Tuesday, September 23, 2025

Sebuah perjalanan diri

 

Perjalanan di Dalam Diri,

Sebuah Kisah Empat Nafsu dan Sepetak Taman Hati


Di setiap diri kita, tersembunyi sebuah taman yang tak terlihat oleh mata, sebuah lanskap batin yang terus berubah seiring dengan perjalanan hidup. Taman ini bukan sekadar hamparan tanah, melainkan panggung tempat empat karakter utama memainkan perannya: Amarah, Supiah,  Aluamah, dan  Mutmainah. Masing-masing memiliki sifat, kekuatan, dan godaannya sendiri, yang sering kali menentukan ke mana langkah kita akan berlabuh.

Inilah kisah tentang taman hati, perjalanan yang dimulai dari kekacauan hingga menemukan kedamaian yang sesungguhnya.


Taman yang Terbakar (Amarah)

Dahulu kala, taman hati ini adalah hutan yang gelap, penuh dengan semak belukar yang menjalar dan pepohonan kering yang mudah terbakar. Di tengah hutan itu, bersemayamlah seekor naga merah dengan mata menyala dan napas api:  Amarah. Dia adalah penjaga pertama, penguasa insting dan dorongan primal. Setiap kali ia meraung, api kemarahan akan menjilat pepohonan, menghanguskan apa pun yang menghalangi jalannya.

~amarah~
Suatu hari, seorang pengelana datang. Ia ingin menyeberangi hutan ini, tetapi setiap kali langkahnya terhalang, naga itu akan meraung. Ia marah saat jalannya tertutup, marah saat keinginannya tak terpenuhi. Pengelana itu merasa kuat, merasa tak terkalahkan. Ia pikir, dengan api naga ini, ia bisa membakar semua rintangan. Namun, ia tidak menyadari bahwa api itu bukan hanya membakar rintangan di luar, melainkan juga menghanguskan kedamaian di dalam dirinya.

Setiap kali ia menyerah pada amarah, ia merasa lebih kuat sesaat. Namun, setelah api padam, yang tersisa hanyalah abu, kehampaan, dan penyesalan. Hutan hati menjadi kering, tandus, dan tidak ada lagi yang bisa tumbuh di sana. Inilah fase paling liar dari perjalanan kita, saat insting menguasai akal, saat kita membiarkan api membakar jembatan-jembatan, tanpa menyadari bahwa jembatan itu adalah koneksi kita dengan orang lain dan dengan kedamaian itu sendiri.


Sang Angin Pengembara (Supiah)

Setelah api amarah mereda dan menyisakan lahan kosong, datanglah Supiah, seekor merak yang indah dengan bulu-bulu berkilauan. Merak ini tak punya api, tetapi ia memiliki godaan yang lebih halus. Ia adalah penguasa angin, pembawa hasrat dan ambisi duniawi.

~supiah~
Merak itu berbisik kepada sang pengelana: "Lihatlah, lahan ini kosong. Kau bisa menanam apa saja. Jadilah yang terindah, yang termewah, yang paling dihormati." Pengelana itu terpikat. Ia mulai menanam bunga-bunga terindah, membangun istana-istana megah, dan mencari-cari pujian dari setiap angin yang berhembus. Ia mengejar kekayaan, kekuasaan, dan segala sesuatu yang membuat bulu merak itu semakin indah.

Namun, angin tidak pernah diam. Ia selalu bergerak, membawa kabar tentang taman lain yang lebih indah, tentang istana lain yang lebih megah. Merak itu selalu gelisah, tak pernah puas. Bunga-bunga yang ditanamnya layu, istana yang dibangunnya runtuh, karena fondasinya hanya diletakkan di atas pasir. Ia terus-menerus mencari, mengejar, tetapi tidak pernah benar-benar sampai.

Ini adalah fase di mana kita digerakkan oleh "ingin" dan "punya." Kita merasa bahagia saat mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, tetapi kebahagiaan itu seperti embun pagi—segera menguap saat matahari terbit. Kita menjadi hamba dari ambisi kita sendiri, terombang-ambing oleh angin nafsu, dan tak pernah menemukan tempat untuk beristirahat.


