Sunday, December 30, 2012

Beri ruang dan waktu untuk anak - anak kita



Jangan rampas keceriaan anak - anak kita dengan berbagai hal sebetulnya kurang mereka butuhkan....


Saya sering mengernyitkan dahi jika ada seorang berkata dengan bangganya anakku setiap hari les ini itu, tiap minggu latihan ini itu dan bla bla bla... Mereka berpendapat semakin anak menguasai banyak hal, maka semakin 'istimewa' dimata mereka. Kita kadang tidak sadar, demi "ego" orang tua anak di korbankan. Dengan alasan agar anak menjadi bisa dalam beberapa hal, kita telah mengorbankan waktu bermain mereka. 

Secara alami, masa anak - anak adalah masa bermain. Tinggal kita sebagai orang tua sebisa mungkin mengarahkan saat bermain mereka itu menjadi sesuatu yang bersifat edukatif yang menyenangkan. Sehingga anak - anak kita tidak kehilangan masa kecil mereka. Maka jangan salah jika ada sebutan "masa kecil kurang puas" yang di tujukan kepada orang - orang dewasa yang masih suka berpola fikir seperti anak - anak :D

Yang terakhir, sekali lagi beri ruang dan waktu bagi anak - anak kita untuk menikmati masa kecilnya, dan tentunya dampingi mereka untuk selalu belajar meskipun sambil bermain. Sebagai orang tua tentunya kita berharap yang terbaik untuk mereka. Jadi ingat sebuah status yang di tulis oleh Gus Mus (KH Mustofa Bisri) kurang lebih seperti ini "Aku tidak menuntuk kepada anak - anakku untuk sekolah dan menjadi orang pinter, bahkan ketika salah satunya tidak mau sekolah TK pun aku biarkan. Aku hanya mengajak dan membinbing mereka untuk selalu belajar"

Friday, December 21, 2012

Prespektif tentang TUAH sebuah PUSAKA




Membahas tentang ISOTERI atau yang biasa kita sebut dengan TUAH atau juga daya / kekuatan sebilah Tosan Aji sangat bergantung dari persepsi serta pola fikir dari tiap individu. Ada ulasan yang sangat menarik dan cocok dengan pendapat saya tentang ISOTERI Pusaka oleh sahabat saya, silahkan di simak serta di nikmati...


Mungkin ada perbedaan paradigma antara anda dan Kudi Mas Banjarnegara tentang Pemahaman Isoteri dalam sebuah Tosan Aji 

Bahwa isi atau Isoteri dalam sebilah keris adalah wewarah dan piwulang yang tercantum dalam sebilah keris, karena keris merupakan sebuah manifestasi dari sebuah wewarah tentang kehidupan, juga disebut ilmu hidup artinya keris merupakan sebuah arahan sejati sebagai manusia yang utuh, tangguh serta sepuh. 


Secara ilmiah isi keris merupakan manifestasi do'a yang dilantunkan para Empu sejalan dengan permintaan pemesan, do'a itu diamalkan dengan mati raga, puasa, membersihkan diri, bahkan tidak berbicara selama membuat keris ( tapa bisu ), memang aneh menempa keris tanpa berkomunikasi lantas bagaimana komunikasi dengan panjak atau pembantunya, Komunikasi dengan panjak dilakukan dengan bunyi palu yang dipegang Empu selama membuat keris, empu seolah bertapa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar do'anya dikabulkan dan diberi daya kekuatan yang berujud bilah, perwujudan do'a itu tergores dalam pomor yang muncul, dapur atau model dari keris yang dibentuk. Meskipun bentuk keris merupakan pesanan pemesan, tetapi hal tersebut sudah diselaraskan dengan naptu atau tanggal kelahiran pemesan yang dihitung secara cermat oleh Sang Empu , oleh empu do'a itu diwujudkan dalam bentuk pamor yang tergurat indah, misalnya keris Jangkung dengan pamor Udan Mas yang mempunyai harapan agar siempunya keris mendapatkan perlindungan sekaligus mendapatkan rejeki yang berlimpah. 


Atau contoh lain Keris dapur Jangkung Mangkunagoro artinya si empunya keris diharapkan mampu atau kuat mengemban tugas sebagai Pemimpin Kerajaan atau Negara dengan Lindungan ( jinangkungan ) Tuhan YME. 


Kalau keris bertuah seperti itu dikoleksi masa sekarang tentu ada tuntutan terhadap kolektor yakni perilaku penyimpanan apakah selaras dengan laku yang diharapkan ketika keris dibuat, ada syarat khusus yang dituntut agar keris mempunyai daya kekuatan, bukan sesaji dalam arti tkhayul tetapi sesaji hidup yakni niat dari siempunya keris untuk mau menyebar keharuman disertai dengan laku Utama. 


Laku yang umum dalam pergaulan sehari hari adalah semangat untuk menyebar ganda arum dengan "TYA MANIS KANG MANTESI" hati yang baik menjadi dasar kehidupan "RUMING WICARA KANG NERANANI" cara berbicara yang mengesankan dan tidak menyakiti orang lain 'SINEMBAH LAKU UTAMA' jadi teladan kehidupan yang baik, isi atau Isoteri seperti ini tidak saja menumbuhkan kekuatan hati yang dahsyat, tetapi juga menumbuhkan kekuatan alam yang maha hebat.


Di copy dari Tulisan sahabat saya  Anax Lanang..... 


Thursday, December 20, 2012

Upacara pasang SOKO GURU

Pasang Cuncit dan Soko Guru

Jejak Simbol dan Doa dalam Mendirikan Rumah Jawa


Di sebuah pagi yang hangat di pedesaan Jawa, suara gamelan kecil bercampur dengan tawa para tetangga yang berkumpul di halaman tanah kosong. Hari itu bukan hari biasa. Sebuah keluarga akan memulai babak baru dalam hidup mereka: mendirikan rumah. Namun, di balik derap palu dan tegaknya kayu soko guru, ada sebuah ritual sakral yang penuh doa dan simbol: upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru.

Bagi masyarakat Jawa, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah jiwa, ruang kehidupan, tempat benih-benih manusia tumbuh, dan pusat keluarga menemukan arah. Itulah sebabnya, sebelum rumah berdiri, doa-doa dipanjatkan dan simbol-simbol dipersembahkan. Semua demi harapan: semoga rumah membawa keselamatan, ketentraman, rezeki, serta kebahagiaan bagi para penghuninya.


Rumah dan Simbol, Bahasa yang Dipahami Leluhur

Budaya Jawa kaya akan simbol. Doa tidak hanya terucap lewat kata, tetapi juga melalui benda-benda sederhana yang menyimpan makna dalam. Begitu pula dalam upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru. Setiap daun, bunga, makanan, bahkan seutas kain, adalah bahasa simbolik untuk berkomunikasi dengan Tuhan, bumi, langit, dan leluhur.

Ada kendi berisi air—lambang sumber kehidupan. Ada padi dan jagung—harapan kemakmuran. Ada kain merah dan putih—simbol Ibu Pertiwi dan Bapa Angkasa. Bahkan ada paku emas yang ditancapkan di bubungan rumah, sebagai doa agar rumah berdiri gagah, berwibawa, dan membawa rasa nyaman bagi siapa pun yang bernaung di bawahnya.


Sajen dan Cok Bakal, Menghormati Asal dan Tujuan

~sajen~
Di salah satu sudut, seorang sesepuh menyiapkan sajen: pisang raja, kelapa, beras, gula kelapa, bunga telon, hingga kinangan. Semua ini melambangkan penghormatan kepada leluhur. Karena, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “urip iku ana amarga ana sing nglairaké”—hidup kita ada karena ada yang melahirkan kita.

