Saturday, April 28, 2012

KIRAB SESAJI 1 SURO


Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi Malang, Sebuah Kisah dari Dalam Prosesi

Sebagai warga asli Desa Wonosari di lereng Gunung Kawi, Malang, setiap pergantian tahun Jawa menjadi momen yang selalu saya tunggu. Tepatnya di tanggal 1 Suro dalam kalender jawa, kami melaksanakan Kirab Sesaji, sebuah tradisi sakral yang diwariskan leluhur. Bukan sekadar upacara adat, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatukan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tahun ini, saya kembali berkesempatan terlibat langsung dalam prosesi itu, dari awal hingga akhir.


Malam Menjelang 1 Suro: Selamatan dan Doa Bersama

Sejak sore, suasana desa sudah berbeda. Angin Gunung Kawi bertiup sejuk, seolah ikut menyambut pergantian tahun Jawa. Warga mulai berdatangan ke Padepokan Eyang Joego membawa tumpeng, jenang, dan aneka jajanan tradisional. Saya ikut membantu menata makanan di tikar panjang yang sudah disiapkan.

Ketika malam tiba, prosesi selamatan malam 1 Suro pun dimulai. Para sesepuh duduk di depan, memimpin doa dengan suara tenang, memohon berkah dan keselamatan. Kami semua larut dalam khidmat. Dalam hati saya berdoa, semoga tahun baru ini membawa kedamaian bagi seluruh warga Desa Wonosari, juga bagi siapa saja yang hadir malam itu.

Selamatan bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga simbol kebersamaan. Setelah doa selesai, makanan dibagi merata. Kami duduk melingkar, saling bercengkerama sambil menikmati hidangan. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan: rasa menjadi bagian dari keluarga besar desa ini.


Pagi Hari: Persiapan Kirab

Keesokan harinya, desa kembali sibuk. Sejak pagi, para pemuda sibuk menyiapkan gunungan sesaji serta jolen, berisi hasil bumi: padi, jagung, sayuran, buah-buahan, hingga jajanan pasar. Gunungan dan jolen itu nantinya akan diarak dari terminal desa menuju Pesarean Gunung Kawi sebagai wujud syukur atas rezeki alam.

Saya bersama beberapa warga lain membantu menata barisan peserta kirab. Para penari, hingga barisan anak-anak dengan pakaian adat Jawa sudah siap. Jalan utama desa dihias janur kuning dan umbul-umbul, menambah suasana meriah sekaligus sakral.


Siang Hari: Kirab Sesaji Dimulai

Tepat setelah azan zuhur berkumandang, Kirab Sesaji 1 Suro resmi dimulai. Iring-iringan panjang bergerak dari Pelataran Terminal Desa berjalan pelan meuju Komplek Pesarean Eyang Djoego. Saya ikut berjalan sambil sesekali bergantian memikul jolen, mengikuti irama gamelan yang mengiringi langkah peserta.

Sepanjang jalan, warga dan tamu dari berbagai daerah berjejer menyaksikan. Mereka ikut larut dalam suasana. Ada yang berfoto, ada pula yang khusyuk berdoa dalam hati. Yang paling menarik perhatian selain gunungan sesaji yang Warnanya yang cerah, penuh hasil bumi, seperti melambangkan kesuburan dan keberkahan Gunung Kawi. Ada juga pada barisan terakhir para pemuda yang mengusung OGOH - OGOH atau Patung raksasa yang kami sebut sebagai SANGKALA.

Kirab berputar mengelilingi desa, berhenti sejenak di beberapa titik untuk doa. Di sinilah saya merasakan makna terdalam tradisi ini: bukan sekadar pawai budaya, melainkan penghormatan kepada alam dan leluhur yang menjaga desa kami selama ini.


Sore Hari: Prosesi Pembakaran Sangkala

Menjelang senja, tibalah puncak acara yang paling dinanti: pembakaran Sangkala. Sebuah patung raksasa besar yang melambangkan segala keburukan, marabahaya, dan energi negatif dikumpulkan di lapangan desa.