Untaian Air Mata Penyesalan (Aluamah)

Pada titik terendah, saat pengelana menyadari bahwa semua yang dikejarnya hanya kekosongan, datanglah hujan. Hujan itu membawa Aluamah, seekor ular yang berganti kulit, simbol dari introspeksi dan penyesalan. Air mata menetes, membasahi lahan yang kering.

~Aluamah~
Ular itu tidak meraung seperti naga, juga tidak memamerkan keindahan seperti merak. Ia berbisik: "Lihatlah apa yang telah kau lakukan. Tamanmu kering. Semua yang kau tanam layu. Kau telah menyakiti banyak hati. Kau telah menyia-nyiakan waktu."

Kata-kata itu bagai cermin yang jernih, memantulkan semua kesalahan yang telah dibuat. Pengelana itu mulai menangis, dan setiap tetes air mata menumbuhkan sebutir benih di lahan yang tandus. Air mata penyesalan adalah pupuk terbaik untuk jiwa. Ular itu mengajarkan bahwa untuk tumbuh, kita harus jujur pada diri sendiri, mengakui kesalahan, dan melepaskan kulit lama kita. Ini adalah fase di mana kita belajar untuk memaafkan diri sendiri, dan memulai proses penyucian. Air membersihkan debu api dan pasir angin, membuat taman hati kembali siap untuk ditanami.


Tanah yang Subur dan Tenang (Mutmainah)

Setelah hujan penyesalan berhenti, dan lahan menjadi subur, datanglah Mutmainah, seekor gajah putih yang tenang dan kokoh. Ia adalah representasi dari tanah itu sendiri: stabil, damai, dan penuh kesuburan. Ia tidak mengejar apa pun, karena ia telah menemukan segalanya di dalam dirinya.

~Mutmanah~
Gajah itu tidak berbisik, tidak meraung. Ia hanya diam, menancapkan kakinya dengan kokoh di tanah. Di bawah bimbingannya, sang pengelana mulai menanam pohon-pohon yang kuat, membangun rumah-rumah yang sederhana, dan mengalirkan sungai-sungai yang jernih. Semua yang dilakukannya sekarang tidak lagi untuk pujian atau ambisi, tetapi untuk memberi. Ia menanam pohon untuk orang lain, ia membangun jembatan untuk membantu sesama, ia membiarkan air mengalir untuk menyuburkan lahan di sekitarnya.

Ini adalah fase terakhir dari perjalanan, saat hati telah kembali ke fitrahnya yang paling murni. Jiwa telah mencapai ketenangan, tidak lagi terombang-ambing oleh amarah atau ambisi. Gajah itu mengajarkan bahwa kedamaian sejati bukanlah tentang memiliki segalanya, melainkan tentang tidak menginginkan apa pun. Kedamaian adalah keadaan di mana jiwa berserah diri, menerima takdir, dan menemukan kebahagiaan dalam memberi, bukan dalam mengambil. Taman hati telah berubah menjadi oase yang damai, tempat di mana bunga-bunga kebaikan mekar dan pohon-pohon ketenangan tumbuh menjulang.


Kembali ke Hati Nurani

Pada akhirnya, perjalanan dari naga api ke gajah putih bukanlah tentang menghancurkan nafsu, melainkan tentang mengendalikan dan menyalurkannya. Api amarah bisa menjadi semangat perjuangan, angin ambisi bisa menjadi dorongan untuk berbuat baik, dan air penyesalan bisa menjadi sumber dari kerendahan hati. Semuanya bermuara pada satu titik: hati nurani, cahaya yang selalu bersinar di tengah taman.

Cahaya ini akan tetap redup jika tertutup oleh asap amarah atau debu ambisi. Namun, jika kita membiarkan air penyesalan membersihkan jalannya dan menanam akar kedamaian, cahaya itu akan kembali bersinar, membimbing kita pulang menuju diri yang paling otentik dan paling damai.

