Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi Malang, Sebuah Kisah dari Dalam Prosesi
Sebagai warga asli Desa Wonosari di lereng Gunung Kawi, Malang, setiap pergantian tahun Jawa menjadi momen yang selalu saya tunggu. Tepatnya di tanggal 1 Suro dalam kalender jawa, kami melaksanakan Kirab Sesaji, sebuah tradisi sakral yang diwariskan leluhur. Bukan sekadar upacara adat, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatukan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tahun ini, saya kembali berkesempatan terlibat langsung dalam prosesi itu, dari awal hingga akhir.
Malam Menjelang 1 Suro: Selamatan dan Doa Bersama
Sejak sore, suasana desa sudah berbeda. Angin Gunung Kawi bertiup sejuk, seolah ikut menyambut pergantian tahun Jawa. Warga mulai berdatangan ke Padepokan Eyang Joego membawa tumpeng, jenang, dan aneka jajanan tradisional. Saya ikut membantu menata makanan di tikar panjang yang sudah disiapkan.
Ketika malam tiba, prosesi selamatan malam 1 Suro pun dimulai. Para sesepuh duduk di depan, memimpin doa dengan suara tenang, memohon berkah dan keselamatan. Kami semua larut dalam khidmat. Dalam hati saya berdoa, semoga tahun baru ini membawa kedamaian bagi seluruh warga Desa Wonosari, juga bagi siapa saja yang hadir malam itu.
Selamatan bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga simbol kebersamaan. Setelah doa selesai, makanan dibagi merata. Kami duduk melingkar, saling bercengkerama sambil menikmati hidangan. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan: rasa menjadi bagian dari keluarga besar desa ini.
Pagi Hari: Persiapan Kirab
Keesokan harinya, desa kembali sibuk. Sejak pagi, para pemuda sibuk menyiapkan gunungan sesaji serta jolen, berisi hasil bumi: padi, jagung, sayuran, buah-buahan, hingga jajanan pasar. Gunungan dan jolen itu nantinya akan diarak dari terminal desa menuju Pesarean Gunung Kawi sebagai wujud syukur atas rezeki alam.
Saya bersama beberapa warga lain membantu menata barisan peserta kirab. Para penari, hingga barisan anak-anak dengan pakaian adat Jawa sudah siap. Jalan utama desa dihias janur kuning dan umbul-umbul, menambah suasana meriah sekaligus sakral.
Siang Hari: Kirab Sesaji Dimulai
Tepat setelah azan zuhur berkumandang, Kirab Sesaji 1 Suro resmi dimulai. Iring-iringan panjang bergerak dari Pelataran Terminal Desa berjalan pelan meuju Komplek Pesarean Eyang Djoego. Saya ikut berjalan sambil sesekali bergantian memikul jolen, mengikuti irama gamelan yang mengiringi langkah peserta.
Sepanjang jalan, warga dan tamu dari berbagai daerah berjejer menyaksikan. Mereka ikut larut dalam suasana. Ada yang berfoto, ada pula yang khusyuk berdoa dalam hati. Yang paling menarik perhatian selain gunungan sesaji yang Warnanya yang cerah, penuh hasil bumi, seperti melambangkan kesuburan dan keberkahan Gunung Kawi. Ada juga pada barisan terakhir para pemuda yang mengusung OGOH - OGOH atau Patung raksasa yang kami sebut sebagai SANGKALA.
Kirab berputar mengelilingi desa, berhenti sejenak di beberapa titik untuk doa. Di sinilah saya merasakan makna terdalam tradisi ini: bukan sekadar pawai budaya, melainkan penghormatan kepada alam dan leluhur yang menjaga desa kami selama ini.
Sore Hari: Prosesi Pembakaran Sangkala
Menjelang senja, tibalah puncak acara yang paling dinanti: pembakaran Sangkala. Sebuah patung raksasa besar yang melambangkan segala keburukan, marabahaya, dan energi negatif dikumpulkan di lapangan desa.
Sesepuh desa memimpin doa terakhir, lalu api dinyalakan. Perlahan, Sangkala terbakar habis. Api menjilat tinggi, asap membumbung ke langit, dan semua warga terdiam menyaksikan. Ada rasa haru yang menyelimuti hati saya.
Pembakaran Sangkala menjadi simbol bahwa segala hal buruk di tahun lalu telah sirna, terbakar bersama api, memberi ruang bagi kebaikan dan harapan baru. Bagi kami warga Wonosari, momen ini seperti pelepasan beban, sekaligus awal baru untuk hidup lebih baik.
Kenduri Bersama dan Harapan Baru
Setelah api padam, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama. Semua orang, baik warga maupun tamu, duduk berjejer menikmati hidangan. Tidak ada perbedaan, semua sama. Inilah esensi dari Kirab Sesaji 1 Suro: kebersamaan, kebersyukuran, dan doa untuk kesejahteraan bersama.
Di sela-sela kenduri, saya mendengar sesepuh desa berkata: “Kabeh iki kanggo slamet, kanggo tentreming urip, ora mung kanggo awake dhewe, nanging kanggo kabeh makhluk sing urip ana ing kene.” (Semua ini untuk keselamatan, untuk ketentraman hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua makhluk hidup di sini).
Kata-kata itu membekas di hati saya. Tradisi ini bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh elemen alam yang menopang kehidupan: gunung, hutan, sungai, bahkan angin yang berhembus di lereng Gunung Kawi.
Penutup
Mengikuti Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi – Malang bukan hanya pengalaman budaya, tetapi juga perjalanan spiritual. Dari selamatan malam, kirab siang hari, hingga pembakaran Sangkala dan kenduri bersama, semuanya memiliki makna mendalam.
Sebagai warga lokal, saya bangga menjadi bagian dari tradisi yang masih lestari hingga kini. Kirab Sesaji bukan hanya warisan leluhur, tapi juga jembatan yang menghubungkan kami dengan alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta.
Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan, datanglah ke Desa Wonosari, Gunung Kawi, setiap malam 1 Suro. Rasakan sendiri suasana sakral yang penuh makna, sekaligus hangat dalam kebersamaan.
Karena di sinilah, di kaki Gunung Kawi, kami belajar bahwa hidup adalah tentang menghargai warisan, menjaga alam, dan berjalan bersama menuju masa depan yang penuh berkah.



.png)
.png)