Sesepuh desa memimpin doa terakhir, lalu api dinyalakan. Perlahan, Sangkala terbakar habis. Api menjilat tinggi, asap membumbung ke langit, dan semua warga terdiam menyaksikan. Ada rasa haru yang menyelimuti hati saya.

Pembakaran Sangkala menjadi simbol bahwa segala hal buruk di tahun lalu telah sirna, terbakar bersama api, memberi ruang bagi kebaikan dan harapan baru. Bagi kami warga Wonosari, momen ini seperti pelepasan beban, sekaligus awal baru untuk hidup lebih baik.


Kenduri Bersama dan Harapan Baru

Setelah api padam, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama. Semua orang, baik warga maupun tamu, duduk berjejer menikmati hidangan. Tidak ada perbedaan, semua sama. Inilah esensi dari Kirab Sesaji 1 Suro: kebersamaan, kebersyukuran, dan doa untuk kesejahteraan bersama.

Di sela-sela kenduri, saya mendengar sesepuh desa berkata: “Kabeh iki kanggo slamet, kanggo tentreming urip, ora mung kanggo awake dhewe, nanging kanggo kabeh makhluk sing urip ana ing kene.” (Semua ini untuk keselamatan, untuk ketentraman hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua makhluk hidup di sini).

Kata-kata itu membekas di hati saya. Tradisi ini bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh elemen alam yang menopang kehidupan: gunung, hutan, sungai, bahkan angin yang berhembus di lereng Gunung Kawi.


Penutup

Mengikuti Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi – Malang bukan hanya pengalaman budaya, tetapi juga perjalanan spiritual. Dari selamatan malam, kirab siang hari, hingga pembakaran Sangkala dan kenduri bersama, semuanya memiliki makna mendalam.

Sebagai warga lokal, saya bangga menjadi bagian dari tradisi yang masih lestari hingga kini. Kirab Sesaji bukan hanya warisan leluhur, tapi juga jembatan yang menghubungkan kami dengan alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta.

Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan, datanglah ke Desa Wonosari, Gunung Kawi, setiap malam 1 Suro. Rasakan sendiri suasana sakral yang penuh makna, sekaligus hangat dalam kebersamaan.

Karena di sinilah, di kaki Gunung Kawi, kami belajar bahwa hidup adalah tentang menghargai warisan, menjaga alam, dan berjalan bersama menuju masa depan yang penuh berkah.


kirab sesaji 1 Suro Gunung Kawi Malang - JAWA TIMUR....

Tuesday, February 14, 2012

Selamat hari raya NYEPI tahun baru Çaka 1934 / 23 Maret 2012.


Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia.


Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”.

Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa.

Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi.

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1934 semoga Tuhan selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini.


Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia. Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat upacara atau kegiatan. Pertama upacara Mekiyis yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya. Kedua upacara Macaru (tawur agung) yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos. Ketiga mengamalkan Catur Brata untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh. Keempat melaksanakan Ngembak Ghni dan Dharmasanti sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini. Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa. Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini. (Sumber)

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/03/05/menyelami-lebih-dalam-makna-nyepi-dan-catur-brata/
Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia. Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat upacara atau kegiatan. Pertama upacara Mekiyis yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya. Kedua upacara Macaru (tawur agung) yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos. Ketiga mengamalkan Catur Brata untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh. Keempat melaksanakan Ngembak Ghni dan Dharmasanti sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini. Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa. Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini. (Sumber)

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/03/05/menyelami-lebih-dalam-makna-nyepi-dan-catur-brata/

Saturday, February 11, 2012

KEANEKARAGAMAN budaya Jawa yang sering dinilai syirik

KEANEKARAGAMAN budaya Jawa sering dinilai syirik. 