Jadi, tanyakan pada dirimu sendiri, di mana posisimu dalam perjalanan ini? Apakah kamu masih di dalam hutan yang terbakar, di padang angin yang berdebu, atau sudah mulai menanam di tanah yang subur?

Monday, September 22, 2025

Upacara Saparan (Selamatan Jembatan) Desa Wonosari

 

Upacara Adat Saparan Desa Wonosari - Gunung Kawi. Malang 


Selamatan Jembatan yang Sarat Makna

Udara pagi di Desa Wonosari, Malang, terasa berbeda saat bulan Sapar tiba. Langit tampak cerah, dan jalan desa yang biasanya lengang kini ramai oleh langkah warga yang berbondong-bondong menuju jembatan. Bukan sekadar jembatan biasa, melainkan sebuah penghubung penting yang sudah lama menjadi urat nadi kehidupan masyarakat desa—sarana lintas menuju ladang, pasar, dan sekolah. Hari itu, jembatan dihiasi dengan janur kuning dan kain putih sederhana, tanda dimulainya sebuah tradisi turun-temurun: Upacara Adat Sapar atau Selamatan Jembatan.


Ambengan di Atas Jembatan

Sejak pagi, para warga tampak membawa ambengan—nasi beserta lauk-pauk—dalam tampah beralas daun pisang. Ada yang membawa ingkung ayam, ada pula yang membawa aneka jajanan tradisional. Dengan rapi, ambengan itu ditata berjajar memanjang di atas jembatan, terus ke arah barat hingga batas perempatan jalan desa. Suasana khidmat bercampur hangat; anak-anak berlarian kecil sambil sesekali menengok sajian, sementara para ibu sibuk merapikan tampah agar terlihat indah.

Tradisi ini bukan hanya tentang makanan, melainkan tentang kebersamaan. Setiap keluarga menyumbangkan yang terbaik dari rumah masing-masing, seakan ingin menegaskan bahwa jembatan ini bukan milik satu orang, melainkan milik bersama, dan harus dijaga bersama pula.


Doa Sesepuh Adat

Ketika semua ambengan telah tertata, suasana perlahan hening. Seorang sesepuh adat berdiri di tengah jembatan, wajahnya teduh dan penuh wibawa. Dengan suara lirih namun mantap, ia memimpin doa. Kata-katanya meresap di hati, memohon keselamatan bagi seluruh warga, memohon agar jembatan selalu kuat, tidak diterjang banjir, serta menjadi jalan rezeki bagi masyarakat.

Di antara suara doa, hanya bunyi aliran sungai di bawah jembatan yang terdengar mengalun. Semua orang menundukkan kepala, larut dalam kekhusyukan. Saat doa selesai, warga pun mengamini dengan serempak.


Larung Sesaji ke Sungai

Setelah doa dipanjatkan, tibalah pada prosesi berikutnya. Di sisi jembatan, telah disiapkan sesaji berupa nasi tumpeng kecil, bunga setaman, dan beberapa perlengkapan adat lainnya. Sesaji itu kemudian diarak sebentar sebelum akhirnya dilarung ke sungai yang mengalir di bawah jembatan.

Air sungai beriak pelan saat sesaji itu perlahan hanyut terbawa arus. Prosesi ini melambangkan rasa syukur dan permohonan restu alam agar jembatan tetap kokoh, air sungai membawa berkah, bukan bencana. Ada rasa haru ketika melihat sesaji menghilang bersama aliran sungai, seolah membawa doa dan harapan seluruh warga.



Ambengan Dibawa Pulang

Uniknya, ambengan yang tadi ditata panjang di atas jembatan tidak langsung dimakan bersama di tempat. Sebaliknya, setelah doa selesai, warga membawa kembali ambengan itu ke rumah masing-masing. Makanan tersebut kemudian disantap bersama keluarga. 

