaling Kawulo Gusti?
Secara sederhana, manunggaling kawulo gusti berarti “bersatunya hamba dengan Tuhan.” Dalam pandangan Jawa, manusia tidak pernah benar-benar terpisah dari Gusti Allah. Kita adalah bagian dari-Nya, sekaligus pancaran dari sifat-sifat-Nya. Namun, bersatu bukan berarti manusia menjadi Tuhan. Bersatu lebih dimaknai sebagai keselarasan: bagaimana manusia hidup dengan sadar, bahwa setiap tindakan, ucapan, dan pikiran selalu berada dalam pengawasan dan naungan-Nya.“Bayangkan, Le, Tuhan itu samudera. Kita ini hanya tetesan air. Saat tetesan kembali ke laut, ia menyatu, tapi bukan berarti hilang. Ia tetap ada, hanya tidak lagi merasa terpisah.”
Sifat-Sifat Ketuhanan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Orang Jawa sering menyebut bahwa hidup ini adalah panggung wayang. Kita semua dalang sekaligus wayang. Ada naskah yang sudah digariskan, tetapi bagaimana cara kita memainkannya, itulah yang menentukan.
Di sinilah sifat-sifat ketuhanan bisa menjadi tuntunan. Kalau dalam Islam dikenal Asmaul Husna, maka dalam Jawa pun kita mengenal sifat-sifat Gusti yang bisa kita teladani. Misalnya:
-
Welas asih (kasih sayang)
Menjalani hidup dengan penuh cinta pada sesama. Tidak mudah menghakimi, apalagi menyakiti. -
Adil
Mampu menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Baik dalam keluarga, pekerjaan, maupun lingkungan sekitar. -
Sabar
Menghadapi masalah tanpa mudah putus asa. Orang Jawa percaya, sabar itu bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi menjaga hati tetap teduh. -
Nrimo ing pandum
Menerima apa yang menjadi bagian hidup kita, tanpa iri pada orang lain.
Mbah Suryo pernah bilang, “Kalau manusia bisa meneladani sifat Gusti, hidupnya akan ringan. Ora gampang nesu, ora gampang gelo. Karena dia tahu, semua ini titipan.”
Hubungan Segitiga, Tuhan – Manusia – Alam
Dalam falsafah Jawa, hidup itu tidak berdiri sendiri. Ada yang namanya Tri Hita Karana, meski istilah itu lebih sering dipakai di Bali, tapi maknanya sama: menjaga keseimbangan hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.
Hubungan dengan Tuhan
Dilakukan lewat doa, sembahyang, meditasi,dan di sertai sekadar mengingat-Nya dalam hati. Tidak harus ribet, yang penting tulus.-
Hubungan dengan Sesama Manusia
Wujudnya bisa sederhana: gotong royong, tidak merugikan orang lain, saling menolong. -
Hubungan dengan Alam
Orang Jawa zaman dulu selalu menghormati alam. Makanya ada tradisi bersih desa, sedekah bumi, atau larangan menebang pohon sembarangan. Semua itu bentuk kesadaran bahwa kita hidup bersama dengan alam.
Seorang kawan pernah berkata, “Kalau salah satu hubungan ini rusak, hidup jadi tidak seimbang. Seperti meja berkaki tiga yang salah satunya patah, pasti roboh.”
Pelajaran dari Pasar
Suatu hari, saya ikut Mbah Suryo ke pasar tradisional. Di sana saya melihat pedagang sayur yang wajahnya selalu ceria, meskipun dagangannya tidak selalu habis.
Saya bertanya, “Mbah, kok Bu itu bisa tetap senyum meski kadang rugi?”Mbah hanya menjawab, “Karena dia ngerti dan paham. Dia percaya rejeki itu datang dari Gusti. Tugasnya hanya berusaha, sisanya pasrah.”
Di situ saya sadar, manunggaling kawulo gusti bukan teori tinggi yang hanya bisa dipahami lewat kitab. Ia nyata, hidup di tengah keseharian orang-orang kecil yang tulus.
Menghidupi Falsafah dalam Zaman Modern
Kita hidup di era serba cepat, serba sibuk, serba digital. Kadang kita lupa menarik napas panjang dan merenungkan siapa diri kita sebenarnya.
Manunggaling kawulo gusti mengajarkan agar kita kembali sadar. Bahwa sehebat apapun teknologi, setinggi apapun jabatan, kita hanyalah “tetesan air” dalam samudera besar.
Cara sederhana untuk menghidupinya di zaman modern:
-
Mulai hari dengan rasa syukur, bukan keluhan.
-
Bersikap adil di kantor, di rumah, bahkan di dunia maya.
-
Tidak menyebar kebencian, karena itu merusak hubungan sesama manusia.
-
Menjaga alam: hemat energi, tidak buang sampah sembarangan, menanam pohon.
-
Mengingat Tuhan, bukan hanya saat susah, tapi juga ketika bahagia.
Menjadi Air yang Menyatu
Saat malam semakin larut, suara gamelan dari rumah tetangga terdengar samar. Mbah Suryo menatap langit, lalu berkata pelan,
“Le, hidup itu perjalanan pulang. Dari Gusti kita berasal, kepada Gusti kita kembali. Yang penting, jalannya harus benar: rukun dengan sesama, nyawiji dengan alam, dan eling marang Gusti.”
Saya mengangguk. Kata-kata itu sederhana, tapi menancap dalam hati.
Manunggaling kawulo gusti bukan lagi sekadar istilah berat yang hanya bisa dibahas di ruang akademis. Ia bisa kita hidupi dalam keseharian: lewat senyum, sabar, adil, welas asih, dan nrimo.
Seperti tetesan air yang akhirnya menyatu kembali dengan samudera, begitu pula manusia akan menemukan kedamaian sejati saat ia sadar bahwa dirinya tidak pernah terpisah dari Tuhan.
Edi "Bholor" Santoso.




