 Sebagian kalangan menganggap penilaian ini membabi buta, karena sebetulnya banyak yang bisa diluruskan. Kandungan nilai yang bisa diurai secara ilmiah, sangat besar. Termasuk di dalamnya urusan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

"Mestinya kita bisa memahami dari sisi tanggap ing sasmita, tanggap sasmitaning zaman, karena semua konsep budaya itu, bernilai dan bermakna sangat dalam. Bukan sekadar vonis syirik semata," kata Prof Dr Sugiyarto MSi, saat pengukuhan sebagai guru besar UNS ke 146.

Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu Biologi MIPA. Namun demikian, keseriusannya mengamati keanekaragaman budaya Jawa, menjadikannya banyak mengupas berbagai fenomena budaya yang selama ini muncul di masyarakat.

Rektor Prof Ravik Karsidi sempat memuji hal ini. Sebab sedikit ilmuwan yang memiliki komitmen pada budaya. Apalagi ini justru datang dari ilmuwan yang berlatar belakang bidang MIPA, khususnya Biologi. "Banyak yang bertanya, Pak Giyarto ini sebetulnya guru besar bidang budaya apa biologi? Tapi inilah uniknya ilmu pengetahuan. Sisi manapun bisa ditelaah dari sisi keilmuan," kata dia.

Lebih uniknya, profesor yang memilih disebut Profesor Ndesa, karena tinggal di lereng Merapi, Desa Kadilaju, Klaten itu ternyata pencipta lagu keroncong. Sudah 70 lagu diciptakan. "Saya menunggu, kapan diberi kaset rekaman lagu-lagunya. Saya kira ini menarik karena Prof Giyarto menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara bagus," katanya.

Dalam pidatonya, Bapak berputra delapan ini mencontohkan adalah berbagai upacara tradisi yang digelar di berbagai daerah. Setiap upacara baik perkawinan, kehamilan, tingkeban, kelahiran, sunatan, sampai kematian, membutuhkan ubarampe berbeda-beda. Semua berkaitan dengan keanekaragaman hayati.

Perlambang

Kalau disikapi secara syirik, tentu karena setiap ubarampe itu mengandung makna dan perlambang kekuatan atau permohonan. Namun dari sisi ilmiah, sebetulya menunjukkan upaya mengenalkan, mensifati, menilai, dan menjaga eksistenti serta melestarikan biodiversitas itu. Baik spesies hewan, varietas tanaman, kultivar, dan galur.

"Ada lagi pranata mangsa yang mengatur tata tanam, sabuk gunung yang mempraktekkan terasering, pengelolaan pekarangan rumah dengan sistem agroforestri, yang oleh pujangga Ranggawarsita sudah dibuat tembangnya," kata dia yang lahir 30 April 1967 ini.

Wis tiba mangsa labuh, wus wayahe padha ulur jagung, kanggo jagan sadurunge panen pari, prayogane uga nandur, mbayung bayem lombok terong. Itu salah satu bait tembang karangan Ranggawarsita yang menawarkan sistem tanam padi, padi, palawija.

"Sayang, tuntutan produksi menjadikan petani kita tidak lagi mengindahkan soal itu. Mereka pedomannya menanam padi, pari, pantun. Tiga mangsa tani itu, harus ditanami padi untuk menggenjot produksi. Akibatnya tanah rusak, struktur tanah hancur karena dipaksa. Tanaman memunculkan hama tanaman yang mendapatka lahan berkembang," tandasnya.

Ada lagi tradisi jejamu atau meminum jamu yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Itupun secara ilmiah sebetulnya mendorong orang jawa melestarikan konservasi biodiversitas sanat luar biasa. Indonesia dikenal memiliki ragam tanaman obat yang sangat besar.

Juga pekaliran pewayangan yang selalu diawali dengan adegan tancep kayon (gunungan) dan diakhiri dengan tancep kayon lagi. Bahkan di sela-sela adegan, selalu dimainkan gunungan itu. Artinya, manusia hidup di alam, dan dibatasi dengan adanya alam raya yang harus dilestarikan. Termasuk pelestarian Kiai Slamet, kebo bule yang dirawat dengan baik oleh Keraton.