Filosofinya jelas: doa dan syukur tidak hanya berhenti di jembatan, melainkan dibawa pulang untuk mewarnai kehidupan rumah tangga setiap warga.


Pertunjukan Tari Remo dan Langen Beksan

Jika prosesi selamatan berlangsung dengan khidmat, suasana setelahnya berubah semarak. 

Di atas jembatan, sebuah panggung sederhana digelar. Musik gamelan mulai berbunyi, menandai dimulainya pertunjukan Tari Remo. Penari dengan kostum khas dan gerakan gagah menari penuh semangat, seakan menggambarkan jiwa perjuangan dan keberanian.

Sorak sorai warga menyambut setiap hentakan kaki sang penari. Anak-anak duduk berjejer di pinggir jembatan, matanya berbinar melihat atraksi yang jarang mereka saksikan.

Tak berhenti di situ, malam harinya acara dilanjutkan dengan Langen Beksan atau Tayub. Seni tradisi ini menghadirkan interaksi antara penari dan penonton, menjadikan suasana semakin akrab. Musik, tari, dan tawa bercampur jadi satu, menghadirkan sukacita yang menutup rangkaian upacara adat.


Makna yang Tetap Hidup

Upacara Sapar di Desa Wonosari bukan sekadar selamatan jembatan. Ia adalah simbol rasa syukur, doa keselamatan, dan perekat kebersamaan warga desa. 

Tradisi ini mengajarkan bahwa menjaga warisan leluhur tidak hanya tentang melestarikan ritual, melainkan juga tentang menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Di tengah arus modernisasi, tradisi ini tetap bertahan. Warga percaya, selama mereka menjaga kebersamaan dan menghormati alam, jembatan itu akan terus kokoh menjadi penghubung—bukan hanya antar desa, tetapi juga antar hati.

Suasana semakin siang, dan gema gamelan masih terdengar di kejauhan, seakan mengingatkan bahwa tradisi adalah jembatan: menghubungkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

~ Wonosari, Gunung Kawi, Malang. 2025

Cak_bholor.



Friday, September 19, 2025

UPACARA SELAMATAN ADAT JAWA

 

Mengikuti Upacara Selametan Adat Jawa 

Antara Doa, Rasa Syukur, dan Kebersamaan

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan ikut dalam sebuah upacara selametan di kampung halaman. Meski saya sering mendengarnya, tapi setiap kali hadir, ada saja pengalaman baru yang membuat saya merasa dekat dengan tradisi leluhur.


Suasana Malam Selametan

Biasanya, selametan digelar malam hari. Rumah yang mengadakan hajat terasa lebih ramai dari biasanya. Tikar digelar, kursi-kursi ditata seadanya, dan aroma masakan mulai tercium dari dapur. Para tetangga sudah berdatangan, duduk lesehan dengan wajah ramah.

Yang menarik, tak ada undangan resmi. Cukup dengan undangan lisan oleh yang punya hajat, semua warga pun datang dengan sukarela. Di sinilah saya menyadari bahwa selametan bukan sekadar ritual, melainkan cara orang Jawa menjaga guyub rukun.


Doa Bersama yang Khidmat

Acara biasanya dimulai dengan sambutan singkat dari tuan rumah, lalu dilanjutkan doa bersama. Seorang sesepuh atau modin memimpin doa dengan suara tenang. Kami semua menunduk, memohon keselamatan, kelancaran, dan keberkahan dari Tuhan.

Di momen itu, saya merasa ada suasana hening yang khas—semacam ketenangan batin yang muncul ketika orang-orang berkumpul dengan niat yang sama: berdoa untuk kebaikan.


Sajian Penuh Makna

Nah, bagian yang selalu saya tunggu adalah saat makanan dibagikan. Ada tumpeng kecil, ingkung ayam, jenang, dan kue apem. Setiap sajian ternyata bukan sekadar hidangan, tapi punya makna simbolis.

  • Tumpeng melambangkan doa agar manusia semakin dekat dengan Sang Pencipta.

