Friday, December 21, 2012

Prespektif tentang TUAH sebuah PUSAKA




Membahas tentang ISOTERI atau yang biasa kita sebut dengan TUAH atau juga daya / kekuatan sebilah Tosan Aji sangat bergantung dari persepsi serta pola fikir dari tiap individu. Ada ulasan yang sangat menarik dan cocok dengan pendapat saya tentang ISOTERI Pusaka oleh sahabat saya, silahkan di simak serta di nikmati...


Mungkin ada perbedaan paradigma antara anda dan Kudi Mas Banjarnegara tentang Pemahaman Isoteri dalam sebuah Tosan Aji 

Bahwa isi atau Isoteri dalam sebilah keris adalah wewarah dan piwulang yang tercantum dalam sebilah keris, karena keris merupakan sebuah manifestasi dari sebuah wewarah tentang kehidupan, juga disebut ilmu hidup artinya keris merupakan sebuah arahan sejati sebagai manusia yang utuh, tangguh serta sepuh. 


Secara ilmiah isi keris merupakan manifestasi do'a yang dilantunkan para Empu sejalan dengan permintaan pemesan, do'a itu diamalkan dengan mati raga, puasa, membersihkan diri, bahkan tidak berbicara selama membuat keris ( tapa bisu ), memang aneh menempa keris tanpa berkomunikasi lantas bagaimana komunikasi dengan panjak atau pembantunya, Komunikasi dengan panjak dilakukan dengan bunyi palu yang dipegang Empu selama membuat keris, empu seolah bertapa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar do'anya dikabulkan dan diberi daya kekuatan yang berujud bilah, perwujudan do'a itu tergores dalam pomor yang muncul, dapur atau model dari keris yang dibentuk. Meskipun bentuk keris merupakan pesanan pemesan, tetapi hal tersebut sudah diselaraskan dengan naptu atau tanggal kelahiran pemesan yang dihitung secara cermat oleh Sang Empu , oleh empu do'a itu diwujudkan dalam bentuk pamor yang tergurat indah, misalnya keris Jangkung dengan pamor Udan Mas yang mempunyai harapan agar siempunya keris mendapatkan perlindungan sekaligus mendapatkan rejeki yang berlimpah. 


Atau contoh lain Keris dapur Jangkung Mangkunagoro artinya si empunya keris diharapkan mampu atau kuat mengemban tugas sebagai Pemimpin Kerajaan atau Negara dengan Lindungan ( jinangkungan ) Tuhan YME. 


Kalau keris bertuah seperti itu dikoleksi masa sekarang tentu ada tuntutan terhadap kolektor yakni perilaku penyimpanan apakah selaras dengan laku yang diharapkan ketika keris dibuat, ada syarat khusus yang dituntut agar keris mempunyai daya kekuatan, bukan sesaji dalam arti tkhayul tetapi sesaji hidup yakni niat dari siempunya keris untuk mau menyebar keharuman disertai dengan laku Utama. 


Laku yang umum dalam pergaulan sehari hari adalah semangat untuk menyebar ganda arum dengan "TYA MANIS KANG MANTESI" hati yang baik menjadi dasar kehidupan "RUMING WICARA KANG NERANANI" cara berbicara yang mengesankan dan tidak menyakiti orang lain 'SINEMBAH LAKU UTAMA' jadi teladan kehidupan yang baik, isi atau Isoteri seperti ini tidak saja menumbuhkan kekuatan hati yang dahsyat, tetapi juga menumbuhkan kekuatan alam yang maha hebat.


Di copy dari Tulisan sahabat saya  Anax Lanang..... 


Thursday, December 20, 2012

Upacara pasang SOKO GURU

Pasang Cuncit dan Soko Guru

Jejak Simbol dan Doa dalam Mendirikan Rumah Jawa


Di sebuah pagi yang hangat di pedesaan Jawa, suara gamelan kecil bercampur dengan tawa para tetangga yang berkumpul di halaman tanah kosong. Hari itu bukan hari biasa. Sebuah keluarga akan memulai babak baru dalam hidup mereka: mendirikan rumah. Namun, di balik derap palu dan tegaknya kayu soko guru, ada sebuah ritual sakral yang penuh doa dan simbol: upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru.

