Jangan rampas keceriaan anak - anak kita dengan berbagai hal sebetulnya kurang mereka butuhkan....
Saya sering mengernyitkan dahi jika ada seorang berkata dengan
bangganya anakku setiap hari les ini itu, tiap minggu latihan ini itu
dan bla bla bla... Mereka berpendapat semakin anak menguasai banyak hal,
maka semakin 'istimewa' dimata mereka. Kita kadang tidak sadar, demi
"ego" orang tua anak di korbankan. Dengan alasan agar anak menjadi bisa dalam beberapa hal, kita telah mengorbankan waktu bermain mereka.
Secara alami, masa anak - anak adalah masa bermain. Tinggal kita
sebagai orang tua sebisa mungkin mengarahkan saat bermain mereka itu
menjadi sesuatu yang bersifat edukatif yang menyenangkan. Sehingga anak -
anak kita tidak kehilangan masa kecil mereka. Maka jangan salah jika
ada sebutan "masa kecil kurang puas" yang di tujukan kepada orang -
orang dewasa yang masih suka berpola fikir seperti anak - anak :D
Yang terakhir, sekali lagi beri ruang dan waktu bagi anak - anak kita
untuk menikmati masa kecilnya, dan tentunya dampingi mereka untuk selalu
belajar meskipun sambil bermain. Sebagai orang tua tentunya kita
berharap yang terbaik untuk mereka. Jadi ingat sebuah status yang di
tulis oleh Gus Mus (KH Mustofa Bisri) kurang lebih seperti ini "Aku
tidak menuntuk kepada anak - anakku untuk sekolah dan menjadi orang
pinter, bahkan ketika salah satunya tidak mau sekolah TK pun aku
biarkan. Aku hanya mengajak dan membinbing mereka untuk selalu belajar"
Membahas tentang ISOTERI atau yang biasa kita
sebut dengan TUAH atau juga daya / kekuatan sebilah Tosan Aji sangat
bergantung dari persepsi serta pola fikir dari tiap individu. Ada ulasan
yang sangat menarik dan cocok dengan pendapat saya tentang ISOTERI
Pusaka oleh sahabat saya, silahkan di simak serta di nikmati...
Mungkin ada perbedaan paradigma antara anda dan Kudi Mas Banjarnegara tentang Pemahaman Isoteri dalam sebuah Tosan Aji
Bahwa isi atau Isoteri dalam sebilah keris adalah wewarah dan piwulang
yang tercantum dalam sebilah keris, karena keris merupakan sebuah
manifestasi dari sebuah wewarah tentang kehidupan, juga disebut ilmu
hidup artinya keris merupakan sebuah arahan sejati sebagai manusia yang
utuh, tangguh serta sepuh. Secara
ilmiah isi keris merupakan manifestasi do'a yang dilantunkan para Empu
sejalan dengan permintaan pemesan, do'a itu diamalkan dengan mati raga,
puasa, membersihkan diri, bahkan tidak berbicara selama membuat keris (
tapa bisu ), memang aneh menempa keris tanpa berkomunikasi lantas
bagaimana komunikasi dengan panjak atau pembantunya, Komunikasi dengan
panjak dilakukan dengan bunyi palu yang dipegang Empu selama membuat
keris, empu seolah bertapa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
do'anya dikabulkan dan diberi daya kekuatan yang berujud bilah,
perwujudan do'a itu tergores dalam pomor yang muncul, dapur atau model
dari keris yang dibentuk. Meskipun bentuk keris merupakan pesanan
pemesan, tetapi hal tersebut sudah diselaraskan dengan naptu atau
tanggal kelahiran pemesan yang dihitung secara cermat oleh Sang Empu ,
oleh empu do'a itu diwujudkan dalam bentuk pamor yang tergurat indah,
misalnya keris Jangkung dengan pamor Udan Mas yang mempunyai harapan
agar siempunya keris mendapatkan perlindungan sekaligus mendapatkan
rejeki yang berlimpah. Atau contoh lain Keris dapur Jangkung
Mangkunagoro artinya si empunya keris diharapkan mampu atau kuat
mengemban tugas sebagai Pemimpin Kerajaan atau Negara dengan Lindungan (
jinangkungan ) Tuhan YME. Kalau keris bertuah seperti itu
dikoleksi masa sekarang tentu ada tuntutan terhadap kolektor yakni
perilaku penyimpanan apakah selaras dengan laku yang diharapkan ketika
keris dibuat, ada syarat khusus yang dituntut agar keris mempunyai daya
kekuatan, bukan sesaji dalam arti tkhayul tetapi sesaji hidup yakni niat
dari siempunya keris untuk mau menyebar keharuman disertai dengan laku
Utama. Laku yang umum dalam pergaulan sehari hari adalah semangat
untuk menyebar ganda arum dengan "TYA MANIS KANG MANTESI" hati yang baik
menjadi dasar kehidupan "RUMING WICARA KANG NERANANI" cara berbicara
yang mengesankan dan tidak menyakiti orang lain 'SINEMBAH LAKU UTAMA'
jadi teladan kehidupan yang baik, isi atau Isoteri seperti ini tidak
saja menumbuhkan kekuatan hati yang dahsyat, tetapi juga menumbuhkan
kekuatan alam yang maha hebat.