  • Ingkung ayam sering dimaknai sebagai bentuk kepasrahan dan keikhlasan.

  • Apem berasal dari kata afwan yang berarti permohonan maaf.

  • Bubur merah - putih atau biasa di sebut jenang sengkala adalah perlambang permohonan keselamatan serta untuk menghargai kehadiran sedulur papat ( saudara gaib Manusia).

Makanannya sederhana, tapi penuh filosofi. Rasanya jadi lebih nikmat ketika disantap bersama-sama sambil bercengkerama.


Lebih dari Sekadar Ritual

Bagi sebagian orang modern, mungkin selametan dianggap kuno. Namun, ketika saya benar-benar hadir dan ikut dalam suasana itu, saya bisa merasakan betapa berharganya tradisi ini.

Selametan bukan hanya tentang doa, tapi juga tentang merawat kebersamaan, saling mendoakan, dan mengingat bahwa kita hanyalah manusia yang butuh keselamatan dan ridha Tuhan.

Saya pulang malam itu dengan hati hangat. Ada rasa syukur bisa menjadi bagian dari tradisi yang terus hidup di tengah masyarakat Jawa.

Berikut ini saya sertakan rekaman saat Pak Modin yang bernana Pak Warsi'i mengikrarkan doa Selamatan


~ Wonosari - Gunung Kawi, Malang 2025
Cak_bholor.



Sunday, December 30, 2012

Beri ruang dan waktu untuk anak - anak kita



Jangan rampas keceriaan anak - anak kita dengan berbagai hal sebetulnya kurang mereka butuhkan....


Saya sering mengernyitkan dahi jika ada seorang berkata dengan bangganya anakku setiap hari les ini itu, tiap minggu latihan ini itu dan bla bla bla... Mereka berpendapat semakin anak menguasai banyak hal, maka semakin 'istimewa' dimata mereka. Kita kadang tidak sadar, demi "ego" orang tua anak di korbankan. Dengan alasan agar anak menjadi bisa dalam beberapa hal, kita telah mengorbankan waktu bermain mereka. 

Secara alami, masa anak - anak adalah masa bermain. Tinggal kita sebagai orang tua sebisa mungkin mengarahkan saat bermain mereka itu menjadi sesuatu yang bersifat edukatif yang menyenangkan. Sehingga anak - anak kita tidak kehilangan masa kecil mereka. Maka jangan salah jika ada sebutan "masa kecil kurang puas" yang di tujukan kepada orang - orang dewasa yang masih suka berpola fikir seperti anak - anak :D

Yang terakhir, sekali lagi beri ruang dan waktu bagi anak - anak kita untuk menikmati masa kecilnya, dan tentunya dampingi mereka untuk selalu belajar meskipun sambil bermain. Sebagai orang tua tentunya kita berharap yang terbaik untuk mereka. Jadi ingat sebuah status yang di tulis oleh Gus Mus (KH Mustofa Bisri) kurang lebih seperti ini "Aku tidak menuntuk kepada anak - anakku untuk sekolah dan menjadi orang pinter, bahkan ketika salah satunya tidak mau sekolah TK pun aku biarkan. Aku hanya mengajak dan membinbing mereka untuk selalu belajar"

Friday, December 21, 2012

Prespektif tentang TUAH sebuah PUSAKA




Membahas tentang ISOTERI atau yang biasa kita sebut dengan TUAH atau juga daya / kekuatan sebilah Tosan Aji sangat bergantung dari persepsi serta pola fikir dari tiap individu. Ada ulasan yang sangat menarik dan cocok dengan pendapat saya tentang ISOTERI Pusaka oleh sahabat saya, silahkan di simak serta di nikmati...


Mungkin ada perbedaan paradigma antara anda dan Kudi Mas Banjarnegara tentang Pemahaman Isoteri dalam sebuah Tosan Aji 

Bahwa isi atau Isoteri dalam sebilah keris adalah wewarah dan piwulang yang tercantum dalam sebilah keris, karena keris merupakan sebuah manifestasi dari sebuah wewarah tentang kehidupan, juga disebut ilmu hidup artinya keris merupakan sebuah arahan sejati sebagai manusia yang utuh, tangguh serta sepuh. 