Bagi masyarakat Jawa, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah jiwa, ruang kehidupan, tempat benih-benih manusia tumbuh, dan pusat keluarga menemukan arah. Itulah sebabnya, sebelum rumah berdiri, doa-doa dipanjatkan dan simbol-simbol dipersembahkan. Semua demi harapan: semoga rumah membawa keselamatan, ketentraman, rezeki, serta kebahagiaan bagi para penghuninya.


Rumah dan Simbol, Bahasa yang Dipahami Leluhur

Budaya Jawa kaya akan simbol. Doa tidak hanya terucap lewat kata, tetapi juga melalui benda-benda sederhana yang menyimpan makna dalam. Begitu pula dalam upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru. Setiap daun, bunga, makanan, bahkan seutas kain, adalah bahasa simbolik untuk berkomunikasi dengan Tuhan, bumi, langit, dan leluhur.

Ada kendi berisi air—lambang sumber kehidupan. Ada padi dan jagung—harapan kemakmuran. Ada kain merah dan putih—simbol Ibu Pertiwi dan Bapa Angkasa. Bahkan ada paku emas yang ditancapkan di bubungan rumah, sebagai doa agar rumah berdiri gagah, berwibawa, dan membawa rasa nyaman bagi siapa pun yang bernaung di bawahnya.


Sajen dan Cok Bakal, Menghormati Asal dan Tujuan

~sajen~
Di salah satu sudut, seorang sesepuh menyiapkan sajen: pisang raja, kelapa, beras, gula kelapa, bunga telon, hingga kinangan. Semua ini melambangkan penghormatan kepada leluhur. Karena, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “urip iku ana amarga ana sing nglairaké”—hidup kita ada karena ada yang melahirkan kita.

~cok bakal~
Lalu ada cok bakal: berisi telur ayam kampung, bunga, kendi, rempah-
rempah, jenang merah-putih, hingga tumpeng kecil. Semua ini adalah persembahan untuk bumi, tempat manusia berpijak sejak lahir hingga kembali ke tanah.

Bagi masyarakat Jawa, menghormati leluhur dan bumi bukanlah hal mistis, melainkan wujud syukur. Rumah berdiri bukan hanya untuk pemiliknya, tetapi juga sebagai bagian dari harmoni semesta.


Kembang Setaman dan Air Kehidupan

Prosesi berikutnya diwarnai oleh kembang setaman: mawar merah-putih, kenanga, kantil, gadhing, daun pandan, puring serta andhong, hingga janur kuning dan bibit (dongkel) pisang raja juga telur ayam. Semua dicampur dalam air yang harum bercampur dengan beras kuning. 

Air bunga ini nanti akan dipercikkan ke kayu utama, sebagai lambang doa agar rumah membawa keselamatan, keberkahan, dan rejeki bagi seluruh penghuninya.

Di sisi lain, sebuah kendi berisi air penuh siap ditanam di bawah pondasi soko guru. Air adalah inti kehidupan. Doa pun dipanjatkan agar keluarga yang menempati rumah selalu tercukupi kebutuhan hidupnya—baik lahir maupun batin.


Rahasia di Balik Pondasi

Cangklong, Pendheman, dan Pepes Katul

Bagi mata awam, pondasi rumah hanyalah batu dan semen. Namun, bagi orang Jawa, di sanalah doa-doa paling kuat ditanamkan.

Ada cangklong, sepasang bambu berisi air putih dan air tape. Simbol agar rumah berdiri kokoh.


Ada pendheman, ikatan daun alang-alang, juwet, lo, dhadap srep, dan daun maja. Maknanya: rumah akan terasa sejuk, pemiliknya terbebas dari masalah ruwet, dan berdiri seteguh baja

.
Ada pula pepes katul—bekatul yang dipanggang dalam daun. Simbol agar rumah menjadi lentur, mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi.