Kalau dimaknai syirik, mistik, hanya akan berhenti sampai di situ saja. Namun jika dimaknai pendekatan nalar, sebetulnya kawasan Surakarta ini adalah kawasan agraris, pertanian. "Lambang kebo bule itu mendorong pelestarian hewan yang berguna untuk menggarap ladang. Sayang manusia terlalu sombong dengan menggantikan kerbau dengan mesin, sehingga biodiversitas makin habis dan tidak dimaknai," kata dia.

Saturday, February 4, 2012

Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H.

Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW......

Turut berbahagia dan mengucapkan :
SELAMAT MAULID NABI MUHAMMAD SAW. 1433 H / 04 Feb 2012.

Suri tauladan yang sempurna bagi sekalian umat Islam...
Pembawa cahaya penerang bagi seru alam..
Pemberi syafaat untuk sekalian umat yang beriman...
Rasulullooh akhir zaman......

Allaahumma shalli wa sallim wa barik 'alaa Sayidina Muhammad,...
Wa 'alaa aali, Wa ashaabihi, wa azwajihi, wa dzuriyyatihi, wa ahli baitihi, wabarik wasallim ajma’iin.......

Tuesday, January 31, 2012

Travel Blog Taiwan, Menyusuri Keindahan Gunung Hen Hua San Bersalju

Petualangan di Gunung Hen Hua San, Taiwan

Ada sebuah perjalanan yang selalu lekat dalam ingatan saya—perjalanan ke Gunung Hen Hua San di Kawasan Taman Nasional Taroko, Taiwan, ketika bumi sedang berselimut putih dan udara penuh dengan butiran salju yang jatuh pelan. Kami bersembilan waktu itu, rombongan kecil yang berangkat bukan hanya untuk liburan, tetapi juga untuk mencari pengalaman yang mungkin tidak akan datang dua kali.


Awal Perjalanan

Pagi itu, udara Sinchu terasa menusuk, dan kabar dari teman-teman membuat hati kami semakin bersemangat: “Di Hen Hua San sedang turun salju.” Bagi sebagian besar dari kami yang tinggal di daerah tropis, salju hanyalah cerita di film, foto di kartu pos, atau bayangan dingin di kepala. Kini, kami punya kesempatan untuk merasakannya langsung.

Mini Bus yang kami tumpangi melaju menembus jalanan berliku menuju pegunungan. Dari kaca jendela, perlahan pemandangan berubah: pepohonan yang semula hijau mulai tertutup putih tipis, atap rumah desa diselimuti bintik-bintik es, dan udara semakin berkabut. Di dalam bus, kami semua sibuk bersorak, menunjuk ke luar jendela, seperti anak-anak yang baru saja menemukan dunia baru.


Jejak Pertama di Salju

Setiba di Hen Hua San, kami berhamburan keluar. Embusan angin dingin langsung menyergap, menusuk hingga ke tulang. Tapi kegembiraan mengalahkan rasa menggigil. Salju turun dengan lembut, menempel di rambut, jaket, dan sarung tangan.

Salah satu dari kami, yang paling usil, segera membungkuk dan mengepalkan segenggam salju pertama. Tidak perlu menunggu lama, bola salju itu melayang, tepat mengenai bahu seorang teman. Tawa meledak. Seperti tak ada yang bisa menahan diri, kami pun saling lempar bola salju, berlari kecil di jalur pegunungan, hingga napas terengah dan wajah memerah karena udara dingin bercampur tawa.


Hen Hua San dan Cerita Lokal

Di sela-sela perjalanan, pemandu kami bercerita. Nama “Hen Hua San” memiliki makna puitis dalam bahasa Mandarin—sering diterjemahkan sebagai “Gunung Bunga yang Indah.” Konon, di musim semi, lerengnya dipenuhi bunga liar berwarna-warni, seolah gunung diselimuti karpet alami. Namun di musim dingin, gunung ini berubah wajah: bukan lagi bunga, melainkan salju yang menutupinya, tetap indah dengan caranya sendiri.