Secara ilmiah isi keris merupakan manifestasi do'a yang dilantunkan para Empu sejalan dengan permintaan pemesan, do'a itu diamalkan dengan mati raga, puasa, membersihkan diri, bahkan tidak berbicara selama membuat keris ( tapa bisu ), memang aneh menempa keris tanpa berkomunikasi lantas bagaimana komunikasi dengan panjak atau pembantunya, Komunikasi dengan panjak dilakukan dengan bunyi palu yang dipegang Empu selama membuat keris, empu seolah bertapa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar do'anya dikabulkan dan diberi daya kekuatan yang berujud bilah, perwujudan do'a itu tergores dalam pomor yang muncul, dapur atau model dari keris yang dibentuk. Meskipun bentuk keris merupakan pesanan pemesan, tetapi hal tersebut sudah diselaraskan dengan naptu atau tanggal kelahiran pemesan yang dihitung secara cermat oleh Sang Empu , oleh empu do'a itu diwujudkan dalam bentuk pamor yang tergurat indah, misalnya keris Jangkung dengan pamor Udan Mas yang mempunyai harapan agar siempunya keris mendapatkan perlindungan sekaligus mendapatkan rejeki yang berlimpah. 


Atau contoh lain Keris dapur Jangkung Mangkunagoro artinya si empunya keris diharapkan mampu atau kuat mengemban tugas sebagai Pemimpin Kerajaan atau Negara dengan Lindungan ( jinangkungan ) Tuhan YME. 


Kalau keris bertuah seperti itu dikoleksi masa sekarang tentu ada tuntutan terhadap kolektor yakni perilaku penyimpanan apakah selaras dengan laku yang diharapkan ketika keris dibuat, ada syarat khusus yang dituntut agar keris mempunyai daya kekuatan, bukan sesaji dalam arti tkhayul tetapi sesaji hidup yakni niat dari siempunya keris untuk mau menyebar keharuman disertai dengan laku Utama. 


Laku yang umum dalam pergaulan sehari hari adalah semangat untuk menyebar ganda arum dengan "TYA MANIS KANG MANTESI" hati yang baik menjadi dasar kehidupan "RUMING WICARA KANG NERANANI" cara berbicara yang mengesankan dan tidak menyakiti orang lain 'SINEMBAH LAKU UTAMA' jadi teladan kehidupan yang baik, isi atau Isoteri seperti ini tidak saja menumbuhkan kekuatan hati yang dahsyat, tetapi juga menumbuhkan kekuatan alam yang maha hebat.


Di copy dari Tulisan sahabat saya  Anax Lanang..... 


Thursday, December 20, 2012

Upacara pasang SOKO GURU

Pasang Cuncit dan Soko Guru

Jejak Simbol dan Doa dalam Mendirikan Rumah Jawa


Di sebuah pagi yang hangat di pedesaan Jawa, suara gamelan kecil bercampur dengan tawa para tetangga yang berkumpul di halaman tanah kosong. Hari itu bukan hari biasa. Sebuah keluarga akan memulai babak baru dalam hidup mereka: mendirikan rumah. Namun, di balik derap palu dan tegaknya kayu soko guru, ada sebuah ritual sakral yang penuh doa dan simbol: upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru.

Bagi masyarakat Jawa, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah jiwa, ruang kehidupan, tempat benih-benih manusia tumbuh, dan pusat keluarga menemukan arah. Itulah sebabnya, sebelum rumah berdiri, doa-doa dipanjatkan dan simbol-simbol dipersembahkan. Semua demi harapan: semoga rumah membawa keselamatan, ketentraman, rezeki, serta kebahagiaan bagi para penghuninya.