Dan tentu saja, kayu dhadap srep yang ditanam terbalik. Filosofinya sederhana tapi dalam: agar hawa rumah selalu terasa segar dan adem, menentramkan siapa pun yang tinggal di dalamnya.


Padi, Jagung, dan Warna Merah-Putih

Empat penjuru soko guru kemudian dihiasi dengan gantungan padi dan jagung. Harapannya jelas: kemakmuran. Padi dan jagung adalah lambang pangan yang menjadi dasar kehidupan.

Sementara itu, kain merah ditanam bersama cok bakal, kendi, dan kayu dhadap srep sebagai lambang Ibu Pertiwi. 

Adapun kain putih membungkus pertengahan kayu bubungan (cuncit) yang di dalamnya di tanamkan paku emas, sebagai perlambang Bapa Angkasa. 

Kedua warna itu menyatukan bumi dan langit, ibu dan bapak, dalam harmoni rumah yang baru berdiri.


Ketupat, Lepet, dan Jadah adalah Tali Persaudaraan

Saat prosesi berlangsung, aroma ketupat dan lepet memenuhi udara. Keduanya melambangkan penghormatan kepada leluhur dan empat penjuru mata angin. Ketupat dengan simpulnya yang rumit adalah doa agar hati manusia tetap jernih dan terikat erat dalam persaudaraan.

Ada pula jadah, yang dibagikan kepada kerabat yang ikut bergotong royong mendirikan soko guru. Jadah yang lengket adalah simbol kebersamaan—mengikat erat hubungan antar tetangga. Sebuah pengingat bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal keluarga inti, melainkan juga bagian dari jaringan sosial yang lebih luas.


Prosesi Sakral Pecah Telur dan Langkah Sang Ibu


Momen paling ditunggu pun tiba. Sesepuh mengambil sebutir telur ayam kampung dan memecahkannya tepat di atas kayu cuncit—kayu utama bubungan rumah. Simbolik sederhana, tapi sarat makna: wes pecah ndog’e, kabul gegayuhane—telah pecah telurnya, terkabul segala cita-cita.

Lalu, sang istri pemilik rumah melangkahi kayu cuncit dengan hati-hati. Dalam filosofi Jawa, langkah itu adalah ikrar: “Anggaplah rumah ini suami keduamu. Rawat, cintai, dan jagalah ia. Jika suami pergi, tetaplah bernaung di dalam rumahmu.” Sebuah pesan tentang kesetiaan dan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga.

Setelah itu, bunga setaman dipercikkan ke kayu dan pondasi. Doa pun menggema: semoga rumah ini menjadi sumber keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan.


Paku Emas dan Dhamar sbagai Cahaya Harapan

Di titik paling tinggi rumah, sebuah paku emas ditancapkan di bubungan. Bukan sekadar penguat, melainkan simbol doa agar rumah tampak kokoh, berwibawa, dan memberi rasa nyaman.

Sementara itu, sebuah dhamar—lampu minyak kecil—dinyalakan. Cahayanya redup namun hangat, seakan berkata: “Semoga rumah ini selalu diterangi jalan terang, bebas dari kegelapan hati maupun hidup.”


Gotong Royong: Nafas Masyarakat Jawa

Semua prosesi tak akan berarti tanpa gotong royong. Di desa, mendirikan rumah bukan hanya urusan

satu keluarga, tapi urusan seluruh warga. Tetangga datang membawa tenaga, makanan, dan doa. Anak-anak berlarian, para ibu menyiapkan kenduri, sementara bapak-bapak bahu-membahu menegakkan soko guru.

Di akhir acara, seluruh warga duduk lesehan, menikmati hidangan kenduri. Ada doa bersama, lalu nasi tumpeng, ketupat, dan aneka lauk dibagikan. Tawa bercampur doa, syukur bercampur harapan.