Ada pula cerita rakyat yang menyebut bahwa roh penjaga gunung tinggal di hutan pinus. Roh ini dipercaya menjaga keseimbangan alam, sehingga para pendaki sering diminta untuk tidak berisik atau merusak pepohonan. Mendengar itu, kami jadi semakin hati-hati, menapaki jalur dengan rasa hormat. Rasanya seolah kami sedang berjalan di halaman rumah seorang kawan yang sedang menjamu.


Menyusuri Jalur Pegunungan

Hen Hua San memang indah. Jalurnya yang melintasi pepohonan pinus tampak magis ketika tertutup salju. Dahan-dahan menjuntai, seakan menunduk memberi salam kepada setiap pejalan. Langkah kaki kami meninggalkan jejak di tanah putih, derapnya berirama dengan suara alam yang hening.

Kadang kami berhenti, hanya untuk menengadah, menatap butiran salju yang turun perlahan dari langit abu-abu. Rasanya seperti sedang berada dalam dunia lain, dunia yang hanya ada dalam dongeng.

Di sebuah titik, pemandangan terbuka. Dari ketinggian, terlihat hamparan pegunungan menjauh, berlapis-lapis, diselimuti putih bersih. Kami berdiri di sana lama sekali, nyaris tanpa kata, hanya saling menatap dan tersenyum. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan: perasaan kecil di hadapan semesta, tapi sekaligus bahagia karena bisa merasakan momen bersama.


Hangatnya Kebersamaan

Dingin yang menggigit membuat kami akhirnya mencari tempat berteduh. Ada sebuah kedai kecil di dekat jalur wisata, dengan jendela berembun dan pintu kayu sederhana. Begitu masuk, aroma sup panas dan teh jahe menyeruak. Kami langsung duduk, menghangatkan tangan di dekat mangkuk dan cangkir yang mengepul.

Pemilik kedai, seorang wanita tua dengan senyum ramah, sempat bercerita bahwa salju di Hen Hua San tak selalu datang tiap tahun. Kadang hanya sebentar, kadang tebal dan bertahan lama. “Kalian beruntung,” katanya, “hari ini gunung sedang murah hati.”

Di meja kayu itu, kami bercengkerama. Ada yang bercerita tentang pengalaman pertamanya melihat salju, ada yang sibuk merekam video, ada pula yang hanya diam, menikmati rasa syukur bisa hadir di tempat itu. Gelak tawa kembali pecah, menyingkirkan rasa dingin yang membekap.


Penutup Perjalanan

Hari mulai beranjak sore. Salju masih turun, meski tidak selebat sebelumnya. Kami kembali menuju bus dengan langkah pelan, seolah enggan meninggalkan suasana magis di Hen Hua San. Sesekali saya menoleh ke belakang, melihat jejak kaki yang mulai samar tertutup salju baru.

Di perjalanan pulang, suasana hening. Bukan karena lelah, tapi karena masing-masing larut dalam pikirannya. Saya tahu, di hati kami tersimpan rasa yang sama: rasa syukur, rasa kagum, dan rasa ingin suatu hari kembali lagi.

Gunung Hen Hua San telah memberi kami hadiah: pengalaman sekali seumur hidup, ketika dunia putih menyelimuti bumi, budaya lokal hadir dalam cerita, dan sembilan orang sederhana merayakan kebersamaan dalam pelukan salju. Liburan yang mengesankan....




Kebersamaan yang akan selalu menjadi kenangan sepanjang HAYAT.....
TAROKO National Park - Hua Lien, Taiwan.

Melihat sifat KERIS

Di petik dari buku " DAYA GAIB KERIS PUSAKA" oleh S. LUMINTU th. 1996 - Yogyakarta.

Melihat sifat Keris bisa kita ketahui ari rancang bangun bilahnya. Dalam buku 'SERAT PANITI KADGA' terbitan tahun 1929 terdapat 4 cara untuk melihat sifat Keris berdasarkan panjang & lebar bilah, menurut ajaran Sunan Bonang sebagaimana di tuturkan kepada Mpu Suro.