Rumah dan Simbol, Bahasa yang Dipahami Leluhur

Budaya Jawa kaya akan simbol. Doa tidak hanya terucap lewat kata, tetapi juga melalui benda-benda sederhana yang menyimpan makna dalam. Begitu pula dalam upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru. Setiap daun, bunga, makanan, bahkan seutas kain, adalah bahasa simbolik untuk berkomunikasi dengan Tuhan, bumi, langit, dan leluhur.

Ada kendi berisi air—lambang sumber kehidupan. Ada padi dan jagung—harapan kemakmuran. Ada kain merah dan putih—simbol Ibu Pertiwi dan Bapa Angkasa. Bahkan ada paku emas yang ditancapkan di bubungan rumah, sebagai doa agar rumah berdiri gagah, berwibawa, dan membawa rasa nyaman bagi siapa pun yang bernaung di bawahnya.


Sajen dan Cok Bakal, Menghormati Asal dan Tujuan

~sajen~
Di salah satu sudut, seorang sesepuh menyiapkan sajen: pisang raja, kelapa, beras, gula kelapa, bunga telon, hingga kinangan. Semua ini melambangkan penghormatan kepada leluhur. Karena, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “urip iku ana amarga ana sing nglairaké”—hidup kita ada karena ada yang melahirkan kita.

~cok bakal~
Lalu ada cok bakal: berisi telur ayam kampung, bunga, kendi, rempah-
rempah, jenang merah-putih, hingga tumpeng kecil. Semua ini adalah persembahan untuk bumi, tempat manusia berpijak sejak lahir hingga kembali ke tanah.

Bagi masyarakat Jawa, menghormati leluhur dan bumi bukanlah hal mistis, melainkan wujud syukur. Rumah berdiri bukan hanya untuk pemiliknya, tetapi juga sebagai bagian dari harmoni semesta.


Kembang Setaman dan Air Kehidupan

Prosesi berikutnya diwarnai oleh kembang setaman: mawar merah-putih, kenanga, kantil, gadhing, daun pandan, puring serta andhong, hingga janur kuning dan bibit (dongkel) pisang raja juga telur ayam. Semua dicampur dalam air yang harum bercampur dengan beras kuning. 

Air bunga ini nanti akan dipercikkan ke kayu utama, sebagai lambang doa agar rumah membawa keselamatan, keberkahan, dan rejeki bagi seluruh penghuninya.

Di sisi lain, sebuah kendi berisi air penuh siap ditanam di bawah pondasi soko guru. Air adalah inti kehidupan. Doa pun dipanjatkan agar keluarga yang menempati rumah selalu tercukupi kebutuhan hidupnya—baik lahir maupun batin.


Rahasia di Balik Pondasi

Cangklong, Pendheman, dan Pepes Katul

Bagi mata awam, pondasi rumah hanyalah batu dan semen. Namun, bagi orang Jawa, di sanalah doa-doa paling kuat ditanamkan.

Ada cangklong, sepasang bambu berisi air putih dan air tape. Simbol agar rumah berdiri kokoh.


Ada pendheman, ikatan daun alang-alang, juwet, lo, dhadap srep, dan daun maja. Maknanya: rumah akan terasa sejuk, pemiliknya terbebas dari masalah ruwet, dan berdiri seteguh baja

.
Ada pula pepes katul—bekatul yang dipanggang dalam daun. Simbol agar rumah menjadi lentur, mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi.

Dan tentu saja, kayu dhadap srep yang ditanam terbalik. Filosofinya sederhana tapi dalam: agar hawa rumah selalu terasa segar dan adem, menentramkan siapa pun yang tinggal di dalamnya.


Padi, Jagung, dan Warna Merah-Putih

Empat penjuru soko guru kemudian dihiasi dengan gantungan padi dan jagung. Harapannya jelas: kemakmuran. Padi dan jagung adalah lambang pangan yang menjadi dasar kehidupan.

Sementara itu, kain merah ditanam bersama cok bakal, kendi, dan kayu dhadap srep sebagai lambang Ibu Pertiwi. 