Rumah Sebagai Doa yang Hidup

Pasang Cuncit dan Soko Guru bukan sekadar tradisi. Ia adalah wujud nyata bagaimana masyarakat Jawa memaknai rumah. Setiap kayu, setiap bunga, setiap sajian—semua adalah doa yang hidup, bersemayam di dalam pondasi, dinding, hingga atap rumah.

Di tengah modernitas yang serba cepat, upacara ini mengingatkan kita bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, melainkan pusat kehidupan, tempat doa-doa dikumpulkan, dan simbol keterhubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.

Dan tentunya setelah semua pekerjaan hari itu selesai, makan diakhiri sengan selamatan dan do'a.

Rumah boleh sederhana, tapi doa yang menyertainya akan membuatnya megah di mata semesta.


~Wonosari, Gunung Kawi 2012

Edi 'Bholor' Santoso.



Thursday, May 10, 2012

PENCEMARAN DENGAN TULISAN DI MEDIA ONLINE DAPAT DI JERAT DENGAN UNDANG - UNDANG

Pencemaran dengan Tulisan email, FB, Twitter di kenakan UU ITE
(surat2, ucapan psl 310-311 KUHP, apabila sdh menggunakan email, FB, Twitter di kenakan UU ITE)

Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.



Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik"

Pasal 310 ayat (1) KUHP Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang tampak sederhana berbanding terbalik dengan sanksi pidana dan denda yang lebih berat dibandingkan dengan sanksi pidana dan denda dalam pasal-pasal penghinaan KUHP.

Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 milyar rupiah.

Pasal 45 UU ITE (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Masih ada pasal lain dalam UU ITE yang terkait dengan pencemaran nama baik dan memiliki sanksi pidana dan denda yang lebih berat lagi, perhatikan pasal 36 UU ITE.

Pasal 36 UU ITE "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain" Misalnya, seseorang yang menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain akan dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 12 tahun dan/atau denda maksimum 12 milyar rupiah (dinyatakan dalam Pasal 51 ayat 2)

Pasal 51 ayat (2) UU ITE Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Sumber : Suanang Al - Banjary.

Saturday, April 28, 2012

KIRAB SESAJI 1 SURO


Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi Malang, Sebuah Kisah dari Dalam Prosesi

Sebagai warga asli Desa Wonosari di lereng Gunung Kawi, Malang, setiap pergantian tahun Jawa menjadi momen yang selalu saya tunggu. Tepatnya di tanggal 1 Suro dalam kalender jawa, kami melaksanakan Kirab Sesaji, sebuah tradisi sakral yang diwariskan leluhur. Bukan sekadar upacara adat, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang menyatukan manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tahun ini, saya kembali berkesempatan terlibat langsung dalam prosesi itu, dari awal hingga akhir.


Malam Menjelang 1 Suro: Selamatan dan Doa Bersama

Sejak sore, suasana desa sudah berbeda. Angin Gunung Kawi bertiup sejuk, seolah ikut menyambut pergantian tahun Jawa. Warga mulai berdatangan ke Padepokan Eyang Joego membawa tumpeng, jenang, dan aneka jajanan tradisional. Saya ikut membantu menata makanan di tikar panjang yang sudah disiapkan.

Ketika malam tiba, prosesi selamatan malam 1 Suro pun dimulai. Para sesepuh duduk di depan, memimpin doa dengan suara tenang, memohon berkah dan keselamatan. Kami semua larut dalam khidmat. Dalam hati saya berdoa, semoga tahun baru ini membawa kedamaian bagi seluruh warga Desa Wonosari, juga bagi siapa saja yang hadir malam itu.

Selamatan bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga simbol kebersamaan. Setelah doa selesai, makanan dibagi merata. Kami duduk melingkar, saling bercengkerama sambil menikmati hidangan. Ada rasa hangat yang sulit dijelaskan: rasa menjadi bagian dari keluarga besar desa ini.


Pagi Hari: Persiapan Kirab

Keesokan harinya, desa kembali sibuk. Sejak pagi, para pemuda sibuk menyiapkan gunungan sesaji serta jolen, berisi hasil bumi: padi, jagung, sayuran, buah-buahan, hingga jajanan pasar. Gunungan dan jolen itu nantinya akan diarak dari terminal desa menuju Pesarean Gunung Kawi sebagai wujud syukur atas rezeki alam.