~cok bakal~
Lalu ada cok bakal: berisi telur ayam kampung, bunga, kendi, rempah-
rempah, jenang merah-putih, hingga tumpeng kecil. Semua ini adalah persembahan untuk bumi, tempat manusia berpijak sejak lahir hingga kembali ke tanah.

Bagi masyarakat Jawa, menghormati leluhur dan bumi bukanlah hal mistis, melainkan wujud syukur. Rumah berdiri bukan hanya untuk pemiliknya, tetapi juga sebagai bagian dari harmoni semesta.


Kembang Setaman dan Air Kehidupan

Prosesi berikutnya diwarnai oleh kembang setaman: mawar merah-putih, kenanga, kantil, gadhing, daun pandan, puring serta andhong, hingga janur kuning dan bibit (dongkel) pisang raja juga telur ayam. Semua dicampur dalam air yang harum bercampur dengan beras kuning. 

Air bunga ini nanti akan dipercikkan ke kayu utama, sebagai lambang doa agar rumah membawa keselamatan, keberkahan, dan rejeki bagi seluruh penghuninya.

Di sisi lain, sebuah kendi berisi air penuh siap ditanam di bawah pondasi soko guru. Air adalah inti kehidupan. Doa pun dipanjatkan agar keluarga yang menempati rumah selalu tercukupi kebutuhan hidupnya—baik lahir maupun batin.


Rahasia di Balik Pondasi

Cangklong, Pendheman, dan Pepes Katul

Bagi mata awam, pondasi rumah hanyalah batu dan semen. Namun, bagi orang Jawa, di sanalah doa-doa paling kuat ditanamkan.

Ada cangklong, sepasang bambu berisi air putih dan air tape. Simbol agar rumah berdiri kokoh.


Ada pendheman, ikatan daun alang-alang, juwet, lo, dhadap srep, dan daun maja. Maknanya: rumah akan terasa sejuk, pemiliknya terbebas dari masalah ruwet, dan berdiri seteguh baja

.
Ada pula pepes katul—bekatul yang dipanggang dalam daun. Simbol agar rumah menjadi lentur, mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi.

Dan tentu saja, kayu dhadap srep yang ditanam terbalik. Filosofinya sederhana tapi dalam: agar hawa rumah selalu terasa segar dan adem, menentramkan siapa pun yang tinggal di dalamnya.


Padi, Jagung, dan Warna Merah-Putih

Empat penjuru soko guru kemudian dihiasi dengan gantungan padi dan jagung. Harapannya jelas: kemakmuran. Padi dan jagung adalah lambang pangan yang menjadi dasar kehidupan.

Sementara itu, kain merah ditanam bersama cok bakal, kendi, dan kayu dhadap srep sebagai lambang Ibu Pertiwi. 

Adapun kain putih membungkus pertengahan kayu bubungan (cuncit) yang di dalamnya di tanamkan paku emas, sebagai perlambang Bapa Angkasa. 

Kedua warna itu menyatukan bumi dan langit, ibu dan bapak, dalam harmoni rumah yang baru berdiri.


Ketupat, Lepet, dan Jadah adalah Tali Persaudaraan

Saat prosesi berlangsung, aroma ketupat dan lepet memenuhi udara. Keduanya melambangkan penghormatan kepada leluhur dan empat penjuru mata angin. Ketupat dengan simpulnya yang rumit adalah doa agar hati manusia tetap jernih dan terikat erat dalam persaudaraan.

Ada pula jadah, yang dibagikan kepada kerabat yang ikut bergotong royong mendirikan soko guru. Jadah yang lengket adalah simbol kebersamaan—mengikat erat hubungan antar tetangga. Sebuah pengingat bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal keluarga inti, melainkan juga bagian dari jaringan sosial yang lebih luas.


Prosesi Sakral Pecah Telur dan Langkah Sang Ibu


Momen paling ditunggu pun tiba. Sesepuh mengambil sebutir telur ayam kampung dan memecahkannya tepat di atas kayu cuncit—kayu utama bubungan rumah. Simbolik sederhana, tapi sarat makna: wes pecah ndog’e, kabul gegayuhane—telah pecah telurnya, terkabul segala cita-cita.

Lalu, sang istri pemilik rumah melangkahi kayu cuncit dengan hati-hati. Dalam filosofi Jawa, langkah itu adalah ikrar: “Anggaplah rumah ini suami keduamu. Rawat, cintai, dan jagalah ia. Jika suami pergi, tetaplah bernaung di dalam rumahmu.” Sebuah pesan tentang kesetiaan dan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga.

Setelah itu, bunga setaman dipercikkan ke kayu dan pondasi. Doa pun menggema: semoga rumah ini menjadi sumber keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan.


Paku Emas dan Dhamar sbagai Cahaya Harapan

Di titik paling tinggi rumah, sebuah paku emas ditancapkan di bubungan. Bukan sekadar penguat, melainkan simbol doa agar rumah tampak kokoh, berwibawa, dan memberi rasa nyaman.

Sementara itu, sebuah dhamar—lampu minyak kecil—dinyalakan. Cahayanya redup namun hangat, seakan berkata: “Semoga rumah ini selalu diterangi jalan terang, bebas dari kegelapan hati maupun hidup.”


Gotong Royong: Nafas Masyarakat Jawa

Semua prosesi tak akan berarti tanpa gotong royong. Di desa, mendirikan rumah bukan hanya urusan

satu keluarga, tapi urusan seluruh warga. Tetangga datang membawa tenaga, makanan, dan doa. Anak-anak berlarian, para ibu menyiapkan kenduri, sementara bapak-bapak bahu-membahu menegakkan soko guru.

Di akhir acara, seluruh warga duduk lesehan, menikmati hidangan kenduri. Ada doa bersama, lalu nasi tumpeng, ketupat, dan aneka lauk dibagikan. Tawa bercampur doa, syukur bercampur harapan.


Rumah Sebagai Doa yang Hidup

Pasang Cuncit dan Soko Guru bukan sekadar tradisi. Ia adalah wujud nyata bagaimana masyarakat Jawa memaknai rumah. Setiap kayu, setiap bunga, setiap sajian—semua adalah doa yang hidup, bersemayam di dalam pondasi, dinding, hingga atap rumah.

Di tengah modernitas yang serba cepat, upacara ini mengingatkan kita bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, melainkan pusat kehidupan, tempat doa-doa dikumpulkan, dan simbol keterhubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.

Dan tentunya setelah semua pekerjaan hari itu selesai, makan diakhiri sengan selamatan dan do'a.

Rumah boleh sederhana, tapi doa yang menyertainya akan membuatnya megah di mata semesta.


~Wonosari, Gunung Kawi 2012

Edi 'Bholor' Santoso.



Thursday, May 10, 2012

PENCEMARAN DENGAN TULISAN DI MEDIA ONLINE DAPAT DI JERAT DENGAN UNDANG - UNDANG

Pencemaran dengan Tulisan email, FB, Twitter di kenakan UU ITE
(surat2, ucapan psl 310-311 KUHP, apabila sdh menggunakan email, FB, Twitter di kenakan UU ITE)

Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.



Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"

Pasal 310 ayat (1) KUHP Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.

Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.

Pasal 45 UU ITE (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.

Pasal 36 UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain" Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)

Pasal 51 ayat (2) UU ITE Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Sumber : Suanang Al - Banjary.