A. CARA PERTAMA
Tentukan lebar wilah pada titik 2/3 panjang keris (tidak termasuk pesi). Dari lebar inilah kita hitung panjang wiilah mulai gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan kita bagi 8, sisa berapa.
Jika tersisa :
1. NAGA RETNA SAMPURNA, berwatak baik untuk pembesar, jika digunakan untuk berperang selamat.
2. SURO CONDRO RETNO, berwatak baik. Cocok untuk petani dan pedagang.
3. JATI KUMBA MAHA LABA, berwatak baik. Cocok untuk orang yang mengabdi.
4. RANGGA JANUR, berwatak jelek. Jika digunakan untuk mengabdi akan mendapat gangguan, jika di simpan di dalam rumah PANAS dan menghalau kebaikan.
5. ARJUNA SURAPATI, berwatak baik. membawa kewibawaan, banyak mendapat keluhuran dan rizky.
6 . BIMA SAWER, berwatak sangat jelek. ringan tangan dan tidak dapat di andalkan. Sering menemui halangan dan boros rejekinya.
7. DHESTIRA MADIYEM artinya RATU PINANDHITA (Rajanya para Pendeta) berwatak sangat baik, banyak keberuntungannya.
8. SADEWA BINENDON, berwatak jelek. melarat sering sakit. Keluarga sering kena perkara, untuk berdagang mandatangkan kerugian.


B. CARA KEDUA
Tentukan lebar wilah pada titik pertengahan pajang keris(tidak termasuk pesi). Dari lebar tersebut kita hitung panjang wilah dari gonjo sampai ujung. Jumlah hitungan di bagi 8, sisa berapa. jika tersisa :
1. SRI RETNAKUMALA, wataknya mempermudah jalanya harta benda.
2. JATI TAKIR, wataknya memperkaya perhitungan.
3. BIMA RAJEK WESI, watakmya kokoh, kuat & Sentosa.
4. KUDA MICARA, wataknya senang berperkara.
5. SATRIYA LEDHANG, wataknya senang keluyuran & bermain - main.
6. REJUNA RANGSANG, wataknya brangasan & gampang marah.
7. SRI NATA JURIT, Wataknya suka bertengkar.
8. MAKAN TUAN, wataknya sering melukai pemiliknya.


C. CARA KETIGA
Disebutkan dalam serat Cehthini jilid I pupuh 25, bahwa pedoman untuk membuat keris dimulai dengan mengukur panjang GONJO, kemudian bilah keris di ukur berapa kali panjang gonjo.
Pengukuran dimulai dari pangkal bilah (tidak termasuk pesi) sampai ujung bilah, dengan hitungan : 
CAKRA - GUNDHALA - GUNUNG - GUNTUR - SEGARA - MADU

hitungan yang baik jika jatuh pada Gunung, Segara, Madu.
Jika pengukuranya di balik dari ujung ke pangkal bilah, yang terbaik jatuh pada Gunung.


D. CARA KE EMPAT.
mengukur bilah dengan JEMPOL IBU JARI, dengan hitungan :

UMBAK - AMBA KARANA - SAMBER NYAWA - SRI LUNGO.  atau
GEDHONG - BRAMA - KALA - PITENAH.

Yang baik jatuh pada hitungan Umbak / Gedhong.

Nuwun.
Sinchu - Taiwan
Minggu Legi, 21 Agustus 2011
21 Pasa 1944 Tahun BE Windu KUNTARA
21 Ramadhan 1432H.














Monday, January 30, 2012

Wong NDESO....

Ada suatu dialog antara anak dengan bapak seorang petani :
... ” le suk nek wes gedhe arep dadi opo ?
” dados Bupati pak !”
” trus sing arep ngarit sopo ? sing makani sapimu sopo, sawah kae arep dikapake suk nek bapak lan mbokmu mati ?”