Saya bersama beberapa warga lain membantu menata barisan peserta kirab. Para penari, hingga barisan anak-anak dengan pakaian adat Jawa sudah siap. Jalan utama desa dihias janur kuning dan umbul-umbul, menambah suasana meriah sekaligus sakral.


Siang Hari: Kirab Sesaji Dimulai

Tepat setelah azan zuhur berkumandang, Kirab Sesaji 1 Suro resmi dimulai. Iring-iringan panjang bergerak dari Pelataran Terminal Desa berjalan pelan meuju Komplek Pesarean Eyang Djoego. Saya ikut berjalan sambil sesekali bergantian memikul jolen, mengikuti irama gamelan yang mengiringi langkah peserta.

Sepanjang jalan, warga dan tamu dari berbagai daerah berjejer menyaksikan. Mereka ikut larut dalam suasana. Ada yang berfoto, ada pula yang khusyuk berdoa dalam hati. Yang paling menarik perhatian selain gunungan sesaji yang Warnanya yang cerah, penuh hasil bumi, seperti melambangkan kesuburan dan keberkahan Gunung Kawi. Ada juga pada barisan terakhir para pemuda yang mengusung OGOH - OGOH atau Patung raksasa yang kami sebut sebagai SANGKALA.

Kirab berputar mengelilingi desa, berhenti sejenak di beberapa titik untuk doa. Di sinilah saya merasakan makna terdalam tradisi ini: bukan sekadar pawai budaya, melainkan penghormatan kepada alam dan leluhur yang menjaga desa kami selama ini.


Sore Hari: Prosesi Pembakaran Sangkala

Menjelang senja, tibalah puncak acara yang paling dinanti: pembakaran Sangkala. Sebuah patung raksasa besar yang melambangkan segala keburukan, marabahaya, dan energi negatif dikumpulkan di lapangan desa.

Sesepuh desa memimpin doa terakhir, lalu api dinyalakan. Perlahan, Sangkala terbakar habis. Api menjilat tinggi, asap membumbung ke langit, dan semua warga terdiam menyaksikan. Ada rasa haru yang menyelimuti hati saya.

Pembakaran Sangkala menjadi simbol bahwa segala hal buruk di tahun lalu telah sirna, terbakar bersama api, memberi ruang bagi kebaikan dan harapan baru. Bagi kami warga Wonosari, momen ini seperti pelepasan beban, sekaligus awal baru untuk hidup lebih baik.


Kenduri Bersama dan Harapan Baru

Setelah api padam, acara dilanjutkan dengan kenduri bersama. Semua orang, baik warga maupun tamu, duduk berjejer menikmati hidangan. Tidak ada perbedaan, semua sama. Inilah esensi dari Kirab Sesaji 1 Suro: kebersamaan, kebersyukuran, dan doa untuk kesejahteraan bersama.

Di sela-sela kenduri, saya mendengar sesepuh desa berkata: “Kabeh iki kanggo slamet, kanggo tentreming urip, ora mung kanggo awake dhewe, nanging kanggo kabeh makhluk sing urip ana ing kene.” (Semua ini untuk keselamatan, untuk ketentraman hidup, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua makhluk hidup di sini).

Kata-kata itu membekas di hati saya. Tradisi ini bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk seluruh elemen alam yang menopang kehidupan: gunung, hutan, sungai, bahkan angin yang berhembus di lereng Gunung Kawi.


Penutup

Mengikuti Kirab Sesaji 1 Suro di Gunung Kawi – Malang bukan hanya pengalaman budaya, tetapi juga perjalanan spiritual. Dari selamatan malam, kirab siang hari, hingga pembakaran Sangkala dan kenduri bersama, semuanya memiliki makna mendalam.