Saturday, April 28, 2012

KIRAB SESAJI 1 SURO


Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi Malang, Sebuah Kisah dari Dalam Prosesi

Sebagai warga asli Desa Wonosari di lereng Gunung Kawi, Malang, setiap pergantian tahun Jawa menjadi momen yang selalu saya tunggu. Tepatnya di tanggal 1 Suro dalam kalender jawa, kami melaksanakan Kirab Sesaji, sebuah tradisi sakral yang diwariskan leluhur. Bukan sekadar upacara adat, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatukan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tahun ini, saya kembali berkesempatan terlibat langsung dalam prosesi itu, dari awal hingga akhir.


Malam Menjelang 1 Suro: Selamatan dan Doa Bersama

Sejak sore, suasana desa sudah berbeda. Angin Gunung Kawi bertiup sejuk, seolah ikut menyambut pergantian tahun Jawa. Warga mulai berdatangan ke Padepokan Eyang Joego membawa tumpeng, jenang, dan aneka jajanan tradisional. Saya ikut membantu menata makanan di tikar panjang yang sudah disiapkan.

Ketika malam tiba, prosesi selamatan malam 1 Suro pun dimulai. Para sesepuh duduk di depan, memimpin doa dengan suara tenang, memohon berkah dan keselamatan. Kami semua larut dalam khidmat. Dalam hati saya berdoa, semoga tahun baru ini membawa kedamaian bagi seluruh warga Desa Wonosari, juga bagi siapa saja yang hadir malam itu.

Selamatan bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga simbol kebersamaan. Setelah doa selesai, makanan dibagi merata. Kami duduk melingkar, saling bercengkerama sambil menikmati hidangan. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan: rasa menjadi bagian dari keluarga besar desa ini.


Pagi Hari: Persiapan Kirab

Keesokan harinya, desa kembali sibuk. Sejak pagi, para pemuda sibuk menyiapkan gunungan sesaji serta jolen, berisi hasil bumi: padi, jagung, sayuran, buah-buahan, hingga jajanan pasar. Gunungan dan jolen itu nantinya akan diarak dari terminal desa menuju Pesarean Gunung Kawi sebagai wujud syukur atas rezeki alam.

Saya bersama beberapa warga lain membantu menata barisan peserta kirab. Para penari, hingga barisan anak-anak dengan pakaian adat Jawa sudah siap. Jalan utama desa dihias janur kuning dan umbul-umbul, menambah suasana meriah sekaligus sakral.


Siang Hari: Kirab Sesaji Dimulai

Tepat setelah azan zuhur berkumandang, Kirab Sesaji 1 Suro resmi dimulai. Iring-iringan panjang bergerak dari Pelataran Terminal Desa berjalan pelan meuju Komplek Pesarean Eyang Djoego. Saya ikut berjalan sambil sesekali bergantian memikul jolen, mengikuti irama gamelan yang mengiringi langkah peserta.

Sepanjang jalan, warga dan tamu dari berbagai daerah berjejer menyaksikan. Mereka ikut larut dalam suasana. Ada yang berfoto, ada pula yang khusyuk berdoa dalam hati. Yang paling menarik perhatian selain gunungan sesaji yang Warnanya yang cerah, penuh hasil bumi, seperti melambangkan kesuburan dan keberkahan Gunung Kawi. Ada juga pada barisan terakhir para pemuda yang mengusung OGOH - OGOH atau Patung raksasa yang kami sebut sebagai SANGKALA.

Kirab berputar mengelilingi desa, berhenti sejenak di beberapa titik untuk doa. Di sinilah saya merasakan makna terdalam tradisi ini: bukan sekadar pawai budaya, melainkan penghormatan kepada alam dan leluhur yang menjaga desa kami selama ini.


Sore Hari: Prosesi Pembakaran Sangkala

Menjelang senja, tibalah puncak acara yang paling dinanti: pembakaran Sangkala. Sebuah patung raksasa besar yang melambangkan segala keburukan, marabahaya, dan energi negatif dikumpulkan di lapangan desa.

Sesepuh desa memimpin doa terakhir, lalu api dinyalakan. Perlahan, Sangkala terbakar habis. Api menjilat tinggi, asap membumbung ke langit, dan semua warga terdiam menyaksikan. Ada rasa haru yang menyelimuti hati saya.

Pembakaran Sangkala menjadi simbol bahwa segala hal buruk di tahun lalu telah sirna, terbakar bersama api, memberi ruang bagi kebaikan dan harapan baru. Bagi kami warga Wonosari, momen ini seperti pelepasan beban, sekaligus awal baru untuk hidup lebih baik.


Kenduri Bersama dan Harapan Baru

Setelah api padam, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama. Semua orang, baik warga maupun tamu, duduk berjejer menikmati hidangan. Tidak ada perbedaan, semua sama. Inilah esensi dari Kirab Sesaji 1 Suro: kebersamaan, kebersyukuran, dan doa untuk kesejahteraan bersama.

Di sela-sela kenduri, saya mendengar sesepuh desa berkata: “Kabeh iki kanggo slamet, kanggo tentreming urip, ora mung kanggo awake dhewe, nanging kanggo kabeh makhluk sing urip ana ing kene.” (Semua ini untuk keselamatan, untuk ketentraman hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua makhluk hidup di sini).

Kata-kata itu membekas di hati saya. Tradisi ini bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh elemen alam yang menopang kehidupan: gunung, hutan, sungai, bahkan angin yang berhembus di lereng Gunung Kawi.


Penutup

Mengikuti Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi – Malang bukan hanya pengalaman budaya, tetapi juga perjalanan spiritual. Dari selamatan malam, kirab siang hari, hingga pembakaran Sangkala dan kenduri bersama, semuanya memiliki makna mendalam.

Sebagai warga lokal, saya bangga menjadi bagian dari tradisi yang masih lestari hingga kini. Kirab Sesaji bukan hanya warisan leluhur, tapi juga jembatan yang menghubungkan kami dengan alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta.

Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan, datanglah ke Desa Wonosari, Gunung Kawi, setiap malam 1 Suro. Rasakan sendiri suasana sakral yang penuh makna, sekaligus hangat dalam kebersamaan.

Karena di sinilah, di kaki Gunung Kawi, kami belajar bahwa hidup adalah tentang menghargai warisan, menjaga alam, dan berjalan bersama menuju masa depan yang penuh berkah.


kirab sesaji 1 Suro Gunung Kawi Malang - JAWA TIMUR....

Tuesday, February 14, 2012

Selamat hari raya NYEPI tahun baru Çaka 1934 / 23 Maret 2012.


Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia.


Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”.

Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa.

Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi.

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1934 semoga Tuhan selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini.


Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia. Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat upacara atau kegiatan. Pertama upacara Mekiyis yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya. Kedua upacara Macaru (tawur agung) yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos. Ketiga mengamalkan Catur Brata untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh. Keempat melaksanakan Ngembak Ghni dan Dharmasanti sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini. Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa. Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini. (Sumber)

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/03/05/menyelami-lebih-dalam-makna-nyepi-dan-catur-brata/
Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia. Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat upacara atau kegiatan. Pertama upacara Mekiyis yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya. Kedua upacara Macaru (tawur agung) yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos. Ketiga mengamalkan Catur Brata untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh. Keempat melaksanakan Ngembak Ghni dan Dharmasanti sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini. Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa. Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini. (Sumber)

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/03/05/menyelami-lebih-dalam-makna-nyepi-dan-catur-brata/

Saturday, February 11, 2012

KEANEKARAGAMAN budaya Jawa yang sering dinilai syirik

KEANEKARAGAMAN budaya Jawa sering dinilai syirik. 