Di copy dari Tulisan sahabat saya Anax Lanang.....
Di sebuah pagi yang hangat di pedesaan Jawa, suara gamelan kecil bercampur dengan tawa para tetangga yang berkumpul di halaman tanah kosong. Hari itu bukan hari biasa. Sebuah keluarga akan memulai babak baru dalam hidup mereka: mendirikan rumah. Namun, di balik derap palu dan tegaknya kayu soko guru, ada sebuah ritual sakral yang penuh doa dan simbol: upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru.
Bagi masyarakat Jawa, rumah bukan sekadar bangunan fisik. Rumah adalah jiwa, ruang kehidupan, tempat benih-benih manusia tumbuh, dan pusat keluarga menemukan arah. Itulah sebabnya, sebelum rumah berdiri, doa-doa dipanjatkan dan simbol-simbol dipersembahkan. Semua demi harapan: semoga rumah membawa keselamatan, ketentraman, rezeki, serta kebahagiaan bagi para penghuninya.
Rumah dan Simbol, Bahasa yang Dipahami Leluhur
Budaya Jawa kaya akan simbol. Doa tidak hanya terucap lewat kata, tetapi juga melalui benda-benda sederhana yang menyimpan makna dalam. Begitu pula dalam upacara Pasang Cuncit dan Soko Guru. Setiap daun, bunga, makanan, bahkan seutas kain, adalah bahasa simbolik untuk berkomunikasi dengan Tuhan, bumi, langit, dan leluhur.
Ada kendi berisi air—lambang sumber kehidupan. Ada padi dan jagung—harapan kemakmuran. Ada kain merah dan putih—simbol Ibu Pertiwi dan Bapa Angkasa. Bahkan ada paku emas yang ditancapkan di bubungan rumah, sebagai doa agar rumah berdiri gagah, berwibawa, dan membawa rasa nyaman bagi siapa pun yang bernaung di bawahnya.
Sajen dan Cok Bakal, Menghormati Asal dan Tujuan
~sajen~
Di salah satu sudut, seorang sesepuh menyiapkan sajen: pisang raja, kelapa, beras, gula kelapa, bunga telon, hingga kinangan. Semua ini melambangkan penghormatan kepada leluhur. Karena, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, “urip iku ana amarga ana sing nglairaké”—hidup kita ada karena ada yang melahirkan kita.
~cok bakal~
Lalu ada cok bakal: berisi telur ayam kampung, bunga, kendi, rempah- rempah, jenang merah-putih, hingga tumpeng kecil. Semua ini adalah persembahan untuk bumi, tempat manusia berpijak sejak lahir hingga kembali ke tanah.
Bagi masyarakat Jawa, menghormati leluhur dan bumi bukanlah hal mistis, melainkan wujud syukur. Rumah berdiri bukan hanya untuk pemiliknya, tetapi juga sebagai bagian dari harmoni semesta.
Kembang Setaman dan Air Kehidupan
Prosesi berikutnya diwarnai oleh kembang setaman: mawar merah-putih, kenanga, kantil, gadhing, daun pandan, puring serta andhong, hingga janur kuning dan bibit (dongkel) pisang raja juga telur ayam. Semua dicampur dalam air yang harum bercampur dengan beras kuning.
Air bunga ini nanti akan dipercikkan ke kayu utama, sebagai lambang doa agar rumah membawa keselamatan, keberkahan, dan rejeki bagi seluruh penghuninya.
Di sisi lain, sebuah kendi berisi air penuh siap ditanam di bawah pondasi soko guru. Air adalah inti kehidupan. Doa pun dipanjatkan agar keluarga yang menempati rumah selalu tercukupi kebutuhan hidupnya—baik lahir maupun batin.
Rahasia di Balik Pondasi
Cangklong, Pendheman, dan Pepes Katul
Bagi mata awam, pondasi rumah hanyalah batu dan semen. Namun, bagi orang Jawa, di sanalah doa-doa paling kuat ditanamkan.
Ada cangklong, sepasang bambu berisi air putih dan air tape. Simbol agar rumah berdiri kokoh.
Ada pendheman, ikatan daun alang-alang, juwet, lo, dhadap srep, dan daun maja. Maknanya: rumah akan terasa sejuk, pemiliknya terbebas dari masalah ruwet, dan berdiri seteguh baja
.