Sebagai warga lokal, saya bangga menjadi bagian dari tradisi yang masih lestari hingga kini. Kirab Sesaji bukan hanya warisan leluhur, tapi juga jembatan yang menghubungkan kami dengan alam, sesama manusia, dan Sang Pencipta.

Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan, datanglah ke Desa Wonosari, Gunung Kawi, setiap malam 1 Suro. Rasakan sendiri suasana sakral yang penuh makna, sekaligus hangat dalam kebersamaan.

Karena di sinilah, di kaki Gunung Kawi, kami belajar bahwa hidup adalah tentang menghargai warisan, menjaga alam, dan berjalan bersama menuju masa depan yang penuh berkah.


kirab sesaji 1 Suro Gunung Kawi Malang - JAWA TIMUR....

Tuesday, February 14, 2012

Selamat hari raya NYEPI tahun baru Çaka 1934 / 23 Maret 2012.


Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia.


Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”.

Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa.

Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi.

Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1934 semoga Tuhan selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini.


Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia. Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat upacara atau kegiatan. Pertama upacara Mekiyis yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya. Kedua upacara Macaru (tawur agung) yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos. Ketiga mengamalkan Catur Brata untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh. Keempat melaksanakan Ngembak Ghni dan Dharmasanti sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini. Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa. Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini. (Sumber)

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/03/05/menyelami-lebih-dalam-makna-nyepi-dan-catur-brata/
Setiap pergantian Tahun Baru Saka atau Hari Raya Nyepi, umat Hindu menyambutnya dengan melaksanakan Catur (Empat) Brata yang meliputi Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungan, dan Amati Lelanguan. Amati Gni secara lexical berarti tidak menyalakan api, Amati Karya (tidak bekerja atau beraktivitas), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang). Catur Brata Nyepi juga mengandung pesan simbolis untuk mematikan hawa nafsu dalam diri manusia. Pelaksanaan Catur Brata sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah-tengah kehidupan lingkungannya. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi “Trihita Karana”. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat upacara atau kegiatan. Pertama upacara Mekiyis yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya. Kedua upacara Macaru (tawur agung) yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos. Ketiga mengamalkan Catur Brata untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh. Keempat melaksanakan Ngembak Ghni dan Dharmasanti sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini. Bagi umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa. Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi Wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan Dharma santi. Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933 semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua. Untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita – cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi terealisasi di bumi ini. (Sumber)

Read more at: http://www.ruanghati.com/2011/03/05/menyelami-lebih-dalam-makna-nyepi-dan-catur-brata/

Saturday, February 11, 2012

KEANEKARAGAMAN budaya Jawa yang sering dinilai syirik

KEANEKARAGAMAN budaya Jawa sering dinilai syirik. 

 Sebagian kalangan menganggap penilaian ini membabi buta, karena sebetulnya banyak yang bisa diluruskan. Kandungan nilai yang bisa diurai secara ilmiah, sangat besar. Termasuk di dalamnya urusan keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

"Mestinya kita bisa memahami dari sisi tanggap ing sasmita, tanggap sasmitaning zaman, karena semua konsep budaya itu, bernilai dan bermakna sangat dalam. Bukan sekadar vonis syirik semata," kata Prof Dr Sugiyarto MSi, saat pengukuhan sebagai guru besar UNS ke 146.

Dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang ilmu Biologi MIPA. Namun demikian, keseriusannya mengamati keanekaragaman budaya Jawa, menjadikannya banyak mengupas berbagai fenomena budaya yang selama ini muncul di masyarakat.

Rektor Prof Ravik Karsidi sempat memuji hal ini. Sebab sedikit ilmuwan yang memiliki komitmen pada budaya. Apalagi ini justru datang dari ilmuwan yang berlatar belakang bidang MIPA, khususnya Biologi. "Banyak yang bertanya, Pak Giyarto ini sebetulnya guru besar bidang budaya apa biologi? Tapi inilah uniknya ilmu pengetahuan. Sisi manapun bisa ditelaah dari sisi keilmuan," kata dia.