 Sebagian kalangan menganggap penilaian ini membabi buta, karena sebetulnya banyak yang bisa diluruskan. Kandungan nilai yang bisa diurai secara ilmiah, sangat besar. Termasuk di dalamnya urusan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

"Mestinya kita bisa memahami dari sisi tanggap ing sasmita, tanggap sasmitaning zaman, karena semua konsep budaya itu, bernilai dan bermakna sangat dalam. Bukan sekadar vonis syirik semata," kata Prof Dr Sugiyarto MSi, saat pengukuhan sebagai guru besar UNS ke 146.

Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu Biologi MIPA. Namun demikian, keseriusannya mengamati keanekaragaman budaya Jawa, menjadikannya banyak mengupas berbagai fenomena budaya yang selama ini muncul di masyarakat.

Rektor Prof Ravik Karsidi sempat memuji hal ini. Sebab sedikit ilmuwan yang memiliki komitmen pada budaya. Apalagi ini justru datang dari ilmuwan yang berlatar belakang bidang MIPA, khususnya Biologi. "Banyak yang bertanya, Pak Giyarto ini sebetulnya guru besar bidang budaya apa biologi? Tapi inilah uniknya ilmu pengetahuan. Sisi manapun bisa ditelaah dari sisi keilmuan," kata dia.

Lebih uniknya, profesor yang memilih disebut Profesor Ndesa, karena tinggal di lereng Merapi, Desa Kadilaju, Klaten itu ternyata pencipta lagu keroncong. Sudah 70 lagu diciptakan. "Saya menunggu, kapan diberi kaset rekaman lagu-lagunya. Saya kira ini menarik karena Prof Giyarto menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara bagus," katanya.

Dalam pidatonya, Bapak berputra delapan ini mencontohkan adalah berbagai upacara tradisi yang digelar di berbagai daerah. Setiap upacara baik perkawinan, kehamilan, tingkeban, kelahiran, sunatan, sampai kematian, membutuhkan ubarampe berbeda-beda. Semua berkaitan dengan keanekaragaman hayati.

Perlambang

Kalau disikapi secara syirik, tentu karena setiap ubarampe itu mengandung makna dan perlambang kekuatan atau permohonan. Namun dari sisi ilmiah, sebetulya menunjukkan upaya mengenalkan, mensifati, menilai, dan menjaga eksistenti serta melestarikan biodiversitas itu. Baik spesies hewan, varietas tanaman, kultivar, dan galur.

"Ada lagi pranata mangsa yang mengatur tata tanam, sabuk gunung yang mempraktekkan terasering, pengelolaan pekarangan rumah dengan sistem agroforestri, yang oleh pujangga Ranggawarsita sudah dibuat tembangnya," kata dia yang lahir 30 April 1967 ini.

Wis tiba mangsa labuh, wus wayahe padha ulur jagung, kanggo jagan sadurunge panen pari, prayogane uga nandur, mbayung bayem lombok terong. Itu salah satu bait tembang karangan Ranggawarsita yang menawarkan sistem tanam padi, padi, palawija.

"Sayang, tuntutan produksi menjadikan petani kita tidak lagi mengindahkan soal itu. Mereka pedomannya menanam padi, pari, pantun. Tiga mangsa tani itu, harus ditanami padi untuk menggenjot produksi. Akibatnya tanah rusak, struktur tanah hancur karena dipaksa. Tanaman memunculkan hama tanaman yang mendapatka lahan berkembang," tandasnya.

Ada lagi tradisi jejamu atau meminum jamu yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Itupun secara ilmiah sebetulnya mendorong orang jawa melestarikan konservasi biodiversitas sanat luar biasa. Indonesia dikenal memiliki ragam tanaman obat yang sangat besar.

Juga pekaliran pewayangan yang selalu diawali dengan adegan tancep kayon (gunungan) dan diakhiri dengan tancep kayon lagi. Bahkan di sela-sela adegan, selalu dimainkan gunungan itu. Artinya, manusia hidup di alam, dan dibatasi dengan adanya alam raya yang harus dilestarikan. Termasuk pelestarian Kiai Slamet, kebo bule yang dirawat dengan baik oleh Keraton.

Kalau dimaknai syirik, mistik, hanya akan berhenti sampai di situ saja. Namun jika dimaknai pendekatan nalar, sebetulnya kawasan Surakarta ini adalah kawasan agraris, pertanian. "Lambang kebo bule itu mendorong pelestarian hewan yang berguna untuk menggarap ladang. Sayang manusia terlalu sombong dengan menggantikan kerbau dengan mesin, sehingga biodiversitas makin habis dan tidak dimaknai," kata dia.

Saturday, February 4, 2012

Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H.

Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW......

Turut berbahagia dan mengucapkan :
SELAMAT MAULID NABI MUHAMMAD SAW. 1433 H / 04 Feb 2012.

Suri tauladan yang sempurna bagi sekalian umat Islam...
Pembawa cahaya penerang bagi seru alam..
Pemberi syafaat untuk sekalian umat yang beriman...
Rasulullooh akhir zaman......

Allaahumma shalli wa sallim wa barik 'alaa Sayidina Muhammad,...
Wa 'alaa aali, Wa ashaabihi, wa azwajihi, wa dzuriyyatihi, wa ahli baitihi, wabarik wasallim ajma’iin.......

Tuesday, January 31, 2012

Travel Blog Taiwan, Menyusuri Keindahan Gunung Hen Hua San Bersalju

Petualangan di Gunung Hen Hua San, Taiwan

Ada sebuah perjalanan yang selalu lekat dalam ingatan saya—perjalanan ke Gunung Hen Hua San di Kawasan Taman Nasional Taroko, Taiwan, ketika bumi sedang berselimut putih dan udara penuh dengan butiran salju yang jatuh pelan. Kami bersembilan waktu itu, rombongan kecil yang berangkat bukan hanya untuk liburan, tetapi juga untuk mencari pengalaman yang mungkin tidak akan datang dua kali.


Awal Perjalanan

Pagi itu, udara Sinchu terasa menusuk, dan kabar dari teman-teman membuat hati kami semakin bersemangat: “Di Hen Hua San sedang turun salju.” Bagi sebagian besar dari kami yang tinggal di daerah tropis, salju hanyalah cerita di film, foto di kartu pos, atau bayangan dingin di kepala. Kini, kami punya kesempatan untuk merasakannya langsung.

Mini Bus yang kami tumpangi melaju menembus jalanan berliku menuju pegunungan. Dari kaca jendela, perlahan pemandangan berubah: pepohonan yang semula hijau mulai tertutup putih tipis, atap rumah desa diselimuti bintik-bintik es, dan udara semakin berkabut. Di dalam bus, kami semua sibuk bersorak, menunjuk ke luar jendela, seperti anak-anak yang baru saja menemukan dunia baru.


Jejak Pertama di Salju

Setiba di Hen Hua San, kami berhamburan keluar. Embusan angin dingin langsung menyergap, menusuk hingga ke tulang. Tapi kegembiraan mengalahkan rasa menggigil. Salju turun dengan lembut, menempel di rambut, jaket, dan sarung tangan.

Salah satu dari kami, yang paling usil, segera membungkuk dan mengepalkan segenggam salju pertama. Tidak perlu menunggu lama, bola salju itu melayang, tepat mengenai bahu seorang teman. Tawa meledak. Seperti tak ada yang bisa menahan diri, kami pun saling lempar bola salju, berlari kecil di jalur pegunungan, hingga napas terengah dan wajah memerah karena udara dingin bercampur tawa.