Adapun kain putih membungkus pertengahan kayu bubungan (cuncit) yang di dalamnya di tanamkan paku emas, sebagai perlambang Bapa Angkasa. 

Kedua warna itu menyatukan bumi dan langit, ibu dan bapak, dalam harmoni rumah yang baru berdiri.


Ketupat, Lepet, dan Jadah adalah Tali Persaudaraan

Saat prosesi berlangsung, aroma ketupat dan lepet memenuhi udara. Keduanya melambangkan penghormatan kepada leluhur dan empat penjuru mata angin. Ketupat dengan simpulnya yang rumit adalah doa agar hati manusia tetap jernih dan terikat erat dalam persaudaraan.

Ada pula jadah, yang dibagikan kepada kerabat yang ikut bergotong royong mendirikan soko guru. Jadah yang lengket adalah simbol kebersamaan—mengikat erat hubungan antar tetangga. Sebuah pengingat bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal keluarga inti, melainkan juga bagian dari jaringan sosial yang lebih luas.


Prosesi Sakral Pecah Telur dan Langkah Sang Ibu


Momen paling ditunggu pun tiba. Sesepuh mengambil sebutir telur ayam kampung dan memecahkannya tepat di atas kayu cuncit—kayu utama bubungan rumah. Simbolik sederhana, tapi sarat makna: wes pecah ndog’e, kabul gegayuhane—telah pecah telurnya, terkabul segala cita-cita.

Lalu, sang istri pemilik rumah melangkahi kayu cuncit dengan hati-hati. Dalam filosofi Jawa, langkah itu adalah ikrar: “Anggaplah rumah ini suami keduamu. Rawat, cintai, dan jagalah ia. Jika suami pergi, tetaplah bernaung di dalam rumahmu.” Sebuah pesan tentang kesetiaan dan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga.

Setelah itu, bunga setaman dipercikkan ke kayu dan pondasi. Doa pun menggema: semoga rumah ini menjadi sumber keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan.


Paku Emas dan Dhamar sbagai Cahaya Harapan

Di titik paling tinggi rumah, sebuah paku emas ditancapkan di bubungan. Bukan sekadar penguat, melainkan simbol doa agar rumah tampak kokoh, berwibawa, dan memberi rasa nyaman.

Sementara itu, sebuah dhamar—lampu minyak kecil—dinyalakan. Cahayanya redup namun hangat, seakan berkata: “Semoga rumah ini selalu diterangi jalan terang, bebas dari kegelapan hati maupun hidup.”


Gotong Royong: Nafas Masyarakat Jawa

Semua prosesi tak akan berarti tanpa gotong royong. Di desa, mendirikan rumah bukan hanya urusan

satu keluarga, tapi urusan seluruh warga. Tetangga datang membawa tenaga, makanan, dan doa. Anak-anak berlarian, para ibu menyiapkan kenduri, sementara bapak-bapak bahu-membahu menegakkan soko guru.

Di akhir acara, seluruh warga duduk lesehan, menikmati hidangan kenduri. Ada doa bersama, lalu nasi tumpeng, ketupat, dan aneka lauk dibagikan. Tawa bercampur doa, syukur bercampur harapan.


Rumah Sebagai Doa yang Hidup

Pasang Cuncit dan Soko Guru bukan sekadar tradisi. Ia adalah wujud nyata bagaimana masyarakat Jawa memaknai rumah. Setiap kayu, setiap bunga, setiap sajian—semua adalah doa yang hidup, bersemayam di dalam pondasi, dinding, hingga atap rumah.

Di tengah modernitas yang serba cepat, upacara ini mengingatkan kita bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, melainkan pusat kehidupan, tempat doa-doa dikumpulkan, dan simbol keterhubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.

Dan tentunya setelah semua pekerjaan hari itu selesai, makan diakhiri sengan selamatan dan do'a.

Rumah boleh sederhana, tapi doa yang menyertainya akan membuatnya megah di mata semesta.


~Wonosari, Gunung Kawi 2012

Edi 'Bholor' Santoso.