Sang anak tercenung …. menjadi sebuah pilihan sulit. Di satu sisi ingin menunjukan ekstensinya bahwa dirinya tidak hanya dianggap bisa sekedar ngarit thok, angon wedhus, opo mung nyekeli pacul, di sisi lain juga berpikir nasib tanah yang kelak mau diapakan, apakah akan dijual pada cukong dan juragan dan tak lama lagi tanah akan berdiri megah sebuah istana, sawah hanya tinggal kenangan. Dhuh biyung ! Namun petani juga tak risau jika kelak anaknya jadi tentara, pegawe negeri, pejabat, pilot, yang penting jadi orang berguna bagi bangsa dan negara, migunani kanggo wong akeh, asal jangan jadi koruptor. Namun tak sedikit pula anak-anaknya yang masih setia meneruskan tradisi bapaknya, beberapa yang saya kenal seperti Mbah Gimun yang setia menjadi tukang ngarit, bahkan dengan penuh guyonan orang orang menyebutnya urip matine mung cuman ngarit. “Lha piye nek ora ngarit ora iso mangan je”

Ya memang kehidupan pedesaan hanya ada nyangkul dan nyangkul, ngarit dan ngarit. Irama kehidupan ini turun temurun sejak jaman dahulu kala. Mereka hidup dalam kesederhanaan, nrimo ing pandum, menerima segala sesuatu seperti apa adanya, tidak ditambah, tidak dikurangi. Penerimaan yang cukup sederhana ini menjadi sebuah perenungan mendalam dalam jiwa saya yang sudah terkontaminasi budaya kota, yang serba cepat, grusa-grusu. Stress adalah merupakan penyakit orang kota, bukannya orang tidak desa tidak bisa stress. Semua orang bisa stress, termasuk anda anda juga, namun stressnya orang kota berbeda dengan orang desa.

Hidup di desa memang sangat berbeda dengan di kota, hidup di kota kalo tidak bisa menyesuaikan diri akan tersingkir dari persaingan, siapa cepat dia dapat, siapa kalah dia celaka. Jangan harap pertolongan tonggo teparo. Saya pernah hidup di beberapa kota besar macam surabaya, jakarta dan batam (Dan sekarang Taiwan, heee….) depan rumah saja tidak kenal, saya kerja dari pagi hingga malam, minggu pun pasti ada acara lain. Demikian pula dengan tetangga ketemu dengan mereka palingan di jalan itupun juga cuwek. Berbeda dengan di desa, begitu anda dapat celaka, tetangga akan cepat membantu tanpa pamrih. Ini ciri khas bangsa kita yang masih dipelihara oleh warga desa.

Dewasa ini terutama daerah perkotaan, masalah belum tentu diselesaikan dengan kekeluargaan, jika ada masalah sedikit lapor polisi dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan orang lain. Kasus demi kasus bermuara pada permusuhan dan perkelahian, pergeseran sifat dari kekeluarga ke kecuekan merupakan hal yang susah dicari benang merahnya. Tuntutan ekonomi yang tinggi, beban pekerjaan terutama jam kantor yang panjang, tugas luar, macet di jalan merupakan masalah yang sampai kini justu semakin memburuk. Mereka sibuk mencari suatu yang instan, yang bisa memuaskan diri tanpa bersusah payah, yang penting : BAYAR ! uang menjadi senjata paling ampuh di dunia perkotaan, mau makan gratis kalo tidak ditraktir teman susah mendapatkan.