Hen Hua San dan Cerita Lokal

Di sela-sela perjalanan, pemandu kami bercerita. Nama “Hen Hua San” memiliki makna puitis dalam bahasa Mandarin—sering diterjemahkan sebagai “Gunung Bunga yang Indah.” Konon, di musim semi, lerengnya dipenuhi bunga liar berwarna-warni, seolah gunung diselimuti karpet alami. Namun di musim dingin, gunung ini berubah wajah: bukan lagi bunga, melainkan salju yang menutupinya, tetap indah dengan caranya sendiri.

Ada pula cerita rakyat yang menyebut bahwa roh penjaga gunung tinggal di hutan pinus. Roh ini dipercaya menjaga keseimbangan alam, sehingga para pendaki sering diminta untuk tidak berisik atau merusak pepohonan. Mendengar itu, kami jadi semakin hati-hati, menapaki jalur dengan rasa hormat. Rasanya seolah kami sedang berjalan di halaman rumah seorang kawan yang sedang menjamu.


Menyusuri Jalur Pegunungan

Hen Hua San memang indah. Jalurnya yang melintasi pepohonan pinus tampak magis ketika tertutup salju. Dahan-dahan menjuntai, seakan menunduk memberi salam kepada setiap pejalan. Langkah kaki kami meninggalkan jejak di tanah putih, derapnya berirama dengan suara alam yang hening.

Kadang kami berhenti, hanya untuk menengadah, menatap butiran salju yang turun perlahan dari langit abu-abu. Rasanya seperti sedang berada dalam dunia lain, dunia yang hanya ada dalam dongeng.

Di sebuah titik, pemandangan terbuka. Dari ketinggian, terlihat hamparan pegunungan menjauh, berlapis-lapis, diselimuti putih bersih. Kami berdiri di sana lama sekali, nyaris tanpa kata, hanya saling menatap dan tersenyum. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan: perasaan kecil di hadapan semesta, tapi sekaligus bahagia karena bisa merasakan momen bersama.


Hangatnya Kebersamaan

Dingin yang menggigit membuat kami akhirnya mencari tempat berteduh. Ada sebuah kedai kecil di dekat jalur wisata, dengan jendela berembun dan pintu kayu sederhana. Begitu masuk, aroma sup panas dan teh jahe menyeruak. Kami langsung duduk, menghangatkan tangan di dekat mangkuk dan cangkir yang mengepul.

Pemilik kedai, seorang wanita tua dengan senyum ramah, sempat bercerita bahwa salju di Hen Hua San tak selalu datang tiap tahun. Kadang hanya sebentar, kadang tebal dan bertahan lama. “Kalian beruntung,” katanya, “hari ini gunung sedang murah hati.”

Di meja kayu itu, kami bercengkerama. Ada yang bercerita tentang pengalaman pertamanya melihat salju, ada yang sibuk merekam video, ada pula yang hanya diam, menikmati rasa syukur bisa hadir di tempat itu. Gelak tawa kembali pecah, menyingkirkan rasa dingin yang membekap.


Penutup Perjalanan

Hari mulai beranjak sore. Salju masih turun, meski tidak selebat sebelumnya. Kami kembali menuju bus dengan langkah pelan, seolah enggan meninggalkan suasana magis di Hen Hua San. Sesekali saya menoleh ke belakang, melihat jejak kaki yang mulai samar tertutup salju baru.

Di perjalanan pulang, suasana hening. Bukan karena lelah, tapi karena masing-masing larut dalam pikirannya. Saya tahu, di hati kami tersimpan rasa yang sama: rasa syukur, rasa kagum, dan rasa ingin suatu hari kembali lagi.

Gunung Hen Hua San telah memberi kami hadiah: pengalaman sekali seumur hidup, ketika dunia putih menyelimuti bumi, budaya lokal hadir dalam cerita, dan sembilan orang sederhana merayakan kebersamaan dalam pelukan salju. Liburan yang mengesankan....




Kebersamaan yang akan selalu menjadi kenangan sepanjang HAYAT.....
TAROKO National Park - Hua Lien, Taiwan.

Melihat sifat KERIS

Di petik dari buku " DAYA GAIB KERIS PUSAKA" oleh S. LUMINTU th. 1996 - Yogyakarta.

Melihat sifat Keris bisa kita ketahui ari rancang bangun bilahnya. Dalam buku 'SERAT PANITI KADGA' terbitan tahun 1929 terdapat 4 cara untuk melihat sifat Keris berdasarkan panjang & lebar bilah, menurut ajaran Sunan Bonang sebagaimana di tuturkan kepada Mpu Suro.

A. CARA PERTAMA
Tentukan lebar wilah pada titik 2/3 panjang keris (tidak termasuk pesi). Dari lebar inilah kita hitung panjang wiilah mulai gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan kita bagi 8, sisa berapa.
Jika tersisa :
1. NAGA RETNA SAMPURNA, berwatak baik untuk pembesar, jika digunakan untuk berperang selamat.
2. SURO CONDRO RETNO, berwatak baik. Cocok untuk petani dan pedagang.
3. JATI KUMBA MAHA LABA, berwatak baik. Cocok untuk orang yang mengabdi.
4. RANGGA JANUR, berwatak jelek. Jika digunakan untuk mengabdi akan mendapat gangguan, jika di simpan di dalam rumah PANAS dan menghalau kebaikan.
5. ARJUNA SURAPATI, berwatak baik. membawa kewibawaan, banyak mendapat keluhuran dan rizky.
6 . BIMA SAWER, berwatak sangat jelek. ringan tangan dan tidak dapat di andalkan. Sering menemui halangan dan boros rejekinya.
7. DHESTIRA MADIYEM artinya RATU PINANDHITA (Rajanya para Pendeta) berwatak sangat baik, banyak keberuntungannya.
8. SADEWA BINENDON, berwatak jelek. melarat sering sakit. Keluarga sering kena perkara, untuk berdagang mandatangkan kerugian.


B. CARA KEDUA
Tentukan lebar wilah pada titik pertengahan pajang keris(tidak termasuk pesi). Dari lebar tersebut kita hitung panjang wilah dari gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan di bagi 8, sisa berapa. jika tersisa :
1. SRI RETNAKUMALA, wataknya mempermudah jalanya harta benda.
2. JATI TAKIR, wataknya memperkaya perhitungan.
3. BIMA RAJEK WESI, watakmya kokoh, kuat & Sentosa.
4. KUDA MICARA, wataknya senang berperkara.
5. SATRIYA LEDHANG, wataknya senang keluyuran & bermain - main.
6. REJUNA RANGSANG, wataknya brangasan & gampang marah.
7. SRI NATA JURIT, Wataknya suka bertengkar.
8. MAKAN TUAN, wataknya sering melukai pemiliknya.


C. CARA KETIGA
Disebutkan dalam serat Cehthini jilid I pupuh 25, bahwa pedoman untuk membuat keris dimulai dengan mengukur panjang GONJO, kemudian bilah keris di ukur berapa kali panjang gonjo.
Pengukuran dimulai dari pangkal bilah (tidak termasuk pesi) sampai ujung bilah, dengan hitungan : 
CAKRA - GUNDHALA - GUNUNG - GUNTUR - SEGARA - MADU

hitungan yang baik jika jatuh pada Gunung, Segara, Madu.
Jika pengukuranya di balik dari ujung ke pangkal bilah, yang terbaik jatuh pada Gunung.


D. CARA KE EMPAT.
mengukur bilah dengan JEMPOL IBU JARI, dengan hitungan :

UMBAK - AMBA KARANA - SAMBER NYAWA - SRI LUNGO.  atau
GEDHONG - BRAMA - KALA - PITENAH.

Yang baik jatuh pada hitungan Umbak / Gedhong.

Nuwun.
Sinchu - Taiwan
Minggu Legi, 21 Agustus 2011
21 Pasa 1944 Tahun BE Windu KUNTARA
21 Ramadhan 1432H.