Lebih uniknya, profesor yang memilih disebut Profesor Ndesa, karena tinggal di lereng Merapi, Desa Kadilaju, Klaten itu ternyata pencipta lagu keroncong. Sudah 70 lagu diciptakan. "Saya menunggu, kapan diberi kaset rekaman lagu-lagunya. Saya kira ini menarik karena Prof Giyarto menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri secara bagus," katanya.

Dalam pidatonya, Bapak berputra delapan ini mencontohkan adalah berbagai upacara tradisi yang digelar di berbagai daerah. Setiap upacara baik perkawinan, kehamilan, tingkeban, kelahiran, sunatan, sampai kematian, membutuhkan ubarampe berbeda-beda. Semua berkaitan dengan keanekaragaman hayati.

Perlambang

Kalau disikapi secara syirik, tentu karena setiap ubarampe itu mengandung makna dan perlambang kekuatan atau permohonan. Namun dari sisi ilmiah, sebetulya menunjukkan upaya mengenalkan, mensifati, menilai, dan menjaga eksistenti serta melestarikan biodiversitas itu. Baik spesies hewan, varietas tanaman, kultivar, dan galur.

"Ada lagi pranata mangsa yang mengatur tata tanam, sabuk gunung yang mempraktekkan terasering, pengelolaan pekarangan rumah dengan sistem agroforestri, yang oleh pujangga Ranggawarsita sudah dibuat tembangnya," kata dia yang lahir 30 April 1967 ini.

Wis tiba mangsa labuh, wus wayahe padha ulur jagung, kanggo jagan sadurunge panen pari, prayogane uga nandur, mbayung bayem lombok terong. Itu salah satu bait tembang karangan Ranggawarsita yang menawarkan sistem tanam padi, padi, palawija.

"Sayang, tuntutan produksi menjadikan petani kita tidak lagi mengindahkan soal itu. Mereka pedomannya menanam padi, pari, pantun. Tiga mangsa tani itu, harus ditanami padi untuk menggenjot produksi. Akibatnya tanah rusak, struktur tanah hancur karena dipaksa. Tanaman memunculkan hama tanaman yang mendapatka lahan berkembang," tandasnya.

Ada lagi tradisi jejamu atau meminum jamu yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Itupun secara ilmiah sebetulnya mendorong orang jawa melestarikan konservasi biodiversitas sanat luar biasa. Indonesia dikenal memiliki ragam tanaman obat yang sangat besar.

Juga pekaliran pewayangan yang selalu diawali dengan adegan tancep kayon (gunungan) dan diakhiri dengan tancep kayon lagi. Bahkan di sela-sela adegan, selalu dimainkan gunungan itu. Artinya, manusia hidup di alam, dan dibatasi dengan adanya alam raya yang harus dilestarikan. Termasuk pelestarian Kiai Slamet, kebo bule yang dirawat dengan baik oleh Keraton.

Kalau dimaknai syirik, mistik, hanya akan berhenti sampai di situ saja. Namun jika dimaknai pendekatan nalar, sebetulnya kawasan Surakarta ini adalah kawasan agraris, pertanian. "Lambang kebo bule itu mendorong pelestarian hewan yang berguna untuk menggarap ladang. Sayang manusia terlalu sombong dengan menggantikan kerbau dengan mesin, sehingga biodiversitas makin habis dan tidak dimaknai," kata dia.

Saturday, February 4, 2012

Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H.

Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW......

Turut berbahagia dan mengucapkan :
SELAMAT MAULID NABI MUHAMMAD SAW. 1433 H / 04 Feb 2012.

Suri tauladan yang sempurna bagi sekalian umat Islam...
Pembawa cahaya penerang bagi seru alam..
Pemberi syafaat untuk sekalian umat yang beriman...
Rasulullooh akhir zaman......

Allaahumma shalli wa sallim wa barik 'alaa Sayidina Muhammad,...
Wa 'alaa aali, Wa ashaabihi, wa azwajihi, wa dzuriyyatihi, wa ahli baitihi, wabarik wasallim ajma’iin.......