Orang kota semakin hari semakin pelit alias medit, sekarang bertamu saja hanya dikasih aqua atau air bening ( bukan air putih ). Air bening memang menyehatkan tetapi belum tentu menyehatkan sikap kekeluargaan. Orang menjadi malas berkunjung karena takut hanya disuguh air bening saja. Jika berkunjung ke desa, malah tak pernah mendapatkan air bening, semua airnya berwarna, anda akan mendapatkan air bening jika meminta dan itupun belum tentu ada kecuali yang mentah. Anda malah akan disuguh dengan hasil panen seperti ketela, pisang, salak, rambutan dan lain lain. Padahal itu saya lakukan sekedar numpang lewat, belum tentu kenal. Itulah sikap wong ndeso yang masih dipelihara, mereka akan menerima tamu siapa saja. Itulah sifat yang menjadi terbalik, jika anda bertamu di kota anda akan susah mendapatkan teh atau kopi jika tidak meminta, itupun jika ada, kalaupun ada yang punya rumah masih berkelit dengan alasan ekonomi, sebaliknya di desa anda akan kesulitan jika meminta air bening, adanya teh atau kopi. Bagi wong desa, tamu adalah orang yang kudu dihormati tidak perduli dia statusnya apa, tidak cukup dihargai dengan segelas air bening atau aqua gelasan, dalam budaya jawa itu sama saja dengan melecehkan tamu. Ora sopan menehi tamu banyu bening ! Sebaliknya orang kota menyuguhkan teh atau kopi pada tamu tak diundang merupakan pemborosan. Cukup air saja cing ! irit, instan, air mentah sekalian dan semoga tamu segera kabur.... :D

Menjadi wong ndeso bukan merupakan suatu kemunduran, kesederhanaan mereka akan menular pada kita, saya pun mengalami perubahan pribadi yang lumayan berubah setelah mengalami interaksi dengan penduduk desa seperti Pak katiman, Pak gimun, Mas tukijan, dan lain lain. Hidup itu sebuah penerimaan, bahwa anugerah dari Tuhan tidak akan pernah berhenti jika setiap orang mensyukuri, kita ini manusia serakah, diberi pasti merasa kurang, bahasa saya sih biasa menyebut : gratis njaluk apik atau murah njaluk sak karepmu. Hanya tingkat keserakahan masing-masing individu yang membedakan tingkat kesyukuran. Kalo yang bisa bersyukur secara positif alias tingkat keserakahannya rendah palingan doanya seperti ini ” Terima kasih Tuhan, walau Kau beri sedikit, aku akan berusaha lebih baik lagi”, namun kalo yang tingkat serakahnya besar palingan doanya juga pake ngancam segala “Tuhan, mengapa Engkau begitu kejam memberi aku hanya segini tidak sebanding dengan apa yang telah kukorbankan “.lha iya khan...?? "Malah wani marang gusti ALLAH…!!".

Wong ndeso memang damai dan ceria, mangan ora mangan kumpul. Alur kehidupannya tidak grusa-grusu layaknya orang kota yang selalu dikejar waktu, diajak rapat RT saja susahnya minta ampun dengan seribu sejuta alasan yang dibuat-buat, tapi kalo diajak DUGEM... Langsung iyoooo... opo maneh korupsi akan cepat bertindak menyembu-nyikan bukti, I t’s okay !

Boro-boro diajak rapat RT, lha wong ronda malam saja nggak mau, dah bayar aja satpam, kita-kita ini nyari duit. Gitu kira kiranya. iyo po ra ?

Kembali ke desa adalah kembali ke khitah kita sebagai manusia, kembali ke desa adalah kembali ke alam, kembali kepada air yang merupakan sumber kehidupan.

Watak orang kota yang keras dan serba ingin cepat bertemu dengan wong ndeso yang sederhana, bahkan malah punya kesan, alon alon asal klakon. Sikap sederhana, nrimo ing pandum, ngajeni marang sing tuwo, mangan sak onone, semua itu ternyata ampuh untuk mengubah warga kota, terutama bagi mereka yang pernah mengikuti outbond. Perubahan sikap anak-anak sekolah yang ikut dalam outbond diakui para guru-guru pembimbing. Dari sikap sok sembarangan menjadi kalem dan tertib, yang suka buang sampah sembarangan sekarang membuang sampah pada tempatnya. Yang suka rewel sarapan sekarang mau sarapan tanpa protes, mereka belajar pada wong ndeso, belajar pada budaya desa, belajar hidup sederhana, belajar menghargai sesama lewat ekplorasi edukasi berbasis alam dan budaya ala wong ndeso.

Dadi kangen marang Ndesoku..
*** Sekedar renungan, kenapa harus malu menjadi WONG NDESO…..???