Monday, January 30, 2012

Wong NDESO....

Ada suatu dialog antara anak dengan bapak seorang petani :
... ” le suk nek wes gedhe arep dadi opo ?
” dados Bupati pak !”
” trus sing arep ngarit sopo ? sing makani sapimu sopo, sawah kae arep dikapake suk nek bapak lan mbokmu mati ?”


Sang anak tercenung …. menjadi sebuah pilihan sulit. Di satu sisi ingin menunjukan ekstensinya bahwa dirinya tidak hanya dianggap bisa sekedar ngarit thok, angon wedhus, opo mung nyekeli pacul, di sisi lain juga berpikir nasib tanah yang kelak mau diapakan, apakah akan dijual pada cukong dan juragan dan tak lama lagi tanah akan berdiri megah sebuah istana, sawah hanya tinggal kenangan. Dhuh biyung ! Namun petani juga tak risau jika kelak anaknya jadi tentara, pegawe negeri, pejabat, pilot, yang penting jadi orang berguna bagi bangsa dan negara, migunani kanggo wong akeh, asal jangan jadi koruptor. Namun tak sedikit pula anak-anaknya yang masih setia meneruskan tradisi bapaknya, beberapa yang saya kenal seperti Mbah Gimun yang setia menjadi tukang ngarit, bahkan dengan penuh guyonan orang orang menyebutnya urip matine mung cuman ngarit. “Lha piye nek ora ngarit ora iso mangan je”

Ya memang kehidupan pedesaan hanya ada nyangkul dan nyangkul, ngarit dan ngarit. Irama kehidupan ini turun temurun sejak jaman dahulu kala. Mereka hidup dalam kesederhanaan, nrimo ing pandum, menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak ditambah, tidak dikurangi. Penerimaan yang cukup sederhana ini menjadi sebuah perenungan mendalam dalam jiwa saya yang sudah terkontaminasi budaya kota, yang serba cepat, grusa-grusu. Stress adalah merupakan penyakit orang kota, bukannya orang tidak desa tidak bisa stress. Semua orang bisa stress, termasuk anda anda juga, namun stressnya orang kota berbeda dengan orang desa.

Hidup di desa memang sangat berbeda dengan di kota, hidup di kota kalo tidak bisa menyesuaikan diri akan tersingkir dari persaingan, siapa cepat dia dapat, siapa kalah dia celaka. Jangan harap pertolongan tonggo teparo. Saya pernah hidup di beberapa kota besar macam surabaya, jakarta dan batam (Dan sekarang Taiwan, heee….) depan rumah saja tidak kenal, saya kerja dari pagi hingga malam, minggu pun pasti ada acara lain. Demikian pula dengan tetangga ketemu dengan mereka palingan di jalan itupun juga cuwek. Berbeda dengan di desa, begitu anda dapat celaka, tetangga akan cepat membantu tanpa pamrih. Ini ciri khas bangsa kita yang masih dipelihara oleh warga desa.

Dewasa ini terutama daerah perkotaan, masalah belum tentu diselesaikan dengan kekeluargaan, jika ada masalah sedikit lapor polisi dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain. Kasus demi kasus bermuara pada permusuhan dan perkelahian, pergeseran sifat dari kekeluarga ke kecuekan merupakan hal yang susah dicari benang merahnya. Tuntutan ekonomi yang tinggi, beban pekerjaan terutama jam kantor yang panjang, tugas luar, macet di jalan merupakan masalah yang sampai kini justu semakin memburuk. Mereka sibuk mencari suatu yang instan, yang bisa memuaskan diri tanpa bersusah payah, yang penting : BAYAR ! uang menjadi senjata paling ampuh di dunia perkotaan, mau makan gratis kalo tidak ditraktir teman susah mendapatkan.

Orang kota semakin hari semakin pelit alias medit, sekarang bertamu saja hanya dikasih aqua atau air bening ( bukan air putih ). Air bening memang menyehatkan tetapi belum tentu menyehatkan sikap kekeluargaan. Orang menjadi malas berkunjung karena takut hanya disuguh air bening saja. Jika berkunjung ke desa, malah tak pernah mendapatkan air bening, semua airnya berwarna, anda akan mendapatkan air bening jika meminta dan itupun belum tentu ada kecuali yang mentah. Anda malah akan disuguh dengan hasil panen seperti ketela, pisang, salak, rambutan dan lain lain. Padahal itu saya lakukan sekedar numpang lewat, belum tentu kenal. Itulah sikap wong ndeso yang masih dipelihara, mereka akan menerima tamu siapa saja. Itulah sifat yang menjadi terbalik, jika anda bertamu di kota anda akan susah mendapatkan teh atau kopi jika tidak meminta, itupun jika ada, kalaupun ada yang punya rumah masih berkelit dengan alasan ekonomi, sebaliknya di desa anda akan kesulitan jika meminta air bening, adanya teh atau kopi. Bagi wong desa, tamu adalah orang yang kudu dihormati tidak perduli dia statusnya apa, tidak cukup dihargai dengan segelas air bening atau aqua gelasan, dalam budaya jawa itu sama saja dengan melecehkan tamu. Ora sopan menehi tamu banyu bening ! Sebaliknya orang kota menyuguhkan teh atau kopi pada tamu tak diundang merupakan pemborosan. Cukup air saja cing ! irit, instan, air mentah sekalian dan semoga tamu segera kabur.... :D

Menjadi wong ndeso bukan merupakan suatu kemunduran, kesederhanaan mereka akan menular pada kita, saya pun mengalami perubahan pribadi yang lumayan berubah setelah mengalami interaksi dengan penduduk desa seperti Pak katiman, Pak gimun, Mas tukijan, dan lain lain. Hidup itu sebuah penerimaan, bahwa anugerah dari Tuhan tidak akan pernah berhenti jika setiap orang mensyukuri, kita ini manusia serakah, diberi pasti merasa kurang, bahasa saya sih biasa menyebut : gratis njaluk apik atau murah njaluk sak karepmu. Hanya tingkat keserakahan masing-masing individu yang membedakan tingkat kesyukuran. Kalo yang bisa bersyukur secara positif alias tingkat keserakahannya rendah palingan doanya seperti ini ” Terima kasih Tuhan, walau Kau beri sedikit, aku akan berusaha lebih baik lagi”, namun kalo yang tingkat serakahnya besar palingan doanya juga pake ngancam segala “Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam memberi aku hanya segini tidak sebanding dengan apa yang telah kukorbankan “.lha iya khan...?? "Malah wani marang gusti ALLAH…!!".

Wong ndeso memang damai dan ceria, mangan ora mangan kumpul. Alur kehidupannya tidak grusa-grusu layaknya orang kota yang selalu dikejar waktu, diajak rapat RT saja susahnya minta ampun dengan seribu sejuta alasan yang dibuat-buat, tapi kalo diajak DUGEM... Langsung iyoooo... opo maneh korupsi akan cepat bertindak menyembu-nyikan bukti, I t’s okay !

Boro-boro diajak rapat RT, lha wong ronda malam saja nggak mau, dah bayar aja satpam, kita-kita ini nyari duit. Gitu kira kiranya. iyo po ra ?

Kembali ke desa adalah kembali ke khitah kita sebagai manusia, kembali ke desa adalah kembali ke alam, kembali kepada air yang merupakan sumber kehidupan.