Ada pula pepes katul—bekatul yang dipanggang dalam daun. Simbol agar rumah menjadi lentur, mampu menyesuaikan diri dengan segala situasi.
Dan tentu saja, kayu dhadap srep yang ditanam terbalik. Filosofinya sederhana tapi dalam: agar hawa rumah selalu terasa segar dan adem, menentramkan siapa pun yang tinggal di dalamnya.
Padi, Jagung, dan Warna Merah-Putih
Empat penjuru soko guru kemudian dihiasi dengan gantungan padi dan jagung. Harapannya jelas: kemakmuran. Padi dan jagung adalah lambang pangan yang menjadi dasar kehidupan.
Sementara itu, kain merah ditanam bersama cok bakal, kendi, dan kayu dhadap srep sebagai lambang Ibu Pertiwi.
Adapun kain putih membungkus pertengahan kayu bubungan (cuncit) yang di dalamnya di tanamkan paku emas, sebagai perlambang Bapa Angkasa.
Kedua warna itu menyatukan bumi dan langit, ibu dan bapak, dalam harmoni rumah yang baru berdiri.
Ketupat, Lepet, dan Jadah adalah Tali Persaudaraan
Saat prosesi berlangsung, aroma ketupat dan lepet memenuhi udara. Keduanya melambangkan penghormatan kepada leluhur dan empat penjuru mata angin. Ketupat dengan simpulnya yang rumit adalah doa agar hati manusia tetap jernih dan terikat erat dalam persaudaraan.
Ada pula jadah, yang dibagikan kepada kerabat yang ikut bergotong royong mendirikan soko guru. Jadah yang lengket adalah simbol kebersamaan—mengikat erat hubungan antar tetangga. Sebuah pengingat bahwa rumah bukan hanya tempat tinggal keluarga inti, melainkan juga bagian dari jaringan sosial yang lebih luas.
Prosesi Sakral Pecah Telur dan Langkah Sang Ibu
Momen paling ditunggu pun tiba. Sesepuh mengambil sebutir telur ayam kampung dan memecahkannya tepat di atas kayu cuncit—kayu utama bubungan rumah. Simbolik sederhana, tapi sarat makna: wes pecah ndog’e, kabul gegayuhane—telah pecah telurnya, terkabul segala cita-cita.
Lalu, sang istri pemilik rumah melangkahi kayu cuncit dengan hati-hati. Dalam filosofi Jawa, langkah itu adalah ikrar: “Anggaplah rumah ini suami keduamu. Rawat, cintai, dan jagalah ia. Jika suami pergi, tetaplah bernaung di dalam rumahmu.” Sebuah pesan tentang kesetiaan dan tanggung jawab seorang ibu rumah tangga.
Setelah itu, bunga setaman dipercikkan ke kayu dan pondasi. Doa pun menggema: semoga rumah ini menjadi sumber keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan.
Paku Emas dan Dhamar sbagai Cahaya Harapan
Di titik paling tinggi rumah, sebuah paku emas ditancapkan di bubungan. Bukan sekadar penguat, melainkan simbol doa agar rumah tampak kokoh, berwibawa, dan memberi rasa nyaman.
Sementara itu, sebuah dhamar—lampu minyak kecil—dinyalakan. Cahayanya redup namun hangat, seakan berkata: “Semoga rumah ini selalu diterangi jalan terang, bebas dari kegelapan hati maupun hidup.”
Gotong Royong: Nafas Masyarakat Jawa
Semua prosesi tak akan berarti tanpa gotong royong. Di desa, mendirikan rumah bukan hanya urusan
satu keluarga, tapi urusan seluruh warga. Tetangga datang membawa tenaga, makanan, dan doa. Anak-anak berlarian, para ibu menyiapkan kenduri, sementara bapak-bapak bahu-membahu menegakkan soko guru.
Di akhir acara, seluruh warga duduk lesehan, menikmati hidangan kenduri. Ada doa bersama, lalu nasi tumpeng, ketupat, dan aneka lauk dibagikan. Tawa bercampur doa, syukur bercampur harapan.
Rumah Sebagai Doa yang Hidup
Pasang Cuncit dan Soko Guru bukan sekadar tradisi. Ia adalah wujud nyata bagaimana masyarakat Jawa memaknai rumah. Setiap kayu, setiap bunga, setiap sajian—semua adalah doa yang hidup, bersemayam di dalam pondasi, dinding, hingga atap rumah.
Di tengah modernitas yang serba cepat, upacara ini mengingatkan kita bahwa rumah bukan hanya bangunan fisik, melainkan pusat kehidupan, tempat doa-doa dikumpulkan, dan simbol keterhubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.
Dan tentunya setelah semua pekerjaan hari itu selesai, makan diakhiri sengan selamatan dan do'a.
Rumah boleh sederhana, tapi doa yang menyertainya akan membuatnya megah di mata semesta.