Watak orang kota yang keras dan serba ingin cepat bertemu dengan wong ndeso yang sederhana, bahkan malah punya kesan, alon alon asal klakon. Sikap sederhana, nrimo ing pandum, ngajeni marang sing tuwo, mangan sak onone, semua itu ternyata ampuh untuk mengubah warga kota, terutama bagi mereka yang pernah mengikuti outbond. Perubahan sikap anak-anak sekolah yang ikut dalam outbond diakui para guru-guru pembimbing. Dari sikap sok sembarangan menjadi kalem dan tertib, yang suka buang sampah sembarangan sekarang membuang sampah pada tempatnya. Yang suka rewel sarapan sekarang mau sarapan tanpa protes, mereka belajar pada wong ndeso, belajar pada budaya desa, belajar hidup sederhana, belajar menghargai sesama lewat ekplorasi edukasi berbasis alam dan budaya ala wong ndeso.

Dadi kangen marang Ndesoku..
*** Sekedar renungan, kenapa harus malu menjadi WONG NDESO…..???

Sunday, January 29, 2012

LUDRUK masa kini

Asalamu'alaikum sedulur semua,.....

Setiap hari kita di suguhi tontonan 'ludruk modern' . . . .

kalo dahulu ludruk itu adanya di panggung tujuh belas-an, panggung keliling dan wong hajat-an.Tapi kini ludruk sudah bergeser dan dapat kita nikmati stiap hari di layar tipi. Dulu ludruk lakonya 'Sarip tambak oso', 'Jaran mayang seto' dan judul lain yang selalu menggugah semangat patiotisme. Tapi nek saiki judulnya 'REFORMASI DAN SIBUK BIKIN PARTAI' kemudian di susul judul - judul lainya sampe 'si BLBI', 'boyo mungsuh cecek', 'mbak senturi', sampek sekarang 'si gayeng gayus',...

aaaah,....
aku sebagai wong goblok cukup menonton saja, toh ludruk - ludruk itu pun nggak akan jelas ujung daripada ceritanya. satu belum habis cerita sudah bikin judul baru, begitu seterusnya. . . Jadi ya di nikmati aja sambil ngopi ato 'cangkruk nang gerdu' sembari main sekak, sekalian nunggu lakon apalagi yang akan keluar. Dan aku yakin pasti lakon iki durung ntek wes di tambal lakon anyar.

toh kalo kita berteriak sampe serakpun sang sutradara dan pemain ludruk tak akan menggubrisnya. mereka akan tetap asyik dengan lakon yang sedang di pentaskan. mereka tetap gayeng dan nggak peduli teriakan penonton di pinggir panggung yang meminta ganti pemain karna dandanan-nya sudah kelewat luntur serta acting yang tercompang camping.

wes bahno (sudah di biarkan saja), itu kata pakde saya . . .
karna hanya do'a yang dapat kita berikan, smoga sang ludruk segera mengakhiri lakon yang mereka buat. Sebelum "sang Sutradara" yang sebenarnya benar benar akan membukakan akhir dari cerita mereka.Amin

"Mohon maaf kalu kliru"
Wasalam

Ditulis sambil ngopi + makan pohung goreng
(huenak tuenan.....)
'Taiwan 030410'

Wednesday, January 25, 2012

Laron.....

Kerja hari ini diringi hujan yang tak berhenti. Pagi berangkat di iringi gerimis, siang saat kerja hujan deras, pulang pun masih hujan walau cuma rintik-rintik. Sambil berjalan pulang banyak kulihat 'laron' hewan terbang mirip capung tapi tak berekor panjang yang asalnya dari rayap.

Kulihat mereka begitu bersemangat sekali terbangnya sambil mengitari lampu-lampu sepanjang jalan, ada pula yang jatuh. Sebagian sayapnya patah, ada yang 'sepur-sepuran' bahkan tidak sedikit yang mati, dimakan binatang maupun terinjak.

ah,... laron....
kenapa kamu keluar dari sarangmu yang enak. Apa yang kau cari? Apa kamu tiak tahu kalau diluar itu sangat berbahaya sekali. bahkan sekali kamu keluar hampir di pastikan kamu takkan bisa kembali lagi...!

Tapi kalau melihat semangat terbangmu yang begitu besar saat kau mengerubuti lampu-lampu, ku yakin kamu sudah faham, bahwa sekali keluar kamu takkan bisa kembali. Kau hanya ingin melihat indahnya dunia lewat terangnya lampu-lampu. Tak peduli halangan, rintangan bahkan resiko matipun tetap kau jalani. Kau tahu tujuan hidupmu walau hanya sekejab saja, sesudah itu MATI.

Duh 'laron' kalau ku ingat-ingat diriku malu rasanya, aku yang sebegitu lamanya menikmati dunia kadang masih 'rapuh', suka mrngeluh bahkan menyalahkan sang nasib. Ah 'laron', andai aku punya semngat seperti dirimu.....

Duh, malunya diriku....
FORMOSA
070510

Sunday, January 22, 2012

Sejarah GUNUNG KAWI

Sejarah Gunung Kawi
Setelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri kearah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Diantaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi kearah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.

Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego.

Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, beliau Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).

Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, diantaranya :

1. Mbah Suro Wates
2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo)
3. Mbah Saiupan (Nyawangan)
4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang)
5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
6. Mbah Tugu Drono
7. Ki Kromorejo
8. Ki Kromosasi
9. Ki Haji Mustofa
10. Ki Haji Muntoha
11. Mbah Dawud
12. Mbah Belo
13. Mbah Wonosari
14. Den Suryo
15. Mbah Tasiman
16. Mbah Tundonegoro
17. Mbah Bantinegoro
18. Mbah Sainem
19. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina)
20. Mbah Cakar Buwono
21. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC)

Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari .

Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan kearah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo.


Setelah itu melenjutkan perjalanan kearah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko,

selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua).

Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan kearah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemuuuudian disepakati , nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari.

Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur.

Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :

1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
2. Ki Moeridun
3. Mbah Bantu Negoro
4. Mbah Tuhu Drono
5. Mbah Kromo Rejo
6. Mbah Kromo Sasi
7. Mbah Sainem
8. Kyi Haji Mustofa
9. Kyai Haji Muntoha
10. Mbah Belo
11. Mbah Sifat / TjanThian
12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa

Demikian diantaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya.

Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi.

Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.

Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan kearah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh :

1. Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan)
2. Mbah Kasan Mubarot (tetap bertempat di babatan Kapurono)
3. Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah kasan Sengut)
4. Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah kasan Sengut)

Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari beserta teman-temannya.

Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari.

Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, datang seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri.

Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam) untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan.


Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya , dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut :

1. Kamituwo Mbah Karni
2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun
3. Kamituwo P. Nitirejo
4. Kamituwo P. Taselim
5. Kamituwo P . Setin
6. Kamituwo P. Kemat
7. Kamituwo P. Yahmin
8. Kamituwo P. Tasmu'i

Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut :

1. P. Tasmuin
2. P. Maduri
3. P. Kandar (carteker) orang plaosan
4. P. Tasma'in (kades pertama)
5. P. Sugiono Banjir
6. P. Paidi Sareh

Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari.


Tradisi Adat yang Ada di Desa Wonosari
1. Tradisi Barik'an
Tradisi ini pertama kali diawali oleh Kanjeng R.M. Iman Soedjono yaitu detelah wafatnya Kanjeng Eyang Djoego yang jatuh pada hari senen pahing detiap bulan yang jatuh pada hari malam senin pahing, beliau selalu mengadakan sesaji dan slamatan untuk memperingati wafatnya Kanjeng Eyang Djoego, dan apabila pada bulan selo acara ini akan di ikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari, biasanya acara barik'an ini dilaksanakan pada pagi hari dihari senen pahing.

Acara slamatan barik'an ini diera Kamituwo P. Tamu'I, dengan melihat banyaknya penduduk yang mengikuti acara slamatan barik'an akhirny7a tempatnya dibagi menjadi dua tempat, untuk Wonosari bagian padepokan kebawah sampai di Selotumpeng warga mengikuti barik'an di padepokan, untuk daerah diatas padepokan kearah utara diikuti dusun Sumbersari ditambah kampung Sobrah dan sebagian masyarakat Pijiombo dan Kampung Baru dilaksanakan di Pesarehan.

Tradisi ini dimulai sejak wafatnya Kanjeng Eyang Djoegopada tahun 1871 oleh Knjeng R.M. Iman Soedjono, hinggga sekarang acara slamatan barik'an tetap berjalan dengan baik.

2. Tradisi Bersih Desa
Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan pada era Kamituwo Mbah Karni yanag dilaksanakan setiap bulan Selo, karena pada bulan itu kegiatan masyarakat sudah ada renggangnya misalnya pajak-pajak sudah terbayar, tidak ada orang yang mempunyai hajat, dan kegiatan-kegiatan lainnya tinggal menunggu hasilnya khususnya pada bidang pertanian.

Pada awalnya Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan melakukan slamatan seadanya yang di ikuti seluruh penduduk dusun Wonosari, kemudian setelah berjalan beberapa waktu, lalu diadakan juga pagelaran Wayang Kulit yang dimulai pagi hari sampai dengan siang hari dengan ruwatan, dan juga pada malam harinya diadakan pagelaran Wayang Kulit biasa.

Untuk menentukan pelaksanaan bersih desa, para Pinisepuh desa dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah memilihkan hari yang baik untuk bersih desa.


3. Slamatan Adat, Tolak Balak Bulan Sapar dan Slamatan Jembatan di Wonosari

Tradisi ini pada awalnya terjadi pada awal pendudukan Nipon atau jaman Jepang antara tahun 1944 – tahun 1945 di Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa, terjadi bencana dengan menyebarnya wabah penyakit yang pes yang disebabkan oleh tikus, dan penyakit kolera begitu dasyatnya bencana itu, konon menurut cerita banyak orang yang mati yang disebabkan oleh wabah itu, hingga ada yang mengatakan pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal hingga waktu itu disebut dengan jaman pagebluk.

Pada jaman pagebluk, penyebaran penyakit pes dan kolera (epiderni) begitu meluas, yang terparah adalah didesa-desa, karena jauh dari dinas kesehatan oleh karena itu korban yang terbanyak adalah orang desa. Pada waktu itu orang-orang Jawa didesa percaya bahwa bencana pagebluk itu terjadi karena Kanjeng Ratu Roro Kidul sebagai penguasa laut kidul (samudra hindia) sedang menyebarkan prajuritnya untuk memcari orang untuk dibawa kelaut kidulsebagai budak penguasa laut kidul, maka disebarkan penyakit pes dan kolera,sehingga denga mudah mengambil jiwa-jiwa orang yang diperlukan.

Pada jaman itu begitu hebatnya penyakit itu sehingga menyebabkan banyak orang desa yang mengungsi, tidak berani berada di rumah atau tidur didalam rumah hingga keadaan dusun menjadi sunyi sepi, dengan melihat keadaan yang memprihatinkan itu, para pamong beserta pinisepuh dan tokoh masyarakat dusun Wonosari, kemudian berkumpul untuk bermusyawarah mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Lalu disepakati oleh pamong, tokoh masyarakat dan pinisepuh untuk berprihatin dengan berpuasa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu juga menyuruh orang untuk pergi keorang-orang tua yang pintar dan mengerti. Akhirnya mandapatkan petunjuk untuk slamatan tolak balak yang harus dilaksanakan diperempatan dusun, dengan adanya petunjuk atau wangsit tersebut maka dilaksanakanlah slamatan tolak balak dengan di ikuti seluruh penduduk Wonosari beserta pamongnya pada bulan Sapar, dan dilaksanakan pada pagi hari.

Dari tahun ketahun tradisi slamatan tolak balak dibulan Sapar, terus dilakukan hingga pembangunan jembatan di dusun Wonosari sebelah selatan (stamplat) pada waktu terjadi sesuatu yang aneh, waktu jembatan terbuat dari kayu Glugu (pohon kelapa) setiap kali jembatan selasai dikerjakan, pada malam harinya runtuh hal tersebut terjadi berulang kali, hingga pada suatu hari lewat seorang yang bernama Aris daari desa Sumbertempur dan tiba-tiba Aris dan kudanya jatuh terplosok kebawah jembatan, dsetelah kejadian itu, selang dua atau tiga hari datang seorang dalang bernama mbah Wirindan, pada pagi-pagi hari sepulang dari mendalng di Sumber Manggis, tiba-tiba jatuh dan kesurupan, dimana beliau mengatakan harus slamati dan mengadakan kesenian tayub oleh among dan parapinisepuh, akhirnya dilaksankanlah slamatan dan kesenian andong (tayub keliling) dan itu terjadi tepat dibulan Sapar. Setelah itu jembatan tidak pernah runtuh lagi dan keadaanmenjadi tenang.

Bertahun-tahun kemudian dengan dibukanya jalan raya dari Wonosari melalui dusun Bumirejo sampai ke Ngebyongan desa Tumpang Rejo, kendaraan roda empat bisa langsung
masuk sampai dusun WonosariGunung Kawi ( sebelumnya melewati dusun Gendogo dengan menaiki kuda), dikarenakan itulah jembatan dari kayu glugu perlu diperbaiki dan siperkuat sehingga oleh bapak kamituwo yang pada saat itu didipin oleh P. Tasmui jembatan dibongkar dan diperbaiki diganti dengan beton. Dan terjadi keanehan lagi, setiap siangnya selesai dibangun, malanya roboh lagi, masalah itu terjadi berulang kali hingga membuat pusing para pamong dan pemborong jembatan karena tak kunjung selesai, akhirnya disepakati para pamong desa dan para pinisepuh untuk berprihatin memohon wangsit dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selang bebrapa waktu, kemudian para pinisepuh mendapat wangsit, bahwa diatas jembatan harus diadakan slamatan setelah itu harus diadakan kesenian tari remo dan tayuban didekat jembatan. Oleh para pamong acara itu diadakan tepat pada bulan Sapar bersama dengan acara slamatan tolak balak dusun Wonosari, setelah dilaksanakan slamatan dan kesenian tayub diatas jembatan akhirnya pembangunan jembatan bisa dibangun sesuai rencana.

Demikianlah dusun Wonosari dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.

Responden (nara sumber) :
1. kampung Selotumpeng :
- Mbah Darnoto (70 th.)

2. Dusun Wonosari :
- Bpk. Tanu Suparto (68 th.)
- Bpk. Sugiyar (72 th. )
- Bpk. Soekarno (60 th.)

3. Dusun Sumbersari :
- Bpk. Soedjono (72 th.)

4. Sumber Sobrah :
- Mbah Darmo (74 th. )
- Mbah Rontiyah (70 th.)

5. Dusu Pijiombo :
- Bp. Hartoyo (70 th.)

6. Dusun Kampung Baru :
- Mbah Sumono (89 th.)
- Mbah Kademun (74 th.)


Penyusun :
1. Bpk. Kuswanto S.H. Kepala Desa Wanosari
2. Bpk. Irwan Sumadi BPD Dasa Wonosari
3. Bpk.. Mansyur BPD Desa Wonosari
4. Bpk. Sunarto LPMD Desa Wonosari

~ Wonosari - Gunung Kawi 2012
Edi Santoso "Cak_